Inibaru.id - “Seni selalu memiliki motif politis seberapa pun kecil lingkupnya. Sebagai alat kuasa, seni menjadi siasat untuk menggugat kuasa dominan. Sebagai pegiat seni, kita tahu betul bahwa seni punya fungsi lain dari sekadar hiburan semata.”
Begitulah sedikit kutipan dari Buku Panduan Praktis Kebebasan Berkesenian yang diluncurkan Koalisi Seni pada Kamis, 6 Juli 2023. Buku panduan ini bertujuan mengedukasi para pegiat seni maupun penikmat seni untuk mengantisipasi pelanggaran kebebasan berkesenian sekaligus menjelaskan langkah yang harus dilakukan ketika pelanggaran terjadi.
Buku tersebut berisi mengenai apa saja hak-hak seniman, bagaimana kondisi kebebasan berkesenian di Indonesia, persiapan untuk mengurangi resiko pelanggaran, dan hal-hal yang perlu dilakukan saat terjadi pelanggaran.
Jika pengin mendapatkannya, buku yang nantinya juga akan diunggah di website Koalisi Seni ini dapat kamu unduh secara gratis pada link https://bit.ly/panduanpraktisaf, ya.
Banyak Kasus Pelanggaran
Menurut penelitian yang dilakukan Koalisi Seni, kebebasan berkesenian di Indonesia ini memang jauh dari kata sempurna. Ada banyak sekali kasus-kasus pelanggaran kebebasan yang terjadi namun masih sedikit lembaga yang memantau isu ini.
“Koalisi seni mendata kasus pelanggaran kebebasan berkesenian dari tahun 2010 hingga 2022 lalu. Tercatat ada 210 kasus pelanggaran yang korbannya itu nggak hanya seniman, tapi juga non-seniman seperti penyelanggara acara, pelajar maupun wartawan,” terang Ratri Ninditya, koordinator penelitian Koalisi Seni.
Ninin, begitu dia disapa, juga memaparkan bahwa dalam kajian Koalisi Seni didapatkan hasil bahwa kasus pelanggaran kebebasan berkesenian paling banyak terjadi pada tahun 2021 dengan alasan Covid-19 .
“Kasus pelanggaran ini memang semakin tinggi ketika negara ada dalam krisis. Apalagi jika situasi politik memanas, seniman sudah pasti kena imbas” imbuh Ninin.
Selain Ninin, Pengacara Publik LBH Jakarta, Fadhil Alfathan juga turut hadir sebagai narasumber dalam peluncuran Buku Panduan Kebebasan Berkesenian sore itu. Fadhil memaparkan mengenai contoh konkrit dari kasus pelanggaran kebebasan berkesenian yang pernah ditangani LBH Jakarta.
“Di tahun 2016 ada acara bertajuk 'Belok Kiri Festival' yang mendapat banyak penolakan dari elemen masyarakat. Event ini dianggap berkaitan dengan kebangkitan partai yang dicap miring di Indonesia (PKI). Acara yang awalnya sudah dapat perizinan dari venue tiba-tiba dibatalkan dan akhirnya dipindah lokasi dan kasus ini dibawa ke pengadilan,” jelas Fadhil.
Merambah ke Ranah Digital
Selain di ruang fisik, pelanggaran kebebasan berkesenian kini juga kian merambah ke serangan digital. Internet yang dipercaya orang sebagai tempat bebas untuk berekspresi, justru membuka celah baru untuk pelanggaran kebebasan berkesenian dalam ranah digital.
“Beberapa tahun lalu, sosial media seorang komikus tiba-tiba hilang karena postingan karyanya yang membawa isu LGBTQ+. Akun Instagram ini hilang sampai sekarang tanpa ada penjelasan dari pihak Instagram juga,” terang Farhanah selaku fasilitator keamanan dan hak digital yang juga menjadi narasumber pada peluncuran buku via zoom sore itu.
Menurut Farhanah, serangan digital seperti itu memang rawan terjadi kepada seniman yang membawa isu-isu sensitif dalam karyanya. Contohnya isu-isu mengenai HAM, politik, kebebasan berekspresi, hak perempuan, LGBTQ+ dan masih banyak lagi.
“Untuk serangan digital yang sering terjadi biasanya meliputi penyusupan akun, sensor, malware, harassment, serangan website dan surveillance,” tandas Farhanah.
Nah, dengan diluncurkannya buku panduan kebebasan berkersenian oleh Koalisi Seni ini, semoga bisa menjadi pegangan bagi para pegiat seni maupun seluruh pihak yang menjadi korban dari pelanggaran kebebasan berkesian ini, ya! Dan semoga untuk ke depannya kebebasan berkesenian di Indonesia bisa benar-benar merdeka! (Rizki Arganingsih/E10)