BerandaInspirasi Indonesia
Kamis, 17 Jul 2025 13:47

Menggantungkan Hidup dari Eceng Gondok, Juwairiah: Disyukuri Saja!

Penulis:

Menggantungkan Hidup dari Eceng Gondok, Juwairiah: Disyukuri Saja!Sekarwati
Menggantungkan Hidup dari Eceng Gondok, Juwairiah: Disyukuri Saja!

Saat hari-hari nggak berjalan sesuai ekspektasi, Juwairiah memilih tetap bersyukur dan bertahan sekuat tenaga dengan menggantungkan hidup dari eceng gondok. Bagaimana kisahnya?

Inibaru.id – Hari masih pagi, tapi Juwairiah sudah lebih dulu mentas, menenteng eceng gondok yang dia panen di bantaran Sungai Weding agak menjauh dari bibir kali. Perempuan lansia itu mengatakan, kakinya sedang sakit sehingga dia nggak bisa memanen tumbuhan air tersebut sebanyak biasanya.

Juwairiah adalah penyuplai eceng gondok kering dari Desa Weding, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak. Di desa tersebut, profesi ini cukup lazim dilakukan warganya. Banyaknya eceng gondok di sepanjang bantaran Sungai Weding membuat pekerjaan itu memungkinkan untuk dilakukan.

Juwairiah bahkan mengaku sudah melakoni pekerjaan tersebut sejak sekitar 10 tahun lalu. Hasilnya nggak banyak, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Umumnya, para pemanen eceng gondok akan turun ke sungai sejak pagi, lalu baru beristirahat selepas tengah hari.

Namun, hari itu Juwairiah nggak bisa mengumpulkan lebih banyak lagi. Kakinya yang sakit membuatnya kesulitan turun ke sungai sehingga memilih hanya mengambil eceng gondok yang tumbuh di pinggir sungai, yang masih bisa direngkuh dengan kedua tangannya.

Saat saya bertemu Juwairiah, perempuan 50 tahun itu tengah duduk di tepi pantai dengan kaki dibiarkan berselonjor. Eceng gondok yang dipanennya dibiarkan tergeletak di sampingnya. Sementara, kedua tangannya sibuk menyayat batang tumbuhan dengan nama Latin Pontederia crassipes itu sebelum dijemur.

"Kaki saya sakit, jadi saya ngambil sebisanya saja," kata dia setelah menyambut kedatangan saya dengan senyum ramah, belum lama ini.

Daripada Menganggur

Kaki Juwairiah sejatinya telah lama sakit. Itu pula yang menjadi alasan dirinya memutuskan untuk beralih profesi sebagai pemanen eceng gondok. Sebelum kakinya sakit, dia adalah buruh tani yang sehari-hari bekerja di sawah.

"Lah, gimana? Mau kerja di sawah sudah tidak bisa. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa saya lakukan, jadi terpaksa ambil eceng gondok daripada nganggur," tuturnya.

Bekerja memanen eceng gondok biasanya memang menjadi opsi terakhir di Desa Weding. Kalau nggak merantau atau menjadi pekerja pabrik, para pemuda yang masih sehat biasanya akan memilih menggarap sawah atau menjadi buruh tani.

Eceng gondok yang didapatkan dari sungai lalu dikeringkan selama sepuluh hari agar bisa dijual ke pengepul. (Inibaru.id/ Sekarwati)
Eceng gondok yang didapatkan dari sungai lalu dikeringkan selama sepuluh hari agar bisa dijual ke pengepul. (Inibaru.id/ Sekarwati)

Inilah yang membuat sebagian pemanen eceng gondok didominasi para lansia. Selain uang yang didapatkan nggak terlalu besar, pekerjaan kasar itu juga membutuhkan waktu lama untuk bisa terlihat hasilnya.

"Begini juga tidak apa-apa. Yang penting bisa untuk nyambung hidup dan memenuhi kebutuhan keluarga," terangnya sembari tetap bekerja. "Sedikit tidak apa-apa. Tetap disyukuri."

Tetap Disyukuri

Dalam sehari, Juwairiah bisa mengambil paling sedikit tiga ikat eceng gondok dari Sungai Weding. Namun, kadang dia bisa mengambil hingga belasan ikat, tergantung cuaca dan banyaknya stok yang sudah dimilikinya.

"Eceng gondok yang basah tidak bisa dijual. Harus dikeringkan dulu, dijemur di bawah terik matahari langsung seperti ini sebelum disetorkan ke pengepul," ujarnya sembari menunjuk batang eceng gondok yang tampak mulai menguning.

Pada musim kemarau, Juwairiah mengatakan, cuaca terik bisa membuat eceng gondok lebih cepat kering, dengan waktu penjemuran sekitar sepekan hingga 10 hari saja. Namun, tantangan justru datang pada musim penghujan.

"Pada musim penghujan, pengeringan eceng gondok bisa memakan waktu hingga sebulan. Kami bisa rugi, terlebih kalau hujan turun terus-menerus; eceng gondok bisa nggak kering-kering dan akhirnya busuk," keluhnya. "Padahal, pengepul cuma ambil (eceng gondok) yang sudah kering."

Selain cuaca, harga yang fluktuatif juga diakui Juwairiah masih menjadi tantangan tersendiri untuknya. Pengepul membeli eceng gondong sesuai dengan harga di pasaran. Awal-awal menyuplai eceng gondok, dia menyebut, harganya masih Rp10 ribu per kilogram.

"Sekarang turun sampai Rp6.000 karena sudah banyak pesaing. Ya sudah, bagaimana lagi? Disyukuri saja," pungkasnya.

Pertemuan singkat dengan Juwairiah mengajari saya dua hal, bahwa mengeluh nggak akan mengubah nasib buruk dan bersyukur bisa menjadi satu kata ampuh untuk menjalani hidup yang berat. Ah, apalah saya yang sering mengeluh cuma karena kehujanan di tengah jalan. (Sekarwati/E10)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved