BerandaTradisinesia
Senin, 24 Des 2017 01:30

Tradisi Natal Keturunan Portugis di Kampung Tugu

Menari dalam tradisi Mandi-Mandi peranakan Portugal di Kampung Tugu, Jakarta. (Detikcom)

Melestarikan tradisi warisan leluhur, warga keturunan Portugis di Kampung Tugu memiliki tradisi unik merayakan Natal.

Inibaru.id - Perayaan Natal dikenal sebagai peringatan kelahiran Yesus Kristus di berbagai penjuru dunia. Mereka yang merayakan Natal ini pun menyambutnya dengan tradisi yang berbeda-beda.

Di negara-negara Barat, perayaan Natal identik dengan misa Natal di gereja, acara-acara makan, hadiah-hadiah Natal, Santa Klaus, pohon Natal, film-film Natal, atau liburan yang panjang. Selain itu, banyak mal, restoran, supermarket, gedung, rumah, dan jalanan dihiasi dengan ornamen-ornamen Natal yang meriah. Meskipun hal-hal tersebut juga dapat ditemukan di Indonesia, tapi ada juga beragam tradisi berbeda yang dilakukan masyarakat di Tanah Air untuk menyambut hari Natal.

Salah satunya adalah perayaan Natal yang dilakukan warga kampung Tugu, Semper Barat, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.

Menjadi tempat permukiman para keturunan Portugis yang dulunya menjadi tawanan VOC, kawasan itu terlihat sama seperti permukiman penduduk yang lainnya. Saat perayaan Natal, warga di sana juga melakukan ibadah di gereja. Namun ada hal lain yang membuat perayaan Natal di sana menjadi unik dan menarik, yaitu mereka masih menjaga tradisi Natal yang diturunkan oleh leluhur mereka.

Tradisi apa itu?

Mengutip Kompas.com (26/12/2013), tradisi yang pertama yaitu tradisi Biti Singkuh. Ini merupakan ritual penghormatan anggota keluarga pada orang tua mereka, termasuk dengan cara melakukan ziarah ke makam leluhur yang berada di sebelah Gereja Tugu setelah melakukan kebaktian.

Baca juga:
Jaranan, Nggak Sekadar Naik Kuda Tiruan
Rasa Syukur Orang Osing dalam “Selametan Sawah”

Terkait makam, awalnya para pendahulu mereka memakamkan anggota keluarganya di halaman rumah. Namun, karena semakin banyak yang meninggal, maka diputuskan untuk menyatukan makam di sebelah gereja karena saat itu luasnya mencapai empat hektare.

Saat berziarah, warga akan datang membawa lilin atau bunga. Setelah itu mereka akan pulang ke rumah dan berkumpul bersama dengan keluarganya. Biasanya, momen tersebut juga akan digunakan generasi muda untuk meminta maaf kepada orang tua yang memang menjadi tradisi nenek moyang orang Tugu.

Selanjutnya seusai perayaan Natal, ada tradisi Rabo-Rabo. Saat acara Rabo-Rabo inilah kemeriahan di kampung Tugu mulai terlihat. Rabo-Rabo merupakan sebuah pesta adat. Mirip seperti acara halal bihalal umat Islam saat Lebaran, para warga akan saling berkunjung berkeliling kampung dengan bersalam-salaman dan meminta maaf.

Menukil Tribunnews.com (26/12/2016), bedanya mereka akan melakukannya sambil bermain musik keroncong dan menari bersama. Biasanya lagu yang dimainkan berjudul "Bate-bate Porta" yang artinya mengetuk pintu. Jadi seolah-olah mereka bernyanyi itu layaknya bertamu mengetuk pintu.

Uniknya lagi, seperti namanya yang berasal dari kata "Rabo" yang dalam bahasa Portugis berarti mengekor, setiap penghuni rumah yang telah dikunjungi harus mengikuti rombongan untuk berkunjung ke rumah warga lainnya. Dimulai dari mengunjungi gereja yang berlanjut hingga ke rumah warga terakhir, pesta adat ini biasanya dilakukan ketika Tahun Baru. Wah, tentunya Kampung Tugu akan sangat ramai sekali.

Sedangkan untuk puncak perayaan Natal di Kampung Tugu, ada lagi tradisi Mandi-Mandi. Meskipun namanya Mandi-Mandi, nggak sedikitpun ritual mandi apalagi mandi bersama. Yang ada, para warga menyanyikan lagu berjudul "Mande-Mande".

Baca juga:
Pesta Syukur Suku Jerieng di Bumi Sejiran Setason
Selamatan Padi Orang Baduy, Doa, dan Pelestarian Angklung

Nah, dalam tradisi Mandi-Mandi inilah, nantinya para warga akan berkumpul dan saling mengoleskan bedak yang dicampur di air ke muka. Olesan bedak itu menjadi tanda penebus dosa dan permintaan maaf untuk satu tahun kesalahan yang diperbuat. Selain itu, acara Mandi-Mandi ini juga menjadi tanda bahwa warga sudah siap menyambut Tahun Baru.

Well, walaupun mereka tinggal jauh dari permukiman leluhurnya, mereka nggak melupakan tradisinya. Tentunya hal tersebut patut dicontoh. Sobat Millens setuju, bukan? (ALE/SA)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Cantiknya Deburan Ombak Berpadu Sunset di Pantai Midodaren Gunungkidul

8 Nov 2024

Mengapa Nggak Ada Bagian Bendera Wales di Bendera Union Jack Inggris Raya?

8 Nov 2024

Jadi Kabupaten dengan Angka Kemiskinan Terendah, Berapa Jumlah Orang Miskin di Jepara?

8 Nov 2024

Banyak Pasangan Sulit Mengakhiri Hubungan yang Nggak Sehat, Mengapa?

8 Nov 2024

Tanpa Gajih, Kesegaran Luar Biasa di Setiap Suapan Sop Sapi Bu Murah Kudus Hanya Rp10 Ribu!

8 Nov 2024

Kenakan Toga, Puluhan Lansia di Jepara Diwisuda

8 Nov 2024

Keseruan Pati Playon Ikuti 'The Big Tour'; Pemanasan sebelum Borobudur Marathon 2024

8 Nov 2024

Sarapan Lima Ribu, Cara Unik Warga Bulustalan Semarang Berbagi dengan Sesama

8 Nov 2024

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024