Inibaru.id - Tiga lelaki paruh baya telah menyambut di pintu masuk begitu sepeda motor saya parkirkan di selasar Padepokan Seni Cakra, sore itu. Kami sejatinya sudah janjian dari siang, tapi hujan membuat saya terpaksa meminta maaf dan memundurkan waktu kedatangan.
Jarak dari rumah ke padepokan seni yang berlokasi di Desa Bleber, Kecamatan Cluwak, Kabupaten Pati itu memang cukup jauh. Dwi Krismiarso, salah seorang dari mereka yang ternyata merupakan para pengelola padepokan ini, segera mempersilakan saya masuk.
Kris, begitu dia biasa disapa, kemudian menemani saya melihat-lihat padepokan. Mengenakan kemeja lurik lengkap dengan blangkonnya, dia mulai menceritakan sejarah dan apa saja yang ada di padepokan seni yang sudah berdiri sejak 1989 tersebut.
“Kesenian yang kami lestarikan di sini antara lain wayang, kerawitan, campursari, seni tari, dan gong cik,” terang lelaki 56 tahun itu sambil memperlihatkan koleksi alat kesenian milik padepokan.
Menurut lelaki berkumis tersebut, di Desa Bleber ini memang banyak masyarakat yang cinta seni. Banyak pula warga Desa Bleber maupun warga desa sekitar yang turut serta berkesenian bersama Padepokan Seni Cakra.
Bahkan dua tahun lalu, mereka membuat film pendek berdurasi 11 menit berjudul Sang Undagi yang lolos 30 besar film se-Indonesia.
“Itu salah satu prestasi yang patut kami banggakan. O iya, videonya bisa ditonton di channel Youtube Padepokan Seni Cakra,” tuturnya sembari tersenyum bangga.
Memakai Dana Mandiri
Sekitar sepeminuman teh berbincang, pelatih sekaligus pendiri Padepokan Seni Cakra Supriyadi bergabung bersama kami. Supriyadi adalah mantan dalang yang kini menghabiskan hidupnya untuk bersenian di Pati.
“Hidup saya ini memang untuk seni, Mbak. Saya ingin nguri-nguri kesenian yang sekarang sudah jarang dilestarikan,” jelas Supriyadi.
Itulah alasan Supriyadi membangun padepokan seni yang kebanyakan alat seninya dibeli secara mandiri itu. Dia mengaku kesulitan mendapat dana bantuan untuk membeli peralatan kesenian yang harganya puluhan juta rupiah.
“Untuk penggalian dana dari pemerintah sangat sulit. Kalau bukan dari kami-kami yang peduli dengan seni, bisa saja seni tradisional akan punah dengan cepat,” tutur lelaki yang bercita-cita membangun joglo-joglo kecil di padepokan untuk berlatih para anggota padepokan itu.
Mencari Generasi Penerus
Selain kesulitan dalam hal pendanaan, Supriyadi juga mengaku kesusahan menggaet anak-anak muda untuk ikut berkesenian bersama. Hal ini dibenarkan Ahmad Zakial Shodiqin, salah seorang pemuda yang aktif dalam Padepokan Seni Cakra.
“Iya, dulu banyak pemuda Desa Bleber yang aktif ikut kerawitan. Tapi seiring perkembangan teknologi ini, mereka mulai nggak peduli, gengsi, dan bahkan malu untuk belajar kesenian tradisional,” ujar Zakial, menyayangkan hal ini.
“Kalau saya kebetulan memang suka seni. Jadi, saya pengin menggerakkan kegiatan kesenian di desa saya sendiri,” lanjut pemuda 21 tahun itu.
Selain sibuk sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, Zakial juga aktif mengikuti pentas kesenian, khususnya seni kerawitan, sebagai pemain kendang. Dengan menekuni kesenian tradisional itu, sekarang Zakial mengaku dapat membiayai kuliahnya dari seni.
“Saya ingin menunjukkan ke anak-anak muda bahwa seni tradisional itu keren. Bahkan, jika diseriusi, itu akan menguntungkan kita,” tandas pemain kendang itu.
Yap, merangkul anak muda untuk turut mengembangkan kesenian daerah memang sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh para pegiat seni senior. Kita berharap akan ada banyak anak muda seperti Zakial yang dengan ringan hati mempertahankan seni tradisional warisan nenek moyangnya. (Rizki Arganingsih/E10)