Inibaru.id - Pada zaman penjajahan Belanda, di wilayah pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, banyak warga yang diam-diam belajar bela diri. Uniknya, bela diri ini diiringi dengan musik gamelan sehingga seolah terlihat sebagai tarian.
Seni bela diri yang diiringi musik gamelan ini dikenal sebagai bela diri Gong Cik. Kata “Gong” berasal dari salah satu nama instrumen gamelan, sedang kata “Cik” berasal dari kata pencik yang berarti silat dalam bahasa Jawa.
Para sesepuh pada zaman dahulu sengaja mengemas seni bela diri Gong Cik dengan iringan gamelan untuk mengecoh para penjajah agar masyarakat bisa leluasa berlatih bela diri. Mereka belajar bela diri tentu saja dengan tujuan melawan para penjajah masa itu.
“Tujuan sebenarnya dari bela diri Gong Cik ini dulunya adalah untuk melindungi diri dan menjaga keamanan lingkungan dari penjajah,” terang Dwi Krismiarso, koordinator pelestari Gong Cik asal Cluwak, Pati saat ditemui Inibaru.id di tempat latihan.
“Makanya, digunakanlah iringan musik gamelan, untuk menipu para penjajah itu. Untuk sekarang ini, musik pengiring dari Gong Cik itu ada dua kendang, dua kenong, dan satu kempul,” imbuh lelaki 56 tahun itu.
Berbeda dengan Bela Diri Lain
Krismiarso menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan antara Gong Cik dan seni bela diri lain. Perbedaan paling kentara adalah adanya iringan gamelan. Hal ini tentu saja nggak ditemui dalam seni bela diri lainnya. Selain itu, jurus dan gerakan Gong Cik saat ini sudah dirancang menjadi sebuah tarian.
Baca Juga:
Si Kerambit, Kecil-kecil MematikanNah, setelah masa penjajahan berakhir, kesenian Gong Cik ini masih dilestarikan warga Desa Bleber, Kecamatan Cluwak, Kabupaten Pati hingga saat ini. Terlebih, para warga yang memang masih peduli akan eksistensi seni Gong Cik ini.
“Memang perlu pengorbanan besar untuk melestarikan kesenian ini, Mbak. Selain harus meluangkan waktu, kami juga membeli semua alat musik dan properti pendukung yang jelas mahal itu secara mandiri,” ujar Krismiarso sambil tersenyum getir.
Diikuti Anak-Anak
Meski praktisi Gong Cik di desa Bleber kini tinggal hitungan jari, tapi mereka masih sering eksis di beberapa event rakyat, seperti tampil di acara balai desa, hajatan, bahkan tampil di desa lain.
Nggak hanya itu, Gong Cik tampaknya akan tetap bertahan dalam beberapa waktu ke depan karena sudah sekitar setahun ini anak-anak Desa Bleber ikut melestarikan kesenian tersebut. Mereka bahkan ikut pentas di beberapa event.
Hal ini diiyakan oleh Mbah Japar, salah seorang praktisi sekaligus pelatih Gong Cik di desa itu. Di umurnya yang menginjak 72 tahun itu, dia masih semangat dalam melatih anak-anak hingga ikut tampil saat pentas.
“Kalau saat pentas, kami kolaborasi dengan anak-anak, mbak. Jadi, kami buat dua babak. Babak pertama, untuk tarung yang tua, babak kedua untuk tarung anak-anak,” jelas Mbah Japar.
Mbah Japar menambahi bahwa pemain Gong Cik ini harus serbabisa. Mereka harus bisa tampil pencik, maupun menabuh alat musik agar bisa berganti-gantian. Sehingga, jika dua orang tampil, yang lain bisa berperan sebagai penabuh gamelan dan sebaliknya.
Pelestari Gong Cik di Desa Bleber ini mengakui betul bahwa seni Gong Cik kini menghadapi tantangan yang besar karena harus bersaing dengan seni modern yang lebih disukai banyak orang, khususnya anak muda.
Semoga ada perhatian pemerintah untuk seni langka ini! Selain agar bisa lebih berkembang, juga supaya seni Gong Cik nggak terdengar asing di telinga orang-orang. Semangat berkarya terus para pelestari seni! (Rizki Arganingsih/E10)