Inibaru.id – Njenang atau membuat jenang adalah sebuah tradisi yang dulu sering kamu lihat di setiap hajatan yang digelar di sekitar eks-Karesidenan Banyumas. Biasanya, yang memasak jenang adalah bapak-bapak atau pemuda, bukannya ibu-ibu. Hm, unik juga ya?
Dulu, setiap kali ada hajatan seperti acara pernikahan, khitanan, dan lain-lain, tradisi njenang selalu dilakukan. Bahkan, ada yang menyebut hajatan tersebut kurang lengkap kalau tidak ada jajanan dengan rasa yang legit tersebut.
“Ini memang sudah tradisi. Tapi sekarang sudah mulai jarang dilakukan. Kalau nggak njenang rasanya ada yang kurang,” ungkap salah seorang warga Karangjati, Sampang, Cilacap, Sudio, yang ikut membuat jenang untuk acara pernikahan buah hatinya sebagaimana dilansir dari Serayunews, Minggu (18/9/2022).
Njenang lebih dari sekadar membuat penganan yang disajikan kepada tamu hajatan. Lebih dari itu, tradisi ini bisa mempererat tali silaturahmi keluarga atau tetangga sekitar yang datang secara sukarela untuk membantu. Hal ini tentu bakal membuat warga semakin rukun.
“Kalau njenang pasti banyak yang kumpul. Bisa jadi ajang silaturahmi,” lanjut Sudio.
Butuh Waktu Berjam-Jam
Omong-omong ya, Millens, membuat jenang itu nggak mudah. Proses pembuatannya bahkan bisa memakan waktu 10 jam. Selain itu, yang digunakan adalah wajan dengan ukuran jumbo yang ditempatkan di atas tungku dengan bahan bakar kayu. Oleh karena itulah, pembuatan jenang biasanya dilakukan sehari sebelum hajatan dilakukan. Jadi, pas hari H, jenang sudah siap dihidangkan.
Mengapa harus dimasak selama itu? Alasannya sih biar rasa jenang semakin legit, teksturnya sempurna, dan awet. Proses pembuatan jenang yang lama ini bisa membuat jenang bertahan sampai tiga bulan. Bahkan, jika jenang mulai mengering, kamu bisa menghangatkannya lagi dan jenang masih tetap layak untuk dimakan.
Lalu, mengapa yang memasak harus laki-laki? Karena, adonan jenang yang lengket, kental, dan berat biasanya ditempatkan dalam jumlah besar di wajan berukuran jumbo. Sementara itu, saat dimasak hingga berjam-jam lamanya, jenang harus terus diaduk agar bahan-bahan jenang seperti santan kelapa, gula merah dan gula pasir, tepung ketan, garam, dan lain-lain tercampur dengan sempurna.
Semakin lama jenang dimasak, semakin liat pula adonan tersebut. Otomatis, butuh tenaga besar untuk memasaknya. Mengingat kaum perempuan biasanya sudah disibukkan dengan penganan lain, maka kaum laki-lakilah yang kemudian dipercaya untuk mengaduk adonan jenang sampai matang secara bergantian.
Sayangnya, tradisi njenang ini semakin jarang ditemui di kabupaten-kabupaten yang ada di wilayah eks-Karesidenan Banyumas. Banyak orang yang memilih untuk memesannya di toko kue. Alasannya? Tentu saja biar mereka tidak kerepotan dengan proses pembuatan jenang yang sangat menghabiskan waktu dan tenaga.
Sayang juga ya kalau melihat tradisi ini semakin ditinggalkan, Millens? (Arie Widodo/E05)