BerandaTradisinesia
Sabtu, 22 Nov 2024 14:33

Meriung di Panggung Ki Djaswadi, sang Maestro Kentrung dari Pati

Wayang suket menjadi bagian dari pertunjukan seni kentrung yang dibawakan sang maestro dari Pati, Ki Djaswadi. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Musik dilantunkan, lagu didendangkan, lakon dimainkan, pertunjukan kentrung pun dimulai. Didalangi maestro kentrung Ki Djaswadi, pentas ini menjadi gong dari residensi budaya selama 14 hari di Pati.

Inibaru.id - Malam itu langit mendung, tapi tetap punya keindahannya sendiri. Dalam suasana yang hangat, Kencana Resto & Garden di Desa Pekalongan, Kecamatan Winong, Kabupaten Pati, diubah menjadi panggung pentas Ki Djaswadi, maestro kentrung yang telah menempuh perjalanan panjang berkesenian.

Ki Djaswadi tampil memukau, menjadi gong dari residensi budaya selama 14 hari di Pati yang digelar untuk pemanasan menyambut Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2025. Layaknya ritual penyemaian, "fase rawat" itu adalah upaya memelihara warisan budaya agar lebih matang tahun depan.

Sedikit informasi, residensi budaya di Pati diikuti para peserta dari pelbagai wilayah, termasuk di dalamnya Kolektif Resdon dari Bogor, Wayang Suket Indonesia dari Tuban, dan seorang produser dari Kampung Budaya Piji Wetan, Kudus.

Selama residensi, para seniman tersebut berkumpul untuk menciptakan sebuah kolaborasi kesenian, meracik berbagai unsur budaya untuk menciptakan sebuah pementasan yang berakar dari kentrung, dengan Ki Djaswadi sebagai pementornya.

Magis sang Maestro

Suasana pementasan maestro kentrung di Pati. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Bagi para peserta residensi, keberadaan Ki Djaswadi memang nggak tergantikan. Dia adalah seniman multitalenta yang patut dianut, karena selalu berhasil menjadikan seni dalam laku keseharian. Hal ini sebagaimana dikatakan Rama, kurator seni yang juga merupakan salah seorang peserta residensi.

“Beliau adalah sosok yang jarang ada pada zaman sekarang. Lebih dari seniman, Ki Djaswadi merupakan cendekiawan dalam seni yang menyimpan dan menghidupkan jiwa zaman,” seru Rama kepada Inibaru.id belum lama ini. Matanya berbinar, menunjukkan kekagumannya.

Selama 14 hari menjalani residensi, Rama dkk bak murid yang tersihir oleh magis dari sang maestro. Mereka tampak menyerap tiap laku, tutur, dan wejangan yang diberikan Ki Djaswadi, untuk dibawa pulang sebagai inspirasi dari karya-karya mereka mendatang.

Setali tiga uang, rasa kagum juga ditunjukkan masyarakat Desa Pekalongan. Seusai pementasan, Kepala Desa Pekalongan Ukhwatur Roi mengatakan, Ki Djaswadi adalah berkah bagi Kabupaten Pati. Keberadaannya bukan hanya melambangkan seni, tapi juga keteladanan yang luhur.

“Menyaksikan Ki Djaswadi tampil di panggung itu seolah membaca kitab suci kehidupan,” ujar Roi, suaranya penuh keharuan. "Selalu ada pelajaran baru yang saya temukan, seperti mutalaah kitab yang tak pernah membosankan, karena selalu menyimpan hikmah yang segar."

Mewariskan Seni Kentrung

Para peserta residensi dalam diskusi setelah pentas. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Apa yang dikatakan Roi nggak berlebihan. Pementasan malam itu memang berhasil menyihir penonton yang hadir. Lebih dari itu, pertunjukan yang ditampilkan Ki Djaswadi juga membawa kembali ingatan mereka pada kenangan tentang kesenian klasik yang sarat akan harmoni antara seni tutur, musik, dan laku.

Di tengah modernitas zaman yang semuanya serba digital, pertunjukan Ki Djaswadi tentu saja menjadi angin segar untuk masyarakat yang rindu akan budaya masa lalu yang mungkin kini sudah sangat jarang ditemukan, lengkap dengan nilai-nilai luhur yang ditampilkan di atas panggung.

Pementasan kentrung ini ibarat jembatan penghubung antara masa lalu dengan sekarang, yang kemudian menggulirkan estafet seni kentrung kepada generasi muda yang akan hidup pada masa mendatang. Nggak hanya menjaga, Ki Djaswadi dkk juga berhasil menghidupkan, menuntun, dan mengawalnya sejauh ini.

Sekarang tinggal kita sebagai anak muda yang memutuskan, apakah akan memilih menutup mata atau menerima warisan ini sebaik-baiknya sebagai bagian dari budaya yang akan kita lestarikan pada hari-hari berikutnya? (Imam Khanafi/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024

Menyusuri Perjuangan Ibu Ruswo yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan di Yogyakarta

11 Nov 2024

Aksi Bersih Pantai Kartini dan Bandengan, 717,5 Kg Sampah Terkumpul

12 Nov 2024

Mau Berapa Kecelakaan Lagi Sampai Aturan tentang Muatan Truk di Jalan Tol Dipatuhi?

12 Nov 2024

Mulai Sekarang Masyarakat Bisa Laporkan Segala Keluhan ke Lapor Mas Wapres

12 Nov 2024

Musim Gugur, Banyak Tempat di Korea Diselimuti Rerumputan Berwarna Merah Muda

12 Nov 2024

Indonesia Perkuat Layanan Jantung Nasional, 13 Dokter Spesialis Berguru ke Tiongkok

12 Nov 2024

Saatnya Ayah Ambil Peran Mendidik Anak Tanpa Wariskan Patriarki

12 Nov 2024

Sepenting Apa AI dan Coding hingga Dijadikan Mata Pelajaran di SD dan SMP?

12 Nov 2024

Berkunjung ke Dukuh Kalitekuk, Sentra Penghasil Kerupuk Tayamum

12 Nov 2024

WNI hendak Jual Ginjal; Risiko Kesehatan Apa yang Bisa Terjadi?

13 Nov 2024

Nggak Bikin Mabuk, Kok Namanya Es Teler?

13 Nov 2024

Kompetisi Mirip Nicholas Saputra akan Digelar di GBK

13 Nov 2024

Duh, Orang Indonesia Ketergantungan Bansos

13 Nov 2024

Mengapa Aparat Hukum yang Paham Aturan Justru Melanggar dan Main Hakim Sendiri?

13 Nov 2024