Inibaru.id – Sadranan menjadi salah satu tradisi tahunan yang dilaksanakan di banyak tempat di Jawa. Biasanya, tradisi yang digelar pada 17 Ruwah dalam Kalender Jawa ini dilakukan oleh umat muslim. Namun, di Dusun Sidorejo, Desa Genting, Kabupaten Boyolali, umat lain juga turut mengikutinya, lo!
Dusun Sidorejo adalah wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hanya ada tujuh keluarga yang tercatat menganut Kristen. Namun, dominasi itu nggak lantas membuat para minoritas terpinggirkan, termasuk dalam hal penyelenggaraan tradisi seperti sadranan.
Sejak pagi, warga Dusun Sidorejo sudah berbondong-bondong ke makam leluhur membawa tenong yang berisikan aneka macam makanan. Tenong adalah wadah berbentuk bulat yang biasa dibawa dengan disunggi atau diletakkan di atas kepala.
Awalnya, tengong yang dibawa terbuat dari anyaman bambu. Namun, saat ini sebagian besar warga telah membawa tenong yang lebih modern, berbahan logam, membuatnya terlihat mirip seperti rombongan penjual bakpau yang baru saja berangkat dari rumah. Ha-ha.
Melewati Masjid dan Gereja

Dalam perjalanan menuju makam, rute rombongan pembawa tenong akan melintas di depan masjid dan gereja yang lokasinya berdekatan. Sejak puluhan tahun lalu, kedua tempat ibadah ini memang sudah dibangun berdekatan, kian mempertegas kerukunan antarumat beragama di wilayah tersebut.
Dalam pelaksanaan Sadranan, para penganut Kristen juga nggak mempermasalahkan doa bersama yang dipanjatkan dengan cara Islam. Menurut mereka, yang penting harapan yang dipanjatkan memberikan kebaikan untuk semua orang.
Seusai berdoa, para warga akan makan bersama, lalu kembali pulang ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan pulang atau setelah sampai di rumah, mereka akan berkunjung ke tempat tetangga untuk bersilaturahim, membuatnya menjadi begitu mirip dengan suasana lebaran.
“Tradisi ini adalah warisan yang diturunkan oleh leluhur kita dan bakal terus kami lestarikan. Di Sidorejo, umat Islam dan Kristen bakal terus bersatu dalam acara ini. Yang membedakan kami hanyalah keyakinan masing-masing saja,” ucap salah seorang tokoh masyarakat setempat Rosyidi sebagaimana dinukil dari Radarsolo, Senin (17/2/2025).
Salah seorang umat kristiani di dusun tersebut, Suparno, juga mengaku bakal terus mengikuti tradisi sadranan pada tahun-tahun berikutnya dan mewariskan ajaran tersebut ke para keturunannya.
“Kami semua petani di sini dan mengandalkan pertanian untuk kehidupan ekonomi bersama. Maka, kami harus saling mendukung dan menguatkan. Dari dulu gereja dan masjid di sini berdekatan dan selalu akur,” tegas Suparno.
Siapa sangka, dari sebuah tradisi, kerukunan antarumat beragama bisa tetap terjaga. Tradisi sadranan di Dusun Sidorejo ini menjadi contoh bagaimana perbedaan nggak perlu menjadi halangan untuk hidup berdampingan. Setuju, Millens? (Arie Widodo/E10)