BerandaTradisinesia
Minggu, 19 Okt 2024 17:00

Menjaga 'Harta Karun Tekstil' di Rumah Batik Nyah Kiok Lasem

Beberapa pekerja paruh baya terlihat dengan tekun bekerja di Rumah Batik Nyah Kiok Lasem. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan selembar 'harta karun tekstil' di Rumah Batik Nyah Kiok Lasem membuat upaya menjaga warisan budaya ini kian berat.

Inibaru.id - Tangan yang nggak lagi lincah dan pengelihatan yang kian melemah nggak membuat para perempuan paruh baya ini menyerah. Mereka hanya menua dan berkurang jumlahnya, tapi proses mematik tetap berjalan seperti biasa: senyap tanpa banyak bicara.

Kira-kira, begitulah gambaran suasana di Rumah Batik Nyah Kiok saat para pembatik paruh baya ini tengah bekerja. Seperti para pelukis di depan kanvas, para seniman batik itu juga terhanyut dalam dunia mereka, tanpa menyadari keberadaan saya yang telah cukup lama berada di belakang mereka.

Saya memang nggak pengin mengusik aktivitas mereka di rumah batik di Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang ini. Menempati bangunan zadul bergaya Tionghoa-Hindia, rumah produksi tersebut diyakini telah beroperasi sejak awal abad ke-20.

“Dulu rumah ini selalu penuh dengan aktivitas. Sekarang, hanya kami yang tersisa,” ungkap Mbah Suti, salah seorang pekerja yang akhirnya menyadari keberadaan saya. Sebelumnya, saya memang telah membuat janji dengannya.

Hanya Satu Motif

Salah satu pembatik melihat dengan teliti pekerjaannya di Rumah Batik Nyah Kiok. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Mbah Surti nggak menghentikan pekerjaannya; tetap duduk tekun di depan kain putih panjang yang dibentang pada sebatang bambu, sementara tangannya menyanding canting yang sesekali diketuk di wajan berisi lilin malam sebelum mengulas pola.

“Anak-anak sekarang lebih memilih bekerja di pabrik atau pergi ke kota. Mereka bilang membatik terlalu rumit,” lanjut perempuan yang mengaku telah cukup lama menjalani profesi sebagai pembatik tulis ini dengan suaranya yang agak parau.

Di Rumah Batik Nyah Kiok, pekerjanya rata-rata telah lanjut usia. Seperti kata Mbah Surti, membatik tulis agaknya memang terlalu rumit untuk dikerjakan anak muda. Rumah batik ini memang hanya membuat batik tulis, bahkan sekarang cuma memproduksi satu motif, yakni Gunung Ringgit Pring.

"Motif Gunung Ringgit Pring khas dengan warna merah, biru, hijau, dan coklat,” terangnya. "Hanya ini yang kami bikin, karena di sini kami percaya bahwa kesetiaan pada tradisi adalah kekuatan.”

Seni yang Harus Dijaga

Lantaran sudah melakukannya selama bertahun-tahun, para pekerja di Rumah Batik Nyah Kiok nggak perlu menggambar pola sebelum mulai nyanting. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Oya, untuk yang belum tahu, Rumah Batik Nyah Kiok merupakan salah satu produsen batik legendaris di Lasem yang autentik dengan motif Gunung Ringgit Pring-nya, motif yang menjadi ciri utama Batik Tiga Negeri.

"Motif ini menggambarkan kesejahteraan dan keteguhan, secara filosofis merupakan simbol dari perjalanan panjang rumah batik ini," jelas Mbah Surti sembari menunjukkan kain batik setengah jadi yang dibikinnya.

Mbah Surti mengatakan, butuh waktu sekitar 8-12 bulan untuk menyelesaikan selembar kain batik tulis. Namun, dia dan keenam rekannya mengaku nggak pernah mempermasalahkannya, karena ini adalah bagian dari seni yang harus dijaga.

"Kami membatik sudah ndak (menggambar) pakai pola (pensil) lagi, langsung nyanting di kain, karena semuanya sudah ada di ingatan kami, sudah tertanam di kepala sejak bertahun-tahun lalu,” akunya.

Dari Pasang hingga Surut

Para pembatik di Rumah Batik Nyah Kiok Lasem rata-rata telah berusia lanjut. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Mbah Surti mengenang, pernah ada suatu masa ketika Batik Lasem begitu berjaya di mancanegara—diekspor ke Singapura, Malaysia, bahkan Myanmar. Namun, sekarang mereka bahkan harus berjuang, mempertahankan eksistensi di tengah gempuran batik cap, printing, dan kain-kain modern yang lebih cepat diproduksi.

"Sekarang kami hanya bisa ditemukan di sudut-sudut kecil di Lasem," keluh Mbah Surti sebelum akhirnya terdiam dan kembali berkonsentrasi dengan pekerjaannya.

Mendengar cerita ini, saya jadi teringat kata-kata seorang budayawan, yang saya lupa namanya, mengatakan bahwa Batik Lasem punya identitas yang kuat, karena menggambarkan cerita panjang tentang perjalanan budaya, sejarah, dan kebanggaan lokal di wilayah berjuluk Tiongkok Kecil itu.

Menjadi tantangan tersendiri untuk tetap melestarikan warisan budaya yang acap disebut sebagai "harta karun tekstil" ini. Nggak hanya tantangan proses produksi, keberadaan Batik Lasem juga menghadapi tembok besar bernama regenerasi, pemasaran, dan tren bisnis fast fashion.

Maka, menurut saya, menjadi tugas kita untuk nguri-uri warisan budaya ini. Kalaupun belum punya kuasa untuk membuat atau membeli, setidaknya kita bisa mengenalnya terlebih dahulu, misalnya dengan berkunjung ke Rumah Batik Nyah Kiok ini. Kenal dulu, sayang kemudian! (Imam Khanafi/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT