Inibaru.id — “Kakek saya, Djamhari, memiliki 12 anak dan 71 cucu,” papar Rohayat di hadapan para peserta Sarasehan Kretek yang digelar di Wisma Ploso Kudus, 5 Oktober 2024 lalu. Dia mengatakannya dengan lantang; senyumnya tersungging lebar.
Djamhari yang disebutkannya adalah penemu Kretek. Dalam sambutannya, Rohayat mengaku sengaja datang jauh-jauh dari Bandung untuk mengapresiasi orang-orang yang telah memberikan perhatian terhadap hasil temuan kakeknya tersebut di Kudus.
Pengetahuan tentang kiprah sang kakek sebagai pencipta kretek ini, lanjutnya, merupakan informasi yang diceritakan turun-temurun di keluarganya. Khusus untuk dirinya, dia banyak mendengar cerita tersebut dari orang tua, paman, dan bibinya.
“Saya merasa bangga sekaligus terharu karena warisan kakek saya mendapat perhatian besar dari berbagai pihak," ungkapnya dengan mimik muka penuh keharuan. "Saya berharap, kretek bisa segera diakui secara resmi sebagai warisan budaya nasional.”
Selesai dengan cerita pembuka dari Rohayat, Sarasehan Kretek dilanjutkan dengan diskusi hangat bertajuk Menelusuri Kretek, Menatap Masa Depan. Diskusi yang diprakarsai Teater Djarum ini sengaja digelar untuk merangkai kembali jejak sejarah kretek sekaligus membaca peluang "rokok berkearifan lokal" ini sebagai warisan budaya bangsa.
Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek Moddie Alvianto Wicaksono membuka diskusi tentang peran penting kretek sebagai bagian dari sejarah Indonesia. Menurutnya, diskusi ini adalah momentum untuk menegaskan bahwa kretek adalah bagian tak terpisahkan dari identitas budaya bangsa.
"Ini bukan hanya tentang rokok, tapi juga sebuah warisan yang memiliki sejarah panjang dan nilai budaya tinggi,” tutur lelaki yang akrab disapa Moddie tersebut.
Dia kemudian bercerita tentang kretek yang diisap Agus Salim, diplomat kenamaan Tanah Air, dalam acara penobatan Ratu Inggris, yang mencuri perhatian Pangeran Philip karena aromanya yang harum. Saat suami Ratu Elizabeth itu bertanya, Agus Salim menyahut, "Ini kretek, rokok yang membuat negara Anda dulu datang ke negeri kami.”
"Dari cerita ini, kita tahu bahwa kretek adalah warisan budaya bangsa yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Sayang sekali hingga kini usulan kretek sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia masih belum disetujui kementerian," keluhnya.
Kretek sebagai Identitas
Sepakat dengan Moddie, budayawan Butet Kartaredjasa mengatakan, kretek adalah simbol perlawanan dan kebanggaan lokal, khususnya bagi masyarakat Kudus yang dikenal sebagai salah satu pusat industri kretek terbesar di Indonesia.
“Kita tidak boleh melupakan akar sejarah ini. Sarasehan seperti ini penting untuk terus menggugah kesadaran kita tentang nilai-nilai yang terkandung dalam sebatang kretek,” ujar Butet.
Hal serupa juga diungkapkan budayawan Mohamad Sobary. Menurutnya, kretek adalah identitas, bukan sekadar produk konsumsi; sebuah jejak budaya yang mencerminkan perjuangan, kreativitas, dan daya hidup masyarakat Indonesia, Kretek punya nilai historis dan sosial yang perlu dipertahankan di tengah arus modernisasi.
"Upaya melestarikan kretek tidak bisa dilepaskan dari pelestarian sejarah dan identitas bangsa itu sendiri," tegas lelaki berjenggot panjang ini. “Kretek bukan semata industri atau alat ekonomi, tapi sebuah pernyataan budaya yang merepresentasikan kehidupan masyarakat.”
Menurut Sobary, tantangan besar untuk memperjuangkan kretek sebagai warisan budaya di Indonesia bukan hanya berkaitan dengan data dan penelitian, tapi juga gimana cara memunculkan semangat kolektif ini di kalangan masyarakat. Jadi, bukan semata status, tapi juga identitas bangsa.
“Perlu diingat, selain menopang ekonomi, kretek juga simbol perjuangan rakyat kecil yang gigih mempertahankan eksistensi di tengah gempuran dominasi produk tembakau impor," lontarnya. “Di balik tiap isapan kretek, ada sejarah panjang tentang ketahanan, inovasi, dan kebanggaan lokal yang tak bisa dihapus begitu saja.”
Sementara itu, sejarawan Kudus Edy Supratno yang banyak menelusuri ihwal mula penemuan kretek di Kudus dalam diskusi memilih fokus mengungkapkan tentang fakta-fakta keberadaan Djamhari sebagai sang pencetus ide yang hingga kini masih sering menjadi bahan perdebatan.
"Di kalangan masyarakat, sosok Djamhari sebagai penemu kretek masih kerap dianggap sebagai tokoh fiksi atau mitos belaka," ungkap sosok murah senyum ini, sebagimana pernah dituliskan dalam bukunya yang berjudul Djamhari Penemu Kretek: 100 Tahun Sejarah Yang Terpendam (2016).
Djamhari Bukan Mitos
Pada kesempatan tersebut, Edy menegaskan bahwa Djamhari bukanlah mitos. Lahir di Langgardalem, Kudus pada 1870-an, Djamhari merupakan anak dari Mirkam alias Haji Somad dengan Yawijah atau Hajah Aisyah. Nama Djamhari pernah disebut dalam penelitian Van Der Reijden (1934), karya jurnalis Parada Harahap (1952), dan sejarawan Australia Lance Castles (1982).
“Selama ini, nama Djamhari masih sering diperdebatkan, bahkan banyak yang menganggapnya tidak pernah ada,” keluhnya. "Yang lebih ironis, Museum Kretek di Kudus yang banyak menyimpan miniatur dan sejarah tentang kretek sama sekali tidak menampilkan peninggalan atau potret Djamhari."
Edy pun bercerita, penemuan kretek dimulai pada akhir 1880-an. Kala itu, Djamhari yang tengah berusaha meredakan penyakit asma yang dideritnya mencoba bereksperimen dengan mencampur cengkih bersama tembakau. Percobaan inilah yang diyakini Edy sebagai cikal bakal kretek.
“Cerita tentang Djamhari bukan sekadar tentang penemuan rokok, melainkan tentang bagaimana kreativitas lokal dan kondisi sosial saat itu memengaruhi terciptanya sebuah produk ikonik,” tutur Edy.
Lebih lanjut, Edy memaparkan, Djamhari lahir di Kudus, tapi dikebumikan di Jagalan, Kelurahan Tamansari, Kota Tasikmalaya. Pada 1918, sosok yang pernah aktif dalam Sarekat Islam (SI) Kudus ini memutuskan untuk pergi ke Jawa Barat bersamaan dengan pecahnya kerusuhan anti-Tionghoa di Kota Kretek.
"Kehidupan Djamhari memang penuh dinamika. Pada 1890-an, beliau menikahi Mas’idjah, putri Hajah Masirah dari Demak. Tahun 1912, beliau aktif di SI Kudus sebagai Komisaris Wilayah Prawoto, tapi kemudian meninggalkan Kudus setelah konflik anti-Tionghoa pecah pada 1918," ulas Edy.
Keputusan untuk meninggalkan Kudus ini, imbuhnya, bukan hanya demi keselamatan diri, tapi situasi sosial di Kudus-lah yang memengaruhi pilihan ini. Di Jabar, Djamhari sempat menetap di Cirebon sebelum akhirnya mukim di Tasikmalaya hingga tutup usia pada 1962.
“Di akhir hidupnya, beliau dikenal sebagai pedagang pakaian. Di tengah perubahan zaman itu, Djamhari beradaptasi, tapi tetap mempertahankan integritasnya sebagai seorang inovator,” tandasnya, diikuti tepuk tangan seluruh peserta sarasehan.
Bagi sebagian orang, kretek mungkin hanyalah sebatang rokok yang sama-sama mengepulkan asap saat dibakar. Namun, nggak sedikit pula yang menganggapnya sebagai bentuk perlawanan sekaligus upaya untuk nguri-uri warisan budaya, lo! Kamu termasuk kubu yang mana, nih? (Imam Khanafi/E03)