Inibaru.id - Suara instrumen gamelan mulai terdengar, tanda pertarungan dimulai. Halaman rumah Mbah Japar, sang pelatih Gong Cik asal Desa Bleber, Kecamatan Cluwak, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, disulap menjadi arena laga sore itu.
Untuk informasi, Gong Cik adalah kesenian bela diri asal Pati yang bertujuan untuk menjaga keamanan warga saat masa penjajahan Belanda. Agar eksistensinya tetap terjaga, seni bela diri Gong Cik ini masih dilestarikan oleh warga Desa Bleber yang didominasi anak-anak.
Sore itu, terlihat dua pendekar cilik yang berpakaian serbahitam mulai bergerak lihai mengikuti alunan gamelan sembari bersiap menyerang satu sama lain. Slamet Priyono, pendekar Gong Cik yang masih duduk di kelas 8 SMP itu bersiap meluncurkan satu pukulan ke arah lawannya.
Namun, Ahmad Jofan yang menjadi lawan Slamet dalam latihan Gong Cik sore itu berhasil mengelak dengan baik. Nggak mau kalah, Jofan, siswa kelas 4 SD itu pun membalas dengan tendangan yang juga sukses ditangkis oleh Jofan.
Pertarungan seru yang berlangsung sekitar 5 menit itu diakhiri dengan selesainya tabuhan gamelan. Meski telah bermandikan keringat dan nafas yang agak tersengal, nggak ada raut muka lelah di antara para ksatria Gong Cik setelah berlatih. Justru, mereka mengaku sangat senang dalam latihan rutin yang juga disaksikan warga sekitar itu.
“Nggak capai, Mbak. Malah senang bisa ikut latihan rutin setiap dua kali seminggu,” tutur Jofan penuh semangat kepada Inibaru.id.
“Kami semangat karena selain untuk mengasah skill, ini juga buat persiapan kalau mau pentas,” imbuh Slamet menyetujui pendapat Jofan.
Sudah satu tahun berlatih Gong Cik, Jofan dan Slamet mengaku sudah dua kali tampil pentas di acara hajatan. Di Pati, khususnya di Desa Bleber ini, memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat yang memiliki hajat mengundang para pelaku seni untuk memeriahkan acaranya. Salah satunya, kesenian Gong Cik ini.
“Agak deg-degan sih pas tampil di depan orang banyak, tapi juga senang karena dapat banyak saweran dari penonton,” terang Slamet diikuti anggukan kepala dari yang lain.
Selain Jofan dan Slamet, latihan sore itu juga diikuti oleh Adi dan Yusril yang kebagian menabuh kenong dan kempul. Oya, semua pemain Gong Cik diharuskan bisa menabuh gamelan dan bermain pencak, nggak terkecuali kedua bocah energetik ini.
Di saat kebanyakan bocah seusia mereka yang lebih suka hal-hal yang bersifat modern, Adi justru mengaku bangga bermain Gong Cik. Dia dan anak-anak Desa Bleber malah merasa senang bisa ambil bagian dalam melestarikan kesenian warisan leluhurnya.
“Ngapain malu, Mbak?" sahut Adi sembari tersenyum senang. "Aku malah bangga dan senang banget (bisa ikut melestarikan kesenian Gong Cik).”
Hal serupa juga diungkapkan Yusril. “Keluarga kami sangat mendukung, bahkan disuruh latihan terus,” Yusril menimpali, lalu keduanya tertawa.
Kesenian Gong Cik di Desa Bleber ini memang didominasi anak-anak dan remaja, khususnya siswa SD dan SMP di desa tersebut. Koordinator kesenian Gong Cik Desa Bleber Dwi Krismiarso menuturkan, pihaknya memang ingin mengajak lebih banyak anak-anak untuk menjadi pemain Gong Cik ini.
“Sangat sulit untuk menumbuhkan kesadaran anak muda akan pentingnya melestarikan kesenian tradisional di zaman sekarang,” jelas Kris, sapaan akrabnya.
“Jadi, memang kami mulai memberi masukan dan membimbing anak-anak untuk bermain Gong Cik agar nggak lenyap ditelan zaman,” tandasnya.
Yup, benar sekali. Kalau bukan anak-anak muda yang turun tangan langsung dalam melestarikan kesenian tradisional, mau siapa lagi? (Rizki Arganingsih/E10)