BerandaHits
Minggu, 15 Jul 2023 09:00

Masih Ada Pelarangan Kebebasan Berkesenian, Apa Sebabnya?

Ilustrasi: Pada 2021, pentas kuda lumping sempat dilarang karena dianggap memicu kerumunan.(Kebudayaan.kemendikbud)

Lembaga Koalisi Seni melakukan riset mengenai pelarangan kebebasan berkesenian di Indonesia. Hal-hal apa yang ditemukan dalam riset tersebut?

Inibaru.id - Sebagai masyarakat, mungkin kita nggak terlalu memperhatikan ada atau tidaknya pelanggaran kebebasan berkesenian. Tapi tahukah kamu, di sekitar kita pelanggaran tersebut masih ada, lo.

Koalisi Seni, melalui riset "Stop Stigmatisasi Seni Terus: Situasi Kebebasan Berkesenian 2022" mencatat ada 33 peristiwa pelanggaran kebebasan berkesenian di Indonesia sepanjang 2022. Pelanggaran itu meliputi 21 peristiwa pada bidang seni musik, 11 peristiwa pada seni tari, 5 peristiwa pada seni teater, 4 peristiwa pada seni rupa, 2 peristiwa pada film, dan 1 peristiwa pada sastra. Satu peristiwa dapat terjadi pada lebih dari satu bidang seni.

Kira-kira apa yang menyebabkan itu terjadi? Salah satu sebab yang membuat pelarangan itu terjadi adalah adanya stigma.

“Lewat pemantauan media sepanjang 2022, kami mendapati seni sering dilarang karena dianggap memicu tindakan yang bertentangan dengan moralitas dan norma yang berlaku di masyarakat,” ujar Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay di Jakarta (14/7/2023).

Dari 12 peristiwa pelanggaran kebebasan berkesenian karena stigma, 7 di antaranya karena seni dianggap memicu penggunaan napza. Adapun 5 peristiwa lainnya karena seni dianggap vulgar dan/atau melibatkan kelompok LGBTIQ.

Stigma seni sebagai pemicu penggunaan napza salah satunya terjadi di Provinsi Sumatera Selatan. Kebijakan daerah di sana mengatur larangan organ tunggal memainkan aliran musik elektro atau remix. Alasannya, acara yang menyuguhkan penampilan tersebut rentan dijadikan tempat tindak penyalahgunaan napza, dan tak sedikit berujung keributan hingga menelan korban jiwa.

Salah satu peraturan daerah di Sumsel yang mengatur soal itu adalah Perda Kabupaten Muara Enim No.06/2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat pasal 10 ayat 1. Ada pula Perda Kab. Lahat No.1/2020 yang menyatakan musik organ tunggal dan remix harus izin dan dilaksanakan hanya sampai jam 18.00.

Nah, kebijakan ini menunjukkan bahwa stigma terhadap seni sudah berlangsung secara sistemik, dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis dan berpotensi mengkriminalisasi seni itu sendiri.

Alasan Covid-19

Selain karena stigma, Covid-19 masih menjadi dalih pelarangan seni pada 2022 dengan catatan 10 peristiwa. Seperti pada 2021, pelarangan ini sebagian besar terjadi atas seni yang ditampilkan sebagai bagian dari hajatan atau perayaan warga, seperti pentas kuda lumping dan barongsai. Acara seni itu dianggap memicu kerumunan.

Adanya pelarangan ini membuat 10 korban berupa individu dan kelompok gagal mendapat hak atas dukungan, jalur distribusi, dan remunerasi, tanpa mendapat alternatif pemenuhan hak dengan cara lainnya.

“Korban ini, sebagian besar, bermata pencaharian utama sebagai seniman. Sehingga larangan untuk berkesenian ini menyebabkan hilangnya hak seniman untuk menafkahi dirinya,” ujar Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya atau Ninin.

Dari 33 pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang 2022, tercatat ada 45 korban, 7 di antaranya bukan seniman. Ketujuh korban itu ada yang berprofesi sebagai promotor acara, mahasiswa, pekerja radio, dan buruh harian. Ninin menjelaskan, dalam metode pencatatan ini, korban bisa berupa individu atau kelompok sehingga 1 satuan hitung korban tidak selalu mencerminkan 1 orang, tapi bisa jadi 1 kelompok individu.

Tidak Ada Tindakan

Ilustrasi: Di Provinsi Sumatera Selatan ada aturan berupa larangan organ tunggal memainkan aliran musik elektro atau remix. (BBC)

Dalam kasus pelarangan kebebasan berkesenian ini, siapa sebenarnya yang menjadi pelaku? Menurut Koalisi Seni, pelaku bisa berupa individu atau kelompok.

Koalisi Seni mencatat ada 45 total pelaku, dari entitas pemerintah dan nonpemerintah, individu/kelompok yang memiliki kekuasaan, dan organisasi komersial.

Entitas pemerintah terdiri atas polisi, satuan tugas, dan pemerintah lokal. Sedangkan entitas nonpemerintah terdiri atas organisasi kemasyarakatan dan kumpulan sipil.

Adapun pelaku individu/kelompok yang memiliki kekuasaan terdiri atas administrator sekolah, guru, dan individu/kelompok yang memiliki kekuasaan di tempat kerja. Sementara itu pelaku organisasi komersial terdiri atas korporasi lokal/nasional, dan lainnya.

Sayangnya, hampir tidak ada penindakan terhadap pelaku. Dari 45 pelaku, hanya 2 yang ditindak. Keduanya adalah individu pelaku kekerasan seksual. Sementara pelaku lain yang berasal dari pemerintah, organisasi masyarakat, pejabat kampus, dan perusahaan, tidak ditindak. Hal ini menunjukkan pelanggaran kebebasan berkesenian masih dianggap hal wajar dan tidak dikategorisasi sebagai pelanggaran hukum.

“Kurangnya pemahaman mengenai kebebasan berkesenian di kalangan aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat membuat seniman, pekerja seni, dan penyelenggara acara seni, justru lebih sering dianggap sebagai pelaku pelanggaran,” jelas Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay.

Karenanya, Hafez menambahkan, perlu upaya sosialisasi ke pemangku kepentingan, baik itu pemerintah maupun aparat penegak hukum di tingkat pusat dan daerah soal kebebasan berkesenian. Upaya itu perlu dibarengi tinjauan atas peraturan tingkat daerah karena larangan terhadap seni sering mengacu pada pasal-pasal karet di dalamnya.

Wah, rupanya pelarangan kegiatan seni masih banyak di Indonesia, ya? Semoga hal tersebut segera dapat diatasi dan nggak ada lagi seniman yang dirugikan. (Siti Khatijah/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Aksi Bersih Pantai Kartini dan Bandengan, 717,5 Kg Sampah Terkumpul

12 Nov 2024

Mau Berapa Kecelakaan Lagi Sampai Aturan tentang Muatan Truk di Jalan Tol Dipatuhi?

12 Nov 2024

Mulai Sekarang Masyarakat Bisa Laporkan Segala Keluhan ke Lapor Mas Wapres

12 Nov 2024

Musim Gugur, Banyak Tempat di Korea Diselimuti Rerumputan Berwarna Merah Muda

12 Nov 2024

Indonesia Perkuat Layanan Jantung Nasional, 13 Dokter Spesialis Berguru ke Tiongkok

12 Nov 2024

Saatnya Ayah Ambil Peran Mendidik Anak Tanpa Wariskan Patriarki

12 Nov 2024

Sepenting Apa AI dan Coding hingga Dijadikan Mata Pelajaran di SD dan SMP?

12 Nov 2024

Berkunjung ke Dukuh Kalitekuk, Sentra Penghasil Kerupuk Tayamum

12 Nov 2024

WNI hendak Jual Ginjal; Risiko Kesehatan Apa yang Bisa Terjadi?

13 Nov 2024

Nggak Bikin Mabuk, Kok Namanya Es Teler?

13 Nov 2024

Kompetisi Mirip Nicholas Saputra akan Digelar di GBK

13 Nov 2024

Duh, Orang Indonesia Ketergantungan Bansos

13 Nov 2024

Mengapa Aparat Hukum yang Paham Aturan Justru Melanggar dan Main Hakim Sendiri?

13 Nov 2024

Lindungi Anak dari Judol, Meutya Hafid: Pengawasan Ibu Sangat Diperlukan

13 Nov 2024

Diusulkan Jadi Menu Makan Sehat Gratis, Bagaimana Nutrisi Ikan Sarden?

14 Nov 2024

Mencicipi Tahu Kupat Bu Endang Pluneng yang Melegenda Sejak 1985

14 Nov 2024

PP Penghapusan Utang: Beban Utang Nelayan Rp4,1 Miliar di Batang Dihapus

14 Nov 2024

Tanda Kiamat Semakin Bertambah; Sungai Eufrat Mengering!

14 Nov 2024

Sah! Nggak Boleh Ada Pembagian Bansos dari APBD Jelang Coblosan Pilkada

14 Nov 2024

Pesan Sekda Jateng saat Lantik 262 Pejabat Fungsional: Jangan Anti-Kritik!

14 Nov 2024