Inibaru.id - Angin yang berembus kencang pada cuaca terik bulan Agustus nggak hanya menandai datangnya puncak musim kemarau, tapi juga musim layang-layang. Di tanah-tanah lapang atau area yang cukup luas, nggak sulit menemukan orang-orang yang menarik-ulur kenur untuk menerbangkan layang-layang.
Di Desa Tigajuru, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, bermain layang-layang nggak hanya dilakukan di tanah lapang, tapi juga area persawahan pascapanen yang mengering. Di desa ini, musim panen biasanya memang telah selesai paling lambat pada awal Agustus.
Jarum pendek baru menunjuk angka lima ketika saya tiba di tempat tersebut pada pertengahan Agustus lalu. Sore itu, saya sengaja nggak langsung pulang selepas kerja untuk jalan sore sembari menikmati sisa senja di tengah sawah dan menyaksikan keseruan orang-orang bermain layang-layang di sana.
Beberapa titik di sekitar area persawahan sudah ramai ketika saya tiba. Orang-orang terlihat berkerumun dari kejauhan. Saya pun segera menyusuri jalan setapak yang hanya bisa dilalui sepeda motor untuk bergabung dengan kerumunan tersebut.
Mirip Pasar Tiban
Saya agak kaget begitu berhasil mendekat, karena area ini sudah mirip pasar tiban saat car free day (CFD) lengkap dengan para penjual mainan dan street food-nya yang berderet. Mereka membuka lapak di sela-sela kendaraan yang terparkir di sisi jalan, sepelemparan batu dari area persawahan.
Sebagian pengunjung, biasanya keluarga kecil, memilih duduk di atas jok motor saja di parkiran dadakan tersebut untuk melihat layang-layang yang terbang dari kejauhan. Namun, banyak juga yang berusaha mendekat. Nah, saya termasuk kelompok yang terakhir ini.
Pada puncak musim kemarau yang umumnya jatuh pada Agustus, area persawahan ini memang acap nggak mendapatkan suplai air. Tanahnya mengeras, sehingga petani nggak bisa bertani musim penghujan tiba. Sementara bagi anak-anak, inilah waktu yang tepat untuk bermain di ladang, termasuk main layang-layang.
Bermain layang-layang di tempat ini telah menjadi kebiasaan masyarakat pada musim kemarau. Tego Listiono, salah seorang warga setempat mengungkapkan, aktivitas itu sudah dilakukan sejak dirinya masih kanak-kanak. Saat sudah berkeluarga, dia juga memperkenalkan kebiasaan itu kepada buah hatinya.
Lebih Ramah Anak
Tego yang saat saya temui tengah mengajari anaknya, Al Fath, menerbangkan layang-layang di area tersebut mengatakan, bermain di area persawahan lebih aman ketimbang buah hatinya bermain di sekitar rumah. Hal tersebut langsung dibenarkan Al Fath.
"Rumah saya masuk gang, jadi lebih enak di sini," tutur bocah 10 tahun tersebut. "Kalau (main layang-layang) di dekat rumah bahaya karena benangnya bisa nyangkut dahan pohon atau tiang listrik."
Area terbuka seperti persawahan, menurut Al Fath, membuatnya lebih leluasa membuat manuver saat menerbangkan layang-layang. Dia nggak perlu khawatir tersangkut kabel listrik atau pepohonan. Ini pulalah yang diajarkan oleh ayahnya.
"Banyak yang datang ke sini juga. Seru dan lebih enak menerbangkan layang-layang di sini," tuturnya yang mengaku sangat menikmati permainan yang mengandalkan kekuatan angin tersebut.
Ditemani Keluarga
Seperti Al Fath, sebagian anak yang datang untuk bermain layang-layang di area persawahan ini biasanya nggak sendirian, tapi bersama ayah, ibu, atau anggota keluarga lain. Selain layang-layang, mereka juga sekaligus ingin menikmati suasana sore di tempat itu.
Berdasarkan pengamatan saya, nggak semua penerbang di persawahan ini sudah lihai memainkan layang-layang. Ada yang baru kali pertama memainkannya atau seperti Al Fath yang sedang diajari oleh orang tuanya yang semasa kecil pernah memainkannya.
“Saya ajari (Al Fath) karena anak-anak kan belum bisa. Mereka cuma tahu pas layang-layang sudah di langit," tutur Tego sembari meminta anaknya membentangkan layang-layang melawan arah embusan angin sementara dirinya bersiap menarik kenur (benang) dari kejauhan begitu angin kencang datang.
Dia mengaku senang melihat buah hatinya kegirangan saat berhasil menerbangkan layang-layang dengan sempurna di tempat tersebut. Dengan bermain layang-layang, dia mengungkapkan, selain bernostalgia, menurutnya cara ini bagus untuk sejenak menjauhkan anak dari gawai yang mulai sulit dijauhkan.
Menjadi Sarana Bernostalgia
Nggak hanya menjadi hiburan untuk anaknya, Tego juga merasa tempat ini menghiburnya. Berada di antara para penerbang layang-layang membuatnya teringat pada masa kecil saat dia dan kawan-kawannya seru-seruan bermain hingga petang.
"Kalau ada layang-layang pasti ada pedotan (adu sangkut benang layang-layang saat diterbangkan hingga putus)," kenangnya, lalu tersenyum, sebelum mengakhiri obrolan kami.
Sebagai warga setempat, area persawahan di Desa Tigajuru ini juga menjadi tempat saya bernostalgia karena waktu kecil saya kerap jalan santai pada pagi hari di sini. Saya ingat pohon beringin raksasa yang dianggap mistis di sini atau hamparan hijau persawahan yang dulu jauh lebih luas dari sekarang.
Oya, dulu tempat ini nggak ramai. Namun, sejak jalan setapak di sini dibeton, banyak pengendara menjadikannya sebagai jalur alternatif. Orang-orang pun mulai mengenalnya, lalu datang untuk menikmati sunrise berlatar Gunung Muria atau berolahraga pada akhir pekan di sini.
Jika kamu mencari alternatif untuk sejenak menjeda hari yang padat di Jepara dengan senja yang santai berpayung langit yang dipenuhi layang-layang, nggak ada salahnya menyambangi area persawahan di Desa Tigajuru ini, Gez! (Alfia Ainun Nikmah/E10)
