Inibaru.id – Senyum semringah mengawali pagi Misno, petani kopi dari Dukuh Lempuyang, Desa Surjo, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Musim panen kali ini, kopi jenis robusta di kebunnya yang berbuah cukup lebat bisa panen tepat waktu.
Bersama istri dan kedua anaknya, dengan langkah ringan dia bertandang ke kebun untuk memetik kopi. Berkostum setelan panjang lengkap dengan sarung tangan untuk melindungi diri dari gigitan serangga, dia menenteng karung, tikar, ember, dan celurit sebagai perlengkapan wajib panen kopi.
Dukuh Lempuyang adalah salah satu penghasil kopi terbesar di Batang. Kopi tumbuh subur di kebun-kebun mereka yang acap ditanam berdampingan dengan pekarangan rumah warga; nggak terkecuali kepunyaan Misno yang hanya berjarak sekitar lima meter dari rumahnya.
Menuju kebun kopi bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Aroma harum blanggreng atau kembang kopi telah berganti wanginya ceri (buah kopi) yang sebagian tampak mulai merah merekah di ranting-ranting yang terselip di antara dedaunan yang tumbuh cukup lebat.
“Panen kopi dilakukan satu tahun sekali, umumnya dimulai pada awal Juni,” kata Misno sembari menunjuk ceri merah yang siap dituai. "Ini sebagian sudah siap dipanen."
Sayangnya, dia menambahkan, periode panen kopi tahun ini sepertinya nggak akan sebagus tahun lalu. Misno memprediksi, karena cuaca yang nggak menentu, hasilnya mungkin hanya akan ada pada kisaran separuhnya.
“Dengan kebun yang saya miliki saat ini, biasanya bisa dapat satu ton (buah) kopi. Namun, sekarang mungkin hanya setengahnya atau sekitar 500 kilogram,” jelasnya.
Petik Merah untuk Kualitas Biji Terbaik
Dengan lahan seluas kisaran satu hektare, Misno mengaku nggak perlu mengambil tenaga buruh saat musim panen. Pohon kopinya nggak terlalu tinggi, jadi bisa dipanen tanpa harus memanjat, cukup dengan menjembanya dengan kedua tangan.
Lelaki 64 tahun itu memanen bersama seluruh anggota keluarganya. Mereka terbiasa melakukan "petik merah", metode memanen kopi dengan cara hanya memilih ceri yang sudah tua, ditandai dengan warnanya yang merah untuk memperoleh kualitas biji kopi terbaik.
Memanennya nggak memerlukan alat khusus, cukup dipetik menggunakan tangan kosong satu per satu. Namun, karena ceri mudah gogrok (runtuh) jika sudah matang, Misno perlu memasang tikar di bawah pohon untuk menampung buah yang jatuh agar nggak tercecer.
“Tikar dipasang biar buah mudah dikumpulkan untuk dimasukkan ke dalam karung," jelas lelaki bersahaja tersebut setelah selesai memanen kopi. "Dalam sehari biasanya kami pulang membawa tiga karung."
Selain panen yang berkurang, sembari melakoni rutinitas pasca-panen yakni membersihkan rumput dan tanaman liar di sekitar pohon dengan celuritnya, Misno mengungkapkan bahwa harga kopi saat itu juga sedang buruk.
"Harga kopi naik turun mengikuti pasar. Dari tengkulak, tahun lalu dihargai Rp20 ribu per kilogram. Sekarang cuma Rp11 ribu, padahal awal Juni masih Rp15 ribu," keluhnya.
Kendati harganya fluktuatif, Misno sama sekali nggak kepikiran untuk berhenti menanam kopi. Meski hanya sekali dalam setahun, dia mengaku tetap bersyukur masih bisa merasakan panen kopi dan menikmati si hitam itu dari kebun sendiri.
"Hasil penjualan kopi untuk mencukupi kebutuhan keluarga, tapi sebagian disisihkan untuk diminum sendiri," tandasnya.
Untuk urusan ngopi, konon memang nggak ada yang lebih nikmat dari kopi hasil panen di kebun sendiri. Benar begitu, Pak Misno? (Sekarwati/E03)
