Inibaru.id – Pernah dengar nama Suku Jerieng? Masih asing nama itu? Baiklah, cek ya.
Suku Jerieng merupakan masyarakat adat di dekat Taman Wisata Alam Jering Menduyung. Mereka menggelar pesta adat ini tiap tahun. Pesta suku besar di Pulau Bangka ini jadi ikhtiar untuk bersyukur atas keselamatan dan kesejahteraan warga dalam satu tahun, sekaligus memohon keberkahan untuk tahun berikutnya.
Perlu kamu tahu, Suku Jerieng dikenal sebagai suku yang memanfaatkan tumbuhan dan hewan dari hutan mangrove dan hutan dataran rendah di sekitar permukiman. Mereka meramu buah-buahan liar yang edibel (dapat dimakan) di dekat Taman Wisata Alam Jering Menduyung.
Oya, ihwal pesta adat tahunan, kini mereka sedang mempersiapkannya untuk perayaan tahun ini. Dikutip dari Tempo.co (17/12/2017), aneka ritus adat kampung, keagamaan, dan berbagai kegiatan kesenian Suku Jerieng akan berlangsung di Desa Kundi, Kecamatan Simpangteritip di Pulau Bangka. Waktu pelaksanaan tradisi yang diberi nama Pesta Adat Suku Jerieng itu akan ditentukan oleh para tokoh adat Lembaga Adat Melayu Jerieng.
"Kami harapkan tradisi seperti ini dapat dipertahankan, dikembangkan dan ditingkatkan sebagai bentuk keragaman budaya di bumi Sejiran Setason yang pada akhirnya akan menyedot wisatawan datang," kata Wakil Bupati Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Markus (17 Desember 2017).
Baca juga:
Selamatan Padi Orang Baduy, Doa, dan Pelestarian Angklung
Jaran Goyang, Santet Asmara Orang Osing
Asal Mula Upacara Adat
Tahukah Millens, pesta atau upacara adat Suku Jerieng itu punya sejarah dari masa lalu. Laman visitbangkabelitung.com yang mengutip Dishubparinfokom Bangka Barat menulis catatan mengenai hal tersebut.
Berdasar cerita, sekitar tahun 1750, ada seorang berilmu tinggi meminta izin kepada Peri Bukit Penyabung untuk membangun sebuah rumah di daerah Jerieng. Penunggu Bukit Peyabung mengizinkan dengan syarat setiap bulan Muharam harus membawa sesaji ke bukit tersebut. Ringkas cerita, Kek Adung, nama orang tersebut, membawa sesaji ke Bukit Penyabung dan merayakannya yang di pusatkan di Pelangas.
Setelah itu, ritus itu dilaksanakan setiap tahun sampai Kek Adung wafat dan dilanjutkan oleh Kek Weng sampai sekitar 1900-an dan diteruskan oleh Kek Fit hingga 1920-an. Perayaan dilanjutkan Kek Imam sampai 1945, digantikan ke Kek Pot sekitar 1950-an, lalu diteruskan oleh Kek Deramen 1966-an dan tahun 1966-an sampai tahun 1998 Ketua Adat dipegang oleh Kek Gebel.
Sempat Terhenti
Setelah Kek Gebel wafat tahun 1998 maka terhentilah kegiatan upacara ritual adat yang ratusan tahun dilaksanakan.
Kemudian ketika lembaga Adat Melayu Jerieng diresmikan 24 Oktober 2004 oleh ketua Adat Negeri Serumpun Sebalai Datuk H Romawi Latif, dengan Ketua Harian Rdo. Sri Sandi Buman maka perayaan kembali dilaksanakan dengan cara dan keyakinan yang berbeda. Jika ritus adat pada periode sebelumnya dilaksanakan di puncak gunung dengan membawa sesaji dan perayaan di Balai Adat, namun periode ini hanya dilaksanakan di Balai Adat dengan ritus penyembelihan hewan berkaki empat.
Baca juga:
Mengenang Husein, Mengarak Tabot
Ngerebeg, Riasan Seram untuk Membersihkan Jiwa
Ritus ini dimaksudkan perayaan syukur masyarakat atas limpahan rizki dari Sang Pencipta. Lembaga Adat Melayu Jerieng bekerja sama dengan Pemerintah Desa Pelanggas pada saat pelaksanaan pesta Adat memberikan gelar adat “Radindo (Rdo)” kepada tokoh yang dianggap berjasa.
Nah, tradisi itu selain sebagai bagian adat Suku Jerieng, juga bisa menjadi daya tarik wisata. Itu juga yang diharapkan Markus, Wakil Bupati Bangka Barat. (EBC/SA)