BerandaTradisinesia
Minggu, 15 Okt 2022 13:28

Grebeg Maulud, Cara Keraton Yogyakarta Merayakan Maulid Nabi

Arak-arakan prajurit keraton dan gunungan untuk masyarakat Yogyakarta. (Facebook/Wavgo)

Grebeg Maulud, bentuk perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW khas Keraton Yogyakarta yang identik dengan gamelan, sekaten, arakan-arakan dan gunungan yang diperebutkan oleh masyarakat.

Inibaru.id - Kalau berbicara Islam Kejawen, tampaknya Yogyakarta menjadi salah satu provinsi yang penduduknya masih kental mempraktikkannya, ya. Salah satu tradisi Islam kejawen yang terus terlaksana hingga kini adalah Grebeg Maulud.

Grebeg maulud merupakan tradisi rutin khas keraton Yogyakarta untuk memperingati dan merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal.

Tradisi ini menjadi puncak festival Sekaten yang digelar selama 40 hari. Grebeg maulud bisa dibilang sebagai hasil "perkawinan" budaya Jawa dengan Islam karena di dalamnya terkandung nilai-nilai Islam dalam balutan budaya Jawa.

Digagas oleh Sunan Kalijaga, Grebeg Maulud ini menjadi salah satu sarana untuk melakukan syiar Islam di tanah Jawa sejak abad ke-15 Masehi. Kala itu, masyarakat Jawa masih banyak yang menganut agama Hindu, Buddha, atau kepercayaan lainnya.

Nah, agar masyarakat tertarik dengan Islam, dibuatlah upacara-upacara yang cukup membumi bagi masyarakat lokal. Salah satunya dengan mengadakan arak-arakan hasil bumi seperti Grebek Maulud ini.

Makna Grebeg Maulud

Gunungan menjadi lambang kemakmuran dan rasa syukur kepada Tuhan. (Twitter/Sekar Taji)

Genpi (24/6/2021) memuat, istilah grebeg atau garebeg berasal dari kata gumrebeg yang memiliki arti “ramai”. Kemudian maknanya diperluas menjadi “perayaan” atau “keramaian”. Maklum, setiap perayaannya selalu disertai dengan arak-arakan yang ramai oleh barisan prajurit keraton yang diiringi alunan gamelan.

Nggak hanya itu, grebeg juga bisa berarti miyos atau keluarnya Sultan untuk memberikan hasil bumi kepada rakyatnya. Memang, dalam Grebeg Maulud Keraton juga akan mengarak gunungan yang akan diperebutkan oleh masyarakat Yogyakarta di halaman Masjid Gedhe Kauman. Gunungan ini dipercaya membawa keberkahan, kemakmuran, dan ketenangan.

Proses Panjang Sebelum Grebeg Maulud

Masyarakat sedang memperebutkan gunungan yang diarak dari keraton. (Himmahonline)

Sebelum Grebeg Maulud yang menjadi puncak Sekaten, ada proses panjang yang harus dilalui, Millens. Pertama, acara Miyos Gangsa yaitu mengeluarkan gamelan Sekati Kyai Gunturmadu dan Kyai Nagawilaga dari Keraton Yogyakarta menuju Masjid Gedhe Kauman. Bunyi gamelan menjadi pertanda dimulainya acara Sekaten.

Kemudian acara kedua yaitu Numplak Wajik. Acara ini merupakan awalan dari proses pembuatan gunungan. Untuk merayakan Grebeg Maulud, keraton akan menyediakan tujuh gunungan yaitu Gunungan Lanang, Gunungan Wadon, Gunungan Pawuhan, Gunungan Darat, Gunungan Bromo, dan Gunungan Gepak.

Acara selanjutnya Mbusansani Pusaka, di mana semua pusaka yang ada di ruang penyimpanan keraton akan dikeluarkan dan diganti kain pelindungnya. Kemudian prosesi Bethak yaitu menanak nasi sebanyak 7 kali yang dipimpin oleh permaisuri dengan pusaka periuk.

Prosesi selanjutnya adalah Kundur Gangsa yaitu momen Gamelan Kyai Guntumadu dan Kyai Nogowilogo dibawa kembali dari masjid Gedhe Kauman menuju keraton.

Selanjutnya, Kundur Gunungan Bromo yaitu diaraknya gunungan. Sebanyak lima gunungan akan diarak dan diletakkan di pelataran Masjid Gedhe Kauman untuk dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk sedekah dari Sri Sultan. Sedangkan dua lainnya diarak menuju Kepatihan dan Puro Pakualaman.

Meski panjang, tradisi perayaan Maulud Nabi Muhammad ala Keraton Yogyakarta ini menarik banget ya?Betewe, di tempat kamu tinggal ada tradisi apa untuk merayakan kelahiran Nabi, Millens? (Fatkha Karinda Putri/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024