BerandaHits
Rabu, 25 Mar 2025 08:11

Kaus Kumal dan Sarung Lusuh yang Bertemu Takdir Baru bersama Jahita

Kaus Kumal dan Sarung Lusuh yang Bertemu Takdir Baru bersama Jahita

Kemala dari Matrahita sedang menjelaskan saat lokakarya Jahita. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Seragam sekolah yang tak lagi muat, kaus kumal yang warnanya mulai pudar, hingga sarung lusuh yang robek di beberapa bagian, dikumpulkan untuk menanti takdir baru yang dibuat tangan-tangan cekatan di Jahit Cerita.

Inibaru.id – Panggung di Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW) Kudus yang biasanya dipakai untuk pementasan seni, pagi itu berubah menjadi tempat pertemuan jarum dengan benang yang berpadu di tangan-tangan lincah masyarakat setempat.

Kain kumal yang warnanya sudah pudar, sarung lusuh yang robek di beberapa bagian, baju seragam yang sudah nggak muat, serta pelbagai limbah tekstil lain yang mereka kumpulkan, hari itu takdirnya berubah menjadi gantungan kunci, pouch, dan kerajinan-kerajinan semacamnya.

Kemala Hayati, Hafizh Hanani, dan Shidqi Al Harris, yang merupakan bagian dari komunitas seni Matrahita hadir di tengah-tengah mereka; membimbing warga yang sukarela datang, yang terdiri atas anak-anak hingga dewasa, dalam program Jahita atau Jahit with Matrahita.

Serius menjahit (Inibaru.id/Imam Khanafi)
Serius menjahit (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Kendati tajuknya menjahit, aksi kolektif Matrahita bersama warga ini sejatinya lebih dari ini; karena tujuan utamanya adalah upaya merajut kembali hubungan manusia dengan lingkungan. Itulah kenapa dijahit adalah limbah tekstil.

“Ini masih bisa jadi sesuatu, kan?” ujar seorang ibu sambil memandangi beberapa helai pakaian anaknya yang sudah nggak terpakai.

Nggak lama kemudian, dengan bimbingan tim Matrahita, kain-kain itu pun menemukan takdir baru sebagai keset, pouch, lalu sisanya disusun ulang dalam motif tambal sulam yang unik.

Peserta lokakarya Jahita foto baereng seusai acara (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Kemala Hayati, yang sejak awal menginisiasi program ini, menjelaskan bahwa perubahan nggak hanya terjadi terhadap kain-kain bekas yang kini menemukan bentuk baru, tetapi juga pada cara pandang para peserta.

“Di akhir sesi, mereka tidak hanya membawa pulang barang baru, tetapi juga kesadaran bahwa limbah tekstil bukanlah akhir dari sebuah benda. Ia bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih berarti,” ujarnya.

Di tengah keterbatasan, kreativitas menemukan jalannya. Dan di antara potongan-potongan kain yang dulu terabaikan, tersimpan kisah baru yang siap untuk dijahit kembali.

Bukan Sekadar Lokakarya Menjahit 

Dari yang kecil dan tua juga ikut dalam lokakarya (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Sampai siang suara tawa ringan dan percakapan hangat di tengah tangan-tangan yang sibuk merajut, menyulam, dan merangkai dengan jarum dan benang di atas panggung yang berlokasi di Desa Lau, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus itu masih terdengar.

Tinggal sekelompok orang yang bertahan, melingkar dalam diameter yang terus memendek karena satu per satu dari mereka beringsut pulang lebih dulu. Mereka tampak penuh dedikasi bermaksud menyelesaikan karya, mengubah kain yang semula bukan apa-apa menjadi sesuatu.

“Yang terjadi di sini bukan sekadar lokakarya menjahit. Lebih dari itu, ini adalah tentang melihat sesuatu dengan cara yang berbeda, tentang bagaimana seni bisa masuk ke dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya milik para seniman, tapi juga milik warga,” jelas Kemala.

Tim Matrahita sedang membantu peserta (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Pada era mass fashion yang berkembang pesat, yang bikin masyarakat begitu mudah membuang pakaian dalam hitungan bulan, Jahita seakan menjadi pengingat: kita bisa memperlambat! Kemala mengatakan, kita bisa memberi kesempatan pada sesuatu untuk tetap hidup dan bermakna.

“Bukan soal bisa atau tidak menjahit,” ujar Kemala, “tapi soal bagaimana kita mulai melihat barang-barang di sekitar kita dengan cara yang baru.”

Ruh dari Matrahita

Matrahita datang ke Kudus bukan hanya untuk mengajarkan keterampilan, tetapi juga membuka mata masyarakat; bahwa seni nggak harus eksklusif. Ia bisa dekat, dipakai, dan menjadi jembatan menuju perubahan.

Peserta saling mengajari dan terlohat serius (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Laiknya seperti sebuah jahitan tangan, Kemala mengungkapkan, perubahan selalu dimulai dari satu benang kecil yang perlahan-lahan membentuk sesuatu yang lebih besar. Inilah ruh dari Matrahita.

“Hari ini; mungkin ini hanya sebuah lokakarya kecil di sudut kampung. Namun, siapa tahu dari sinilah lahir kebiasaan baru; melihat, berpikir, dan menciptakan dengan lebih bijak. Karena pada akhirnya, kreativitas bukan hanya tentang membuat sesuatu yang baru, tapi juga memberi kehidupan baru pada yang lama,” ujarnya.

Oya, sedikit informasi, Matrahita adalah kolektif seni yang berdiri pada 2019, yang lahir dari keinginan sederhana, yakni menciptakan sesuatu yang berarti dari apa yang sering dianggap nggak berharga.

Tim Matrahita sedang menjelaskan (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Awal berdiri, Matrahita merupakan sebuah jenama berbagai produk merchandise seperti kaus grafis, totebag, dan pakaian hasil thrifting. Namun, mereka menyadari bahwa seni nggak bisa berhenti pada estetika semata. Ia harus hidup, berbicara, dan yang terpenting, memberi manfaat bagi khalayak.

Maka, mereka pun mencoba melangkah lebih jauh pada 2022. Sebuah pameran seni menjadi awal dari perjalanan baru. Dari sana, lahir berbagai inisiatif berbasis komunitas, salah satunya Jahita.

Jahita lahir dari keinginan untuk menggelar workshop menjahit yang sekaligus menjadi gerakan kecil untuk mengajarkan keterampilan, kesadaran lingkungan, dan yang paling penting, cara melihat kembali apa yang dianggap sebagai limbah.

Sebuah gerakan yang menarik, bukan? Kalau Jahita mampir ke kotamu, kira-kira limbah tekstil apa yang pengin kamu ubah takdirnya, Millens? (Imam Khanafi/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Iri dan Dengki, Perasaan Manusiawi yang Harus Dikendalikan

27 Mar 2025

Respons Perubahan Iklim, Ilmuwan Berhasil Hitung Jumlah Pohon di Tiongkok

27 Mar 2025

Memahami Perasaan Robot yang Dikhianati Manusia dalam Film 'Companion'

27 Mar 2025

Roti Jala: Warisan Kuliner yang Mencerminkan Kehidupan Nelayan Melayu

27 Mar 2025

Jelang Lebaran 2025 Harga Mawar Belum Seharum Tahun Lalu, Petani Sumowono: Tetap Alhamdulillah

27 Mar 2025

Lestari Moerdijat: Literasi Masyarakat Meningkat, tapi Masih Perlu Dorongan Lebih

27 Mar 2025

Hitung-Hitung 'Angpao' Lebaran, Berapa Banyak THR Anak dan Keponakan?

28 Mar 2025

Setengah Abad Tahu Campur Pak Min Manjakan Lidah Warga Salatiga

28 Mar 2025

Asal Usul Dewi Sri, Putri Raja Kahyangan yang Diturunkan ke Bumi Menjadi Benih Padi

28 Mar 2025

Cara Menghentikan Notifikasi Pesan WhatsApp dari Nomor Nggak Dikenal

28 Mar 2025

Hindari Ketagihan Gula dengan Tips Berikut Ini!

28 Mar 2025

Cerita Gudang Seng, Lokasi Populer di Wonogiri yang Nggak Masuk Peta Administrasi

28 Mar 2025

Tren Busana Lebaran 2025: Kombinasi Elegan dan Nyaman

29 Mar 2025

AMSI Kecam Ekskalasi Kekerasan terhadap Media dan Jurnalis

29 Mar 2025

Berhubungan dengan Kentongan, Sejarah Nama Kecamatan Tuntang di Semarang

29 Mar 2025

Mengajari Anak Etika Bertamu; Bekal Penting Menjelang Lebaran

29 Mar 2025

Ramadan Tetap Puasa Penuh meski Harus Lakoni Mudik Lebaran

29 Mar 2025

Lebih dari Harum, Aroma Kopi Juga Bermanfaat untuk Kesehatan

29 Mar 2025

Disuguhi Keindahan Sakura, Berikut Jadwal Festival Musim Semi Korea

29 Mar 2025

Fix! Lebaran Jatuh pada Senin, 31 Maret 2025

29 Mar 2025