Inibaru.id - Angin segar beraroma laut di pesisir Rembang pada pagi hari menggandeng tangan saya, menuntun langkah kaki menuju sebuah bangunan lawas bergaya kolonial yang memancarkan aura klasik, yakni Oemah Batik Tiga Negeri bilangan Lasem.
Sebelum tiba di ruang utama galeri dan museum, langkah saya terhenti oleh sebentuk pemandangan yang syahdu: para ibu duduk tekun membatik, membubuhkan malam panas ke kain putih yang kelak akan menjelma menjadi lembaran karya seni yang bisa dikenakan.
Di balik gerak tangan mereka yang terlatih, tersimpan kisah panjang tentang ketekunan dan warisan budaya yang seperti mengakar di antara jemari yang tampak mulai mengerut.
Saya mengamati cukup lama; bagaimana canting yang digerakkan empunya mengambil malam cair yang dididihkan di atas wajan mungil, lalu menari-nari di atas kain putih, mengulas garis dan titik-titik yang nantinya menjadi batik; sebelum mengalihkan pandangan ke sisi halaman tempat "lukisan-lukisan" itu dipajang.
Di sisi halaman, deretan kain dan busana batik ditata rapi di bawah naungan tiang-tiang besar. Belanja menjadi bagian dari pengalaman ini—bukan sekadar transaksi, tapi penghormatan terhadap proses panjang dan keindahan yang lahir dari waktu.
Pagi itu, Lasem diselimuti udara hangat dan sinar matahari yang jatuh malas-malas di antara sela-sela bangunan tua di kawasan pecinan. Di ujung Jalan Karangturi IV, sebuah rumah kolonial berdiri tenang, memancarkan aura masa lalu yang tetap hidup dalam diam.
Di sinilah, di paviliun Rumah Keluarga Tjoa, Museum dan Galeri Batik Tiga Negeri menunggu dengan segala cerita yang dibawanya dari masa lalu. Ditemani Anwar, pegawai muda yang sudah lama mengabdikan waktunya di Oemah Batik Tiga Negeri Lasem, pagi itu kami masuk ke ruang dalam museum.
Dinding-dindingnya padat dengan koleksi batik klasik. Interior ruang memadukan kehangatan rumah dan kesakralan galeri seni. Di tengah ruangan, Anwar menunjukan satu lembar kain batik berusia puluhan tahun.
“Lihat ini!" serunya yang seketika membuat saya menoleh. "Ini warisan Tionghoa yang sudah menyatu dalam narasi Jawa. Lasem itu unik, karena dari telah menjadi tempat bertemunya banyak bangsa.”
Anwar lalu mengajak saya ke sisi ruangan yang menampilkan infografis sejarah batik Lasem. Ada garis waktu yang memulai kisah sejak Kerajaan Lasem yang berangka tahun 1351.
Di situ tergambar peran penting pelaut-pelaut Tiongkok, termasuk ekspedisi Cheng Ho yang diyakini membawa kisah rakyat seperti Binangun dan Nalini, dua sosok legendaris yang memberi nyawa pada cikal bakal batik Lasem.
“Ini bukan sekadar batik,” kata Anwar pelan, “tapi juga cara orang Lasem merajut ingatan kolektif mereka terhadap sejarah yang panjang dan berliku.”
Dari zaman Kerajaan Lasem hingga era Lasem sebagai Kota Candu di bawah Hindia Belanda pada akhir abad ke-18, kain batik telah menjadi komoditas utama.
“Pernah ada 120 perusahaan batik di Lasem menurut laporan Batikrapport 1930,” ujar Anwar sembari menunjuk kutipan dari P de Kat Angelino. “Mayoritas milik etnis Tionghoa. Bayangkan betapa hidupnya Lasem saat itu; kota kecil yang jadi panggung kosmopolitan!”
Kain yang Membungkus Kenangan
Kami berhenti di depan pajangan foto pernikahan keluarga Tionghoa dari tahun 1967. Di sekelilingnya tergantung kain batik untuk tokwi dan langitan—jenis kain yang digunakan dalam ritus pernikahan dan kematian.
Anwar tampak menatap warisan sejarah itu dengan khidmat.
“Kain ini bukan hanya pakaian. Dia ikut dalam momen-momen penting kehidupan. Ia menutup tubuh, tapi juga membungkus kenangan.”
Untuk kamu yang berniat berkunjung ke sini, perlu kamu tahu bahwa pengelola museum membagi batik Lasem dalam dua kategori besar: klasik dan modern.
Warna merah "getih pitik", biru, kuning, dan sogan mendominasi motif klasik seperti Kembang Mbaagan, Burung Hong, dan Naga. Sementara, batik modern lebih berani mengeksplorasi motif dan warna.
"Tapi semua tetap setia pada prinsip menghargai proses," jelas Anwar. “Batik di sini tidak pernah tergesa-gesa, karena ada ruh dalam tiap lembarnya.”
Menurut saya, museum ini berhasil menyuguhkan narasi mendalam yang detail mengenai Batik Tiga Negeri yang lahir dari olah seni lintas wilayah dan budaya; yang menghubungkan Lasem dengan Pekalongan, Solo, Yogyakarta, Cirebon hingga Madura.
Warna getih pitik dari Lasem yang khas berkelindan dengan biru dari Pekalongan dan sogan coklat dari Solo menjadi simbol keanekaragaman yang melebur dalam satu karya tekstil yang anggun.
Museum yang berdiri pada 2018 ini adalah simpul penting dalam memahami dinamika sejarah dan sosial masyarakat Lasem. Ruang-ruangnya merekam memori tentang bagaimana batik menjadi jalan pertemuan antarbangsa, etnis, bahkan generasi.
Di salah satu dinding museum, terpapar garis waktu sejarah batik Lasem yang kaya dan berliku, dimulai sejak era Kerajaan Lasem (1351–1479) yang menjadi tujuan perantau Tiongkok. Kisah Binangun dan Nalini yang tertuang dalam ekspedisi Cheng Ho (1405–1433) kemudian disebut sebagai cikal bakal Batik Lasem.
Setelahnya, Lasem tumbuh menjadi Kota Candu Hindia Belanda pada 1790–1894; saat itu pula ia menjadi produsen batik penting untuk ekspor ke Sumatera hingga awal abad ke-20, sebelum mengalami kemunduran pada 1931 seiring dengan industri batik yang juga lesu kala itu.
Laporan dari P de Kat Angelino dalam Batikrapport tahun 1930 menyebut Lasem sebagai "Kota Batik" dengan 120 perusahaan batik, mayoritas dimiliki etnis Tionghoa. Fakta ini menggambarkan bagaimana industri batik di Lasem menjadi panggung kosmopolitan yang unik dan berbeda dari wilayah lain di Jawa.
Kota Kecil dengan Sejarah Panjang
Berkunjung ke Lasem, siapa pun akan merasa bahwa masa lalu begitu terasa dekat di sini, karena kita bisa melihat jejak-jejak sejarah yang menyatu dengan keseharian masyarakat dan berbagai gedung tua di tempat ini, dengan Museum dan Galeri Batik Tiga Negeri sebagai salah satu perlambangnya.
Di tempat ini, kita akan diajak memahami batik Lasem yang dibagi menjadi dua, yakni klasik dan modern. Corak klasik, yang ditandai dengan warna merah, biru, dan sogan, bisa dikenali dengan motif khas seperti naga dan burung hong. Sementara, warna dan motif batik modern lebih ekspresif mengikuti selera pasar.
Kain batik yang dipamerkan di museum ini macam-macam, mulai dari tapih, sarung, selendang bayi, hingga tokwi dan langitan yang biasa digunakan sebagai penutup jenazah atau ranjang pengantin; dari yang bermotif halus hingga berwarna tegas, memperlihatkan kehalusan teknik dan kekayaan simbolisnya.
Tak jauh dari pajangan kain, terpajang foto pernikahan keluarga Tionghoa Lasem tahun 1967 yang menjadi penanda pentingnya batik, nggak hanya sebagai produk budaya, tapi juga bagian nggak terpisahkan dari ritus kehidupan masyarakat.
Museum Mini Batik Tiga Negeri Lasem bukan hanya galeri, tetapi juga ruang mengenang, karena kita serasa menelusuri jejak warisan bersama yang berkelana lintas waktu dan wilayah. Di sinilah ia bercerita tentang lembaran kain bercorak yang melintasi etnis dan generasi.
Kendati nggak megah, ia berhasil membawa kekayaan makna yang jauh lebih dalam dari sekadar ruang pamer. Di sinilah, sejarah, estetika, dan spiritualitas menyatu dalam helai kain. Lebih dari sekadar warisan industri tekstil, museum mungil ini adalah pita kenangan yang terus berputar.
Sebelum pulang, Anwar berkata lirih, “Lasem mungkin kecil, tapi sejarahnya panjang; dengan batik sebagai jendela untuk melihat semua itu. Di sini, kita tidak sedang melihat kain, tapi rentang waktu.”
Saya mengangguk. Di Oemah Batik Tiga Negeri Lasem, waktu tidak pernah melekang. Ia menetes perlahan seperti malam panas dari canting; mengikat warna, motif, dan cerita menjadi satu. (Imam Khanafi/E10)