Inibaru.id – Mudik menjadi salah satu agenda rutin yang dilakukan sebagian besar perantau menjelang Hari Raya Idulfitri. Biasanya, puncak arus mudik terjadi antara 1-2 hari menjelang lebaran. Namun, agaknya hal ini nggak berlaku untuk para perantau dari Dukuh Glagahombo.
Perantau dari dukuh yang berlokasi di Desa Blumbang, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali ini memang cukup banyak. Sebagian besar dari mereka merantau ke wilayah Jakarta dan sekitarnya, rata-rata untuk berjualan satai dan tongseng kambing.
Dukuh Glagahombo memang telah lama dikenal sebagai Kampung Sate. Nggak hanya berjualan di kota sendiri, mereka juga acap menggelar lapak satai dan tongseng hingga ke luar kota, termasuk ke Ibu Kota.
Namun, yang menarik, merantau rupanya nggak lantas membuat mereka melupakan tradisi setempat. Menjelang Sadranan, para perantau ini biasanya akan pulang kampung untuk turut merayakannya. Mereka menyebut kebiasaan ini sebagai Mudik Gasik.
Mudik sebelum Ramadan
Dalam bahasa Jawa, gasik berarti "lebih dulu". Kebiasaan mudik gasik dilakukan para perantau dari Glagahombo untuk bisa mengikuti sadranan yang digelar sepekan sebelum Ramadan, tepatnya pada tanggal 20 Ruwah dalam Kalender Jawa.
Tahun ini, tercatat nggak kurang dari 1.500 perantau, yang sebagian besar adalah penjual satai kambing di Jakarta dan sekitarnya mengikuti mudik gasik tersebut. Ini dilakukan untuk menyambut tradisi sadranan yang digelar pada Rabu (19/2) kemarin.
Sejak pagi, para perantu tersebut sudah menjejali Kompleks Makam Giriarso di Bukit Wonopotro, tempat perhelatan sadranan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka berbondong-bondong datang untuk nyekar, ritus mendoakan leluhur dengan menabur bunga di depan nisan.
“Saya pulang dari Jakarta Pusat pada Selasa (18/2) malam, sampai Glagahombo Rabu dini hari. Paginya langsung nyekar," terang seorang warga bernama Slamet, dikutip dari Espos, Rabu (19/2).
Aktivitas Lebih Leluasa
Sejak menginjakkan kaki di Jakarta untuk berjualan satai pada dekade 1990-an, Slamet mengku belum pernah sekalipun absen dari tradisi sadranan. Selain untuk nguri-uri budaya, dia berpikir bahwa mudik saat sadranan lebih pas untuknya karena bisa lebih leluasa melakukan aktivitas bersama keluarga.
“Nanti balik lagi ke Jakarta H-2 sebelum Ramadan dan nggak perlu mudik lagi pas Lebaran,” ungkap anggota kelompok para perantau satai-tongseng Jabodetabek dari Glagahombo, Ikatan Kerukunan Keluarga Glagahombo (IKKG), tersebut.
Slamet nggak pulang kampung saat lebaran karena orang tuanya sudah dia boyong ke ibu kota. Jadi, mudik saat sadranan benar-benar dilakukannya untuk nyekar makam leluhur sekaligus bertemu kerabat di kampung saja. Ini berbeda dengan Eka yang akan pulang lagi saat lebaran nanti.
"Tradisi doa bersama keluarga di makam leluhur semacam ini penting bagi kami. Jadi, kecuali punya anak buah di Jakarta, biasanya kami akan tutup outlet selama sepekan untuk pulang, lalu berangkat lagi, terus mudik jelang lebaran," kata lelaki yang mengaku akan kembali ke Jakarta pada Sabtu (22/2) mendatang ini.
Nah, kalau kamu punya langganan satai kambing atau tongseng dengan embel-embel Sate Solo, jangan heran jika hari-hari ini tutup ya, Millens. Bisa jadi pemiliknya adalah perantau dari Glagahombo yang ikut tradisi mudik gasik untuk ikut sadranan. Tunggu sampai pekan depan, ya! (Arie Widodo/E10)