BerandaHits
Minggu, 21 Mei 2022 16:07

Di Dukuh Wotawati, Matahari 'Terbit' Pukul Delapan Pagi

Dukuh Wotawati dulu adalah aliran Sungai Bengawan Solo Purba. (Godepok/Tim/WAP/AHMF/instagram ekoandriyanto32)

Warga Dukuh Wotawati, Gunungkidul, Yogyakarta baru bisa merasakan sinar matahari pagi pada pukul delapan pagi, beda jauh dari wilayah lain di Indonesia yang biasanya sudah bisa merasakannya sejak pukul 06.00 WIB. Kenapa bisa begitu?

Inibaru.id – Beda dengan di negara-negara empat musim, Indonesia memiliki waktu matahari terbit dan tenggelam yang cenderung sama sepanjang tahun. Biasanya sih matahari terbit sekitar pukul 05.00 sampai 05.30 WIB. Intinya, mulai pukul 06.00, matahari sudah mulai cerah. Tapi, di sebuah dusun di Jogja, matahari ‘terbit’ pukul 08.00 WIB lo. Kok, bisa?

Dusun tersebut adalah Dusun Wotawati, Kalurahan Pucung, Kapanewon Girisubo, Gunungkidul, Yogyakarta. Lokasinya sekitar 74 km dari pusat Kota Yogyakarta. Pada zaman dahulu, dusun ini sebenarnya adalah aliran sungai Bengawan Solo Purba. Karena alasan inilah lokasinya seperti berada di dalam ceruk dan diapit oleh dua bukit besar.

Omong-omong ya, aliran Sungai Bengawan Solo Purba beda dengan Bengawan Solo yang kamu kenal sekarang. Hulunya memang masih sama, yakni di Wonogiri, Jawa Tengah. Tapi, Bengawan Solo Purba dulu bermuara di Pantai Sadeng, Gunungkidul. Usai terjadinya pengangkatan tektonik yang terjadi pada jutaan tahun yang lalu, aliran sungainya berubah ke timur dan kini bermuara jauh di Gresik, Jawa Timur.

Dusun yang ada di perbatasan dengan Wonogiri, Jawa Tengah ini masih sangat asri. Warga yang tinggal di sana pun menerapkan gaya hidup sederhana, sangat jauh dari ingar bingar gaya hidup perkotaan. Kalau menurut Kepala Dukuh Wotawati Robby Sugihastanto, dulu ada satu orang yang memulai permukiman di sini.

“Dulunya di Wotawati ini ada seseorang yang bercocok tanam di sini, sehingga dia bikin gubuk,” terangnya, Kamis (24/3/2022).

Lama-lama, orang tersebut memborong keluarganya. Orang-orang lain juga mulai banyak yang ikut datang. Nah, keturunan dari orang-orang inilah yang kemudian mengawali munculnya Kampung Wotawati yang kini dihuni 82 Kepala Keluarga (KK) yang terbagi dalam 4 RT yang berbeda.

Dukuh Wotawati diapit bukit-bukit besar yang menghalangi sinar matahari pagi dan sore. (Kompas/Markus Yuwono)

Matahari Baru ‘Terbit’ Pukul 8 Pagi

Karena diapit oleh bukit-bukit yang menjulang, otomatis sinar matahari nggak langsung mencapai desa ini meski langit sudah mulai cerah.

“Untuk pagi hari, sinar matahari di sini agak terlambat. Ibaratnya di lain dusun pukul 06.30 WIB atau pukul 07.00 WIB sudah kena sinar matahari. Nah, kalau di sini belum. Baru kena sinar matahari sekitar jam 08.00, 08.30 WIB. Itu kalau tidak mendung,” ceritanya.

Saat sore, pukul 16.30 WIB pun sudah mulai gelap seperti akan menjelang magrib. Maklum, sinar matahari sore sudah terhalang perbukitan.

Sayangnya, meski berada di bekas aliran Sungai Bengawan Solo Purba, warga Dukuh Wotawati kesulitan mendapatkan air bersih. Mereka selama ini hanya bisa mengandalkan air tadah hujan. Ada juga solusi lain, yakni dengan membeli air bersih meski harganya cukup mahal, yakni Rp 130 ribu untuk setiap tangki.

Hanya ada 4 buah sumur dengan kedalaman mencapai 4-5 meter. Tapi, hanya itu sumber air yang bisa dimanfaatkan karena sumur-sumur lain tidak mengeluarkan mata air. Mereka juga belum bisa mendapatkan sambungan air PDM karena kendala jarak dan sambungan pipa.

Sebagaimana di tempat-tempat yang jauh dari perkotaan lainnya, warga Dukuh Wotawati juga terbiasa dengan masalah sinyal telepon dan internet, hingga televisi. Mereka bahkan harus memakai parabola di mana sinyalnya terkadang diacak dan tidak bisa memakai antena Tv biasa.

Hm, tertarik melihat fenomena alam matahari ‘terbit’ dan ‘tenggelam’ yang nggak biasa di Dukuh Wotawati, Millens? (Kom, Det/IB09/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: