BerandaPasar Kreatif
Rabu, 16 Jul 2025 16:16

Eceng Gondok, Gulma yang Bernilai Ekonomi bagi Warga Desa Weding di Demak

Penulis:

Eceng Gondok, Gulma yang Bernilai Ekonomi bagi Warga Desa Weding di DemakSekarwati
Eceng Gondok, Gulma yang Bernilai Ekonomi bagi Warga Desa Weding di Demak

Acap dianggap gulma oleh banyak orang, tapi bagi sebagian warga Desa Weding, eceng gondok adalah sumber penghasilan yang cukup untuk mencukupi hidup sehari-hari. (Inibaru.id/ Sekarwati)

Tumbuh liar di sepanjang bantaran sungai, eceng gondok yang acap dianggap gulma oleh banyak orang justru bernilai ekonomi bagi warga Desa Weding di Kabupaten Demak ini.

Inibaru.id – Sebagai tanaman air yang invasif, eceng gondok adalah tumbuhan liar yang menutupi wilayah perairan terbuka seperti sungai, danau, atau rawa-rawa. Jika nggak sering dipangkas, pertumbuhannya yang sangat cepat acap dianggap sebagai gulma air.

Di Kabupaten Demak, khususnya di wilayah pesisir yang memiliki cukup banyak kawasan perairan terbuka seperti Desa Weding, Kecamatan Bonang, pertumbuhan eceng gondok juga terbilang masif. Namun, alih-alih merasa terusik, sebagian warganya justru merasa senang.

Para warga tersebut senang karena tumbuhan air dengan nama latin Pontederia crassipes ini adalah sumber rezeki bagi mereka. Tanpa perlu menanam dan menunggu waktu panen, mereka bisa menuai eceng gondok setiap hari untuk dikonversi menjadi rupiah.

Oya, persebaran eceng gondok terluas di desa tersebut berlokasi di sepanjang bantaran Sungai Weding. Kalau pernah menyambangi tempat tersebut, kamu pasti akan melihat aktivitas warga yang tengah memanen tanaman air asli Amerika Selatan ini di sungai itu.

Dijemur di Pinggir Jalan

Aktivitas memanen eceng gondok biasanya dilakukan pada pagi hari hingga menjelang siang. Saat saya menyambangi desa ini beberapa waktu lalu, karena sudah agak siang, sebagian orang tampak sudah mentas dari sungai dan mulai menjemur "hasil panen" tersebut.

Kusnan, salah seorang pemanen eceng gondok di Desa Weding yang tengah menjemur hasil panennya itu di pinggir jalan mengungkapkan, dia telah bekerja sedari pagi. Menjelang tengah hari, sudah satu pikul eceng gondok diperolehnya.

“Sehari saya bisa ambil tiga ikat eceng gondok. Satu ikatnya kira-kira lima kilogram,” kata dia sembari menjemur tumbuhan tersebut.

Lelaki berusia 63 tahun itu mengaku sudah lima tahun menjadi pemanen eceng gondok. Sehari-hari, rata-rata dia bisa mengumpulkan 10-50 kilogram tumbuhan basah. Eceng gondok tersebut kemudian dikeringkan dengan cara dijemur di bawah terik matahari langsung, lalu disetorkan ke pengepul setelah kadar air hilang.

“Proses pengeringan bisa memakan waktu sekitar 8 sampai 15 hari. Setelah kering, eceng gondok biasanya dikirim ke Salatiga dan Yogyakarta,” aku Kusnan.

Bahan Kerajinan Tangan

Dalam sehari bekerja dari pagi hingga siang, Kusnan bisa memanen 10-50 kilogram eceng gondok. (Inibaru.id/ Sekarwati) 
Dalam sehari bekerja dari pagi hingga siang, Kusnan bisa memanen 10-50 kilogram eceng gondok. (Inibaru.id/ Sekarwati)

Satu kilogram eceng gondok kering, dia melanjutkan, dihargai sekitar Rp6.000. Artinya, jika bisa menghasilkan satu kuintal, Kusnan bakal memperoleh uang kekurangnya Rp600 ribu. Eceng gondok kering ini nantinya akan dijadikan sebagai bahan kerajinan tangan.

"Eceng gondok kering nantinya diubah menjadi tas, kotak tisu, atau alas piring. Keuntungan dari proses (pemanenan dan penjemuran) ini biasanya baru saya rasakan setelah satu bulan," kata dia.

Meski acap dipandang sebagai gulma oleh orang, bagi Kusnan eceng gondok adalah tumbuhan yang bernilai karena mampu menopang kebutuhan sehari-harinya di masa tua. Usia yang telah kepala enam diakuinya nggak bisa lagi membuatnya pilih-pilih usaha.

"Saya kan sudah tua, sudah nggak bisa merantau, jadi kerja seadanya saja, ikut ambil eceng gondok di Sungai Weding bareng yang lain untuk menopang hidup dan mencukupi kebutuhan keluarga," tutur lelaki bersahaja tersebut tanpa menghentikan pekerjaannya.

Harga yang Terus Turun

Pemanen eceng gondok di bantaran Sunga Weding memang didominasi para lansia yang biasanya sudah nggak memungkinkan untuk merantau atau bekerja di pabrik. Nggak hanya para lelaki seperti Kusnan, pekerjaan yang cukup menguras tenaga itu juga cukup banyak dilakukan oleh para perempuan.

Salah satunya adalah Juwairiah, perempuan 50 tahun yang mengaku sudah sekitar satu dekade menjalani keseharian sebagai penyuplai eceng gondok kering. Di desa tersebut, dia bahkan dikenal sebagai salah satu yang paling tahu tentang perkembangan harga jual "komoditas" ini.

"Harga eceng gondok cukup fluktuatif, bahkan cenderung turun belakangan ini. Mungkin karena sekarang semakin banyak yang menyuplai, jadi harganya rendah," tutur perempuan paruh baya itu.

Dulu, dia menambahkan, satu kilogram eceng gondok kering bisa dihargai Rp10 ribu, lalu turun ke Rp9.000, ke Rp8.000, bahkan pernah menyentuh harga Rp3.500, tapi sekarang bertahan di angka Rp6.000-7.000 per kilogram.

"Sekarang katanya yang suplai dari mana-mana, jadi harganya ikut turun. Ya sudah, diterima dan disyukuri; bertahan seadanya," tutupnya diiringi seulas senyum hangat.

Meski sedikit menyisakan rasa sesak di dada, saya senang melihat besarnya semangat yang ditunjukkan para petani eceng gondok ini. Kalau kamu punya tas atau sandal dari eceng gondok, bisa jadi bahannya berasal dari mereka, nih! (Sekarwati/E10)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved