BerandaTradisinesia
Sabtu, 5 Agu 2022 17:22

Gerbang Empat Penjuru pada Masa-Masa Sendu di Pecinan Semarang

Klenteng Tay Kak Sie dipilih sebagai tempat pengungsian warga Pecinan Semarang saat Geger Pecinan berlangsung di Nusantara. (Facebook/Tjiang Residence)

Di Semarang, Pecinan menjadi salah satu kawasan yang memiliki sejarah panjang. Dulu, di sana pernah dibangun gerbang besar yang digunakan untuk melindungi warga Tionghoa di dalamnya. Hm, gimana ya kisahnya?

Inibaru.id – Kalau berbicara tentang kawasan Pecinan Semarang, yang terpikir biasanya adalah keberadaan Pasar Kuliner Semawis yang populer bagi warga Kota ATLAS dan sekitarnya untuk menghabiskan waktu pada akhir pekan. Padahal, Pecinan Semarang lebih dari sekadar tempat untuk bersantai.

Realitasnya, kawasan tersebut punya nilai sejarah tinggi. Nggak hanya dibangun karena campur tangan Belanda pada abad ke-17, kawasan Pecinan juga punya cerita saat Perang Jawa pecah sejak pertengahan 1825.

Perang Jawa yang berlangsung cukup lama sempat membuat warga Pecinan Semarang gelisah. Apalagi, setelahnya terjadi Geger Pecinan di berbagai daerah di Jawa. Kegelisahan mereka pun semakin menjadi.

Geger di Pecinan Semarang pernah ditulis oleh Liem Thian Joe, seorang jurnalis kawakan asal Parakan, Temanggung, yang besar di Semarang. Liem berkisah, kegelisahan warga Pecinan Semarang akan peperangan di Tanah Jawa membuat seorang kapitan bernama Tan Tin Tjhing mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda untuk membuat empat gerbang di setiap penjuru kawasan Pecinan.

Di pintu masuk pecinan ini, dulu salah satu gerbang empat penjuru pernah didirikan. (jejakpiknik)

Gerbang-gerbang itu dibangun di ujung Jalan Sebandaran yang berbelok ke Jalan Jagalan. Gerbang lainnya berada di mulut Jalan Cap-kauw-king, kawasan Petak Sembilan-belas di Beteng. Lokasinya kini ada di Jalan Wotgandul Barat. Selain itu, ada juga gerbang di Gang Warung yang kini jadi pintu utama pecinan. Terakhir, gerbangnya ada di seberang Jembatan Pekojan yang kini menjadi Jalan Pekojan.

Pada tiap bangunan gerbang, dibangun lapisan tembok tebal. Alasannya tentu saja agar gerbang tersebut bisa berfungsi sebagai benteng pertahanan yang nggak mudah didobrak.

Keempat gerbang tersebut dibangun lewat dana yang dikumpulkan dari penghuni Pecinan Semarang. Setiap gerbang juga diberi tambahan pintu besar dan pintu kecil yang dijaga bergiliran oleh warga Pecinan setiap malam.

Saat Geger Pecinan semakin parah dan meluas, Tan Tiang Tjhing kemudian mengeluarkan keputusan penting. Memang, kawasan Pecinan Semarang sudah memiliki gerbang kokoh. Tapi, jika sampai diajak untuk bertempur, ada kemungkinan warga bakal kalah. Kalau sampai hal tersebut terjadi, anak-anak dan perempuan bakal diminta mengungsi ke Kelenteng Tay Kak Si. Di sana, mereka bakal dibakar agar tidak jadi korban penganiayan.

salah satu gerbang yang dibangun di empat penjuru Pecinan Semarang. (National Geographic)

Meski terlihat seperti keputusan yang sadis, ada alasan mengapa Tan Tiang Tjhing memutuskan hal tersebut. Pasalnya, Orang Tionghoa percaya kalau nggak ada tempat lain yang lebih suci selain kelenteng. Jadi, kalau sampai mereka dibakar di sana, rohnya bakal mendapatkan perlindungan.

Memang, kekhawatiran tersebut nggak terjadi. Pecinan Semarang selamat dari kengerian Geger Pecinan. Tapi, tetap saja saat itu dikenal sebagai masa paling sendu bagi warga Tionghoa di Semarang. Banyak anak-anak baik itu dari kalangan orang Tionghoa ataupun Jawa yang bahkan diberi nama Geger pada masa itu sebagai pengingat akan masa kelam tersebut.

Sayangnya, kini kamu nggak bisa lagi menemukan keempat gerbang pelindung kawasan Pecinan Semarang. Sungguh disayangkan ya? Padahal, gerbang tersebut kaya akan nilai sejarah.

Apapun itu, kawasan Pecinan Semarang memang menarik untuk dikunjungi. Jadi, kapan nih kita main ke sana lagi, Millens? (Nat, Tra/IB32/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024