BerandaAdventurial
Sabtu, 12 Jul 2025 15:06

Dari Pasar Kliwon ke Stasiun Wergu; Jalur Trem Kudus yang Terpendam Waktu

Penulis:

Dari Pasar Kliwon ke Stasiun Wergu; Jalur Trem Kudus yang Terpendam WaktuImam Khanafi
Dari Pasar Kliwon ke Stasiun Wergu; Jalur Trem Kudus yang Terpendam Waktu

Para peserta walking tour berfoto bareng di gedung bekas Stasium Wergu di Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Jalur trem pernah membelah Kudus, melewati Stasiun Wergu dan Pasar Kliwon, menjadi simbol kemajuan dan besarnya hasil bumi seperti tembakau dan gula di sini, sebelum meredup dan disuntik mati pada 1986.

Inibaru.id - Akhir pekan pada akhir Juni; matahari masih ramah, belum terlalu menyengat. Sekitar 40 orang dari berbagai usia berkumpul di satu titik yang nyaris terlupakan oleh masyarakat modern di Kabupaten Kudus, yakni Stasiun Wergu.

Lebih tepatnya bangunan bekas Stasiun Wergu, karena tempat ini sudah nggak beroperasi. Nggak ada lagi kereta yang datang, derak roda besi yang bergesekan dengan rel, atau peluit masinis yang melengkung di sini. Yang ada hanya gedung tua dengan atap yang sudah melompong di sana-sini.

Namun, seperti riuh calon penumpang di peron stasiun kebanggaan warga Kudus ini empat dekade lalu, ke-40 peserta walking tour trem Kudus yang diselenggarakan oleh komunitas Cerita Kudus Tuwa, Lelala Kudus, dan IRPS Semarang tersebut tampak membuat bangunan ini hidup kembali.

Dua pemandu, Nova David dan Hidayat, berdiri di depan. Dengan mikrofon sebagai pelantang, keduanya silih berganti menceritakan sepetik ingatan dan sedikit catatan kecil sejarah bangunan ini. Beberapa orang tampak khusyuk menyimak, sedangkan sisanya sibuk mengarahkan kamera ke berbagai sudut gedung.

Yang Tersisa dari Stasiun Wergu

Nova dan Hidayat secara bergantian menceritakan tentang jalur trem yang membelah Kabupaten Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Nova dan Hidayat secara bergantian menceritakan tentang jalur trem yang membelah Kabupaten Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Wajar jika mereka pengin mengabadikan sebanyak mungkin momen pertemuan dengan gedung tua yang juga dikenal sebagai Stasiun Kudus itu, karena sebagian besar dari mereka mungkin hanya mengenalnya sebagai papan penunjuk jalan atau berdasarkan cerita orang tua mereka sebelum ini.

Ya, nggak banyak yang tahu bahwa pada 1921, Stasiun Wergu menjadi mercusuar baru bagi geliat modernitas di Kudus; menggantikan stasiun lama di Pasar Kliwon yang nggak lagi memadai untuk menampung arus penumpang dan barang.

“Gedung dan pekarangannya empat kali lebih besar dari Kliwon,” kata Nova, mengutip harian Djawa Tengah terbitan 1921, seraya menunjuk arah bekas bangunan yang kini telah berubah wujud.

Arah yang ditunjuk merupakan bangunan memanjang beratap tinggi dengan rangka-rangka raksasa dari besi tua yang sebagian besar telah berkarat. Lantainya berdebu dan separuh tegelnya telah terkelupas. Sulit dipercaya bahwa tempat ini pernah menjadi nadi transportasi massal di Kota Kretek.

Dari Wergu ke Pasar Kliwon

Di depan pasar Kliwon Kudus, Nova sedang menjelaskan tentang ihwal mula kereta melewati Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Di depan pasar Kliwon Kudus, Nova sedang menjelaskan tentang ihwal mula kereta melewati Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Dari Stasiun Wergu, para peserta berarak ke Pasar Kliwon yang berjarak hampir dua kilometer. Dulu, orang-orang naik trem ke sana, tapi karena sekarang sudah nggak ada, mereka memilih angkutan kota. Di pasar inilah trem atau kereta uap Kudus mulai beroperasi pada 1884.

Saat rombongan tiba, pasar tersibuk di Kota Kretek ini masih tampak lengang, karena para pedagang biasanya baru buka lapak sekitar jam sepuluh pagi. Seperti dulu, roda ekonomi masih berputar cepat di tempat ini, tentu saja dengan barang dagangan yang telah jauh berubah.

Kini, Pasar Kliwon dipenuhi deretan toko kelontong dan kedai makanan, bukan lagi gudang tembakau dan gula yang berhasil membuat trem masuk Kudus untuk kali pertama pada suatu pagi di bulan April. Kereta itu datang dari Demak, merayap pelan dengan kecepatan 15 kilometer per jam.

“Bayangkan betapa takjubnya warga Kudus saat itu,” ujar Hidayat, yang menghidupkan suasana dengan gaya bertuturnya yang luwes. “Wartawan Belanda mencatat bahwa ratusan mata yang disebut ‘lubang kancing Tionghoa’ mengintip dari rumah-rumah sepanjang jalan saat trem kali pertama lewat.”

Trem sebagai Simbol Kemajuan

Perserta terlihat antusias mengikuti walking tour jalur trem di Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Perserta terlihat antusias mengikuti walking tour jalur trem di Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Keberadaan trem kala itu bukanlah sebatas kendaraan massal, tapi juga simbol kemajuan. Meski dengan laju yang hanya setara kecepatan lari kelinci, trem di Kudus menunjukkan bahwa kota itu memiliki potensi. Dari segi ekonomi, ini juga menunjukkan semangat keterhubungan.

Pasar Kliwon dipilih sebagai lokasi awal stasiun bukan tanpa alasan. Sebagai pusat ekonomi kala itu, stasiun di dekat pasar otomatis memberi kesempatan pedagang, penumpang, serta hasil bumi utama Kudus—khususnya tembakau dan sigaret—saling terhubung dan langsung masuk ke jalur distribusi regional.

Sayangnya, jejak kejayaan trem di Kudus kala itu mulai tersamar kini. Dengan berjalan kaki, para peserta sempat menyusuri jalur kereta yang mereka yakini dulu dilalui trem, yang saat ini telah berubah menjadi jalan raya, toko, dan rumah-rumah.

Dengan teliti Nova dan Hidayat memandu para peserta menapaki laju kereta sembari menceritakan bahwa dulu kereta merambat dari Jembatan Tanggulangin, menyusuri Jalan AKBP Agil Kusumadya, Jalan Lukmono Hadi, lalu berbelok ke Jalan Jendral Sudirman menuju Simpang Tujuh, sebelum akhirnya melesat ke arah Pati.

“Halte-halte kecil seperti Tanggulangin, Alun-alun, Bendo Kerep, Bareng, dan Klaling pernah menjadi titik naik-turun penumpang,” jelas Nova. “Kini memang tak ada jejak fisiknya, tapi kisahnya masih mengendap di ingatan kota.”

Kemungkinan Revitalisasi Trem Kudus

Peserta sendang mendengarkan dan memperhatikan foto lawas saat walking tour. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Peserta sendang mendengarkan dan memperhatikan foto lawas saat walking tour. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Sambil berjalan menyusuri jalur trem, Nova pun mengajak para peserta untuk membayangkan bagaimana trem yang merambat pelan itu terdengar di antara rumah-rumah kampung Tionghoa yang sibuk kala itu. Apakah nyaring? Ataukah berisik?

Mereka juga diajak berhitung, berapa besar tarif trem yang kala itu 0,6 sen per kilometer jika dikonversi dengan kurs saat ini. Setelahnya, mereka diajak berkayal, seperti apa rasanya berada dalam gerbong kayu yang dipenuhi aroma cengkih, gula, dan kretek.

Saat itulah seorang remaja perempuan bertanya dengan polos, mungkinkah kereta ini dihidupkan lagi? Nova hanya tersenyum simpul. Pandangannya menerawang jauh seolah isi kepalanya tengah berputar keras mencari jawaban yang tepat.

“Mungkin tidak dalam bentuk yang sama, tapi semangatnya bisa kita hidupkan lewat cerita seperti hari ini,” sahutnya kemudian.

Awal dari Akhir Trem Kudus

Peserta antusias melihat foto dan medengarkan penjelasan storyteller (Inibaru.id/Imam Khanafi)
Peserta antusias melihat foto dan medengarkan penjelasan storyteller (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Setelah berjalan sekitar tiga kilometer, mereka pun tiba di titik awal, yakni bangunan bekas Stasiun Wergu. Sulit dibayangkan jalur trem bisa punah di Kudus, sementara denyut ekonomi di kota ini kian cepat dari tahun ke tahun.

Sebelum sesi walking tour diakhiri, mereka pun kemudian diajak berefleksi betapa megahnya Stasiun Wergu pada waktu itu, yang membuat perusahaan kereta Hindia Belanda Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) memperbarui jalur kereta Pati, Semarang, dan Jepara untuk bisa melalui titik tersebut.

Kini, yang tersisa hanyalah emplasemen, depo lokomotif, gudang, toren air, rumah dinas, dan sejumlah peninggalan lain yang telah beralih fungsi atau mangkrak ditutupi seng setelah trem Kudus resmi disuntik mati pada 1986.

Namun begitu, awal dari akhir kejayaan trem Kudus sejatinya telah dimulai jauh lebih lama dari itu. Perang Dunia I, krisis ekonomi, dan kemunculan bus serta truk sebagai moda darat yang lebih gesit membuat kilau kereta uap turut meredup.

Kejayaan yang Layak Dikenang

Hidayat menunjukan foto ke peserta untuk membndingkan yang sekarang (Inibaru.id/Imam Khanafi)
Hidayat menunjukan foto ke peserta untuk membndingkan yang sekarang (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Trem Kudus adalah bagian dari korban perubahan zaman. Setelah pamornya terus meredup, perlahan tapi pasti jalur kereta ini mulai ditinggalkan, hingga akhirnya empat dekade lalu keberadaan Stasiun Wergu resmi dihapus dari daftar transportasi massal di kota sibuk ini.

Rel-rel tua dicabut, dilupakan, atau tertimbun aspal. Tapi pagi ini, puluhan pasang kaki membangunkannya kembali, meski hanya bisa dilakukan lewat langkah, cerita, dan ingatan. Nggak masalah, karena kisah kejayaan ini memang layak dikenang.

Dan, walking tour pun berakhir. Para peserta duduk santai di bawah pohon tua, menyeruput es teh sembari mulai mengobrol tentang kisah masa lalu ketika kali pertama mendengar cerita tentang trem Kudus dari nenek-kakek. Sisanya sibuk melihat hasil jepretan atau membaca ulang catatan.

“Jejak itu masih ada,” kata Hidayat, menutup perjalanan. “Tapi hanya bisa ditemukan jika kita mau melangkah dan mendengarkan.”

Menelusuri Lapisan Waktu di Kudus

Peserta berhenti dan di depan bekas depo kereta yang sekarang jadi gudang barang bakas (Inibaru.id/Imam Khanafi)
Peserta berhenti dan di depan bekas depo kereta yang sekarang jadi gudang barang bakas (Inibaru.id/Imam Khanafi)

Walking tour trem Kudus yang diselenggarakan lintas komunitas pencinta sejarah ini merupakan upaya untuk menyelisik lembaran buku usang di tanah kelahiran yang mungkin telah dilupakan sebagian orang, padahal sangat sayang untuk dilewatkan.

Event rutin yang dikemas santai dan menyenangkan ini bukanlah semata jalan-jalan sejarah, tapi juga pengingat bahwa kota seperti Kudus punya lapisan-lapisan waktu yang bisa dibuka kembali; nggak cuma oleh arkeolog atau sejarawan, tapi siapa pun yang menginginkannya.

Sebagaimana ditulis seorang wartawan Belanda pada 1884, bisa jadi Kudus memang seperti layak disebut sebagai "negeri lain" yang memikat; yang sejarah perdagangan dan harapan orang-orangnya pernah bersua dalam bunyi peluit kereta.

Meski peluit itu nggak mungkin lagi melengking, kenangan itu akan tetap nyaring di ingatan selama masih ada mulut yang menuturkan atau langkah yang menelusuri jejaknya. Maukah kamu menjadi bagian dari mereka? (Imam Khanafi/E10)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved