Inibaru.id - Keranjingan mengulik konten pendakian di medsos setelah berhasil tektokan atau naik-turun gunung tanpa menginap beberapa waktu lalu secara nggak sengaja mempertemukanku dengan Komunitas Lintas Maha Muria.
Aku menemukan akun Lintas Maha Muria di Tiktok setelah menonton satu video pendek tentang pendakian mereka, yang didominasi anak muda, menuju puncak Muria, gunung bertipe stratovolcano yang berlokasi di tiga kabupaten yakni Pati, Jepara, Kudus; yang belum lama ini juga berhasil kutaklukkan.
Terpantik oleh rasa penasaran, aku pun mengajak mereka bertemu. Bukan di pos pendakian, tapi kopdar di tempat yang lebih "datar". Kami sempat mencoba bersemuka langsung, tapi karena kesibukan masing-masing, akhirnya diputuskan untuk bersua via suara saja.
Aku sedang mengeluk punggung di sofa sebuah kafe kecil di sisi utara Kabupaten Pati dengan semangkuk es ketan ber-topping dua scoop es krim di meja ketika admin komunitas itu menghubungiku via panggilan WhatsApp. Obrolan pun mengalir santai dan hangat, dengan sesekali dihiasi gelak tawa.
Bikin Papan Penanda Puncak Muria
Informasi pertama yang aku dapatkan cukup menarik, yakni tentang plakat penanda di titik-titik tertinggi di Gunung Muria yang ternyata merupakan buah karya mereka. Menurutku, hal tersebut menarik karena siapa pun yang berhasil mendaki puncak gunung ini pasti akan berfoto dengan penanda itu. Kok kepikiran?
Saat mencapai Puncak Songolikur (Puncak 29), aku sempat melihat karya mereka, berupa tiga plakat penanda yang terdiri atas kutipan kocak, keterangan nama, dan ketinggian. Plakat ini masih terlihat baru, karena Lintas Maha Muria memang baru setahun berdiri.
Wayon Sikiber, admin komunitas yang kuwawancarai mengatakan, Lintas Maha Muria berdiri pada awal 2024. Kendati demikian, jangkauan mereka rupanya nggak kaleng-kaleng. Meski dengan embel-embel "Muria", anggota mereka nggak hanya berasal dari Pati, Kudus, dan Jepara, lo!
"Selain dari Pati, Jepara, dan Kudus, ada pula anggota dari Rembang, Blora, Demak, dan Semarang," tutur lelaki kelahiran 2004 tersebut. "Kami lebih ke sukarelawan saja; bikin papan penanda, terus dipasang bareng-bareng (di puncak)."
Tektok dan Bersih Gunung
Memasang papan penanda diakui Wayon sebagai agenda awal Lintas Maha Muria. Pemasangan perdana dilakukan di Puncak Argo Jembangan, lalu berlanjut ke Puncak Tanggulangsi, Puncak Watu Payon, Puncak Tunggangan, dan sejumlah puncak lainnya.
Jadi, buat kamu yang pernah berfoto di puncak Muria perlatar papan penanda tersebut, yaknilah bahwa semua itu merupakan hasil kerja keras komunitas ini ya, Gez!
Sebagaimana umumnya komunitas pendaki, selain memasang plakat, agenda rutin yang dilakukan Lintas Maha Muria saat ini adalah melakukan pendakian singkat alias tektokan. Namun, nggak sekadar naik-turun gunung, Wayon mengungkapkan, mereka juga memunguti sampah selama di jalur pendakian itu.
"Kami ada fun tektok sambil bersih gunung. Bareng-bareng mendaki sembari memunguti sampah dan membawanya turun," ujar lelaki asli Pati tersebut.
Sederhana, tapi Berdampak
Di jalur pendakian memang selalu saja ada sampah berserakan yang dibuang oleh para pendaki yang nggak bertanggung jawab. Maka, meski mungkin terlihat sederhana, menurutku apa yang dilakukan Lintas Maha Muria ini punya dampak yang luar biasa besar untuk lingkungan di sekitar Gunung Muria.
Aku acap merasa miris melihat jalur pendakian yang dipenuhi sampah. Kenapa harus meninggalkan sampah? Menikmati alam tanpa mencintai lingkungan sungguh nggak masuk akal bagiku. Apakah seberat itu membawa sampah milik kita kembali ke bawah?
Inilah mengapa menurutku komunitas ini menarik untuk kuulik lebih detail. Memang begitulah seharusnya pencinta alam bersikap. Sebagaimana harapan Wayon dan kawan-kawannya di komunitas ini, aku berharap Lintas Maha Muria mempunyai lebih banyak anggota ke depannya.
"Harapan kami tentu saja lebih banyak orang yang join atau support kegiatan rutin kami, ya. Kami ada kaus ofisial yang bisa dibeli, yang nanti otomatis menjadi anggota resmi Lintas Maha Muria," tandas Wayon diiringi tawa sebelum mengakhiri sambungan telepon.
Dari hasil obrolan tersebut, aku menyadari satu hal, bahwa seorang pendaki memiliki tanggung jawab sosial untuk memudahkan pendaki lain. Aksi yang dilakukan nggak harus besar. Jika nggak bisa memunguti sampah seperti Lintas Maha Muria, minimal kita nggak turut mengotorinya. Akur? (Rizki Arganingsih/E10)
