BerandaTradisinesia
Rabu, 20 Agu 2025 13:01

Gustika Jusuf dan Motif Slobog; Ketika Kritik Tercipta dari Kain Batik

Penulis:

Gustika Jusuf dan Motif Slobog; Ketika Kritik Tercipta dari Kain BatikSiti Khatijah
Gustika Jusuf dan Motif Slobog; Ketika Kritik Tercipta dari Kain Batik

Gustika Jusuf mengenakan kebaya hitam dengan balutan batik motif slobog yang identik dengan kematian saat menghadiri HUT ke-80 RI di Istana Merdeka. (Instagram/gustikajusuf)

Gustika Jusuf mengenakan kebaya hitam dengan balutan batik motif slobog yang identik dengan kematian saat menghadiri HUT ke-80 RI di Istana Merdeka sebagai bentuk kritik elegan kepada pemerintah.

Inibaru.id - Pada perayaan HUT ke-80 RI di Istana Merdeka pada 17 Agustus lalu, Gustika Fardani Jusuf tampil percaya diri. Dengan gayanya yang santai, cucu Bung Hatta itu mengenakan kebaya hitam dipadu batik slobog, yang mungkin akan dipandang sebagai "busana formal" yang normal.

Ya, kebaya dan jarik bermotif batik memang biasa dikenakan perempuan saat menghadiri acara formal. Namun, yang acap dilupakan adalah bahwa dalam budaya Jawa, motif dan jenis busana yang dipakai seseorang bukan cuma untuk kepantasan, tapi juga punya fungsi dan filosofi sendiri-sendiri.

Untuk sebuah perayaan yang seharusnya dipenuhi kegembiraan, kebaya hitam dan slobog yang dikenakan Gustika sejatinya kurang cocok karena justru menggambarkan sebaliknya. Namun, sepertinya perempuan kelahiran 19 Januari 1994 itu juga mengetahuinya.

“Walau bukan Kamisan, pagi ini aku memilih kebaya hitam yang sengaja kupadukan dengan batik slobog untuk memperingati 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.” tulis Gustika di akun Instagram-nya, dikutip Selasa (19/8/2025).

Kritik via Kain Batik 

Ilustrasi: Kain batik motif slobog yang dikenakan Gustika sebagai upaya untuk mengkritik pemerintah pada perayaan HUT ke-80 Indonesia. (Surakarta)
Ilustrasi: Kain batik motif slobog yang dikenakan Gustika sebagai upaya untuk mengkritik pemerintah pada perayaan HUT ke-80 Indonesia. (Surakarta)

Gustika mengaku sengaja mengenakan busana tersebut sebagai ekspresi dari peringatan kemerdekaan sekaligus bentuk kritik kondisi bangsa saat ini, terutama terkait pelanggaran HAM. Dia mengatakan bahwa Indonesia saat ini dipimpin penculik dan penjahat HAM, dengan wakil "anak haram konstitusi".

“Kain batik ini sering dipakai keluarga dalam prosesi pemakaman sebagai simbol merelakan sekaligus mendoakan agar orang yang meninggal memperoleh jalan yang lapang," terangnya.

Menurutnya, berkabung dalam hal ini bukan berarti menutup mata. Dia mengungkapkan bahwa berkabung adalah jeda untuk jujur menatap sejarah, memelihara ingatan, dan menagih hak rakyat dan janji-janji konstitusi kepada Republik Indonesia.

Apa yang dilakukan Gustika dipandang menarik oleh banyak budayawan karena mampu mengkritik dengan elegan. Dia juga dianggap paham betul esensi dari busana yang dikenakannya, simbol budaya yang melekat di dalamnya, dan ketepatan dalam menyampaikan kritik.

Simbol Budaya pada Busana

Busana yang dikenakan Gustika Jusuf pada perayaan HUT ke-80 Indonesia. (Instagram/gustikajusuf)
Busana yang dikenakan Gustika Jusuf pada perayaan HUT ke-80 Indonesia. (Instagram/gustikajusuf)

Gustika dianggap paham dengan apa yang dikenakannya. Hal ini terasa kontras dengan sebagian anak muda saat ini yang acap nggak memedulikan simbol budaya yang melekat pada suatu busana tradisional seperti batik. Nggak sedikit yang mengenakannya karena sekadar estetik, tanpa memikirkan filosofis di baliknya.

Mari S Condronegoro, penulis Memahami Busana Adat Keraton Yogyakarta, mengatakan bahwa fenomena ini cukup menggelisahkan. Pemakaian motif batik Babon Nglubuk di ruang publik misalnya, menurutnya kurang sesuai karena motif ini sebetulnya hanya diperuntukkan bagi ibu hamil saat perayaan tujuh bulan (mitoni).

"Motif yang menggambarkan ayam betina yang mengerami telur ini adalah simbol harapan agar bayi lahir tepat waktu, tuturnya pada acara Jogja International Batik Biennale 2016.

Ketidaktahuan, atau bahkan ketidakpedulian, adalah akar dari kesalahan pemakaian ini. Padahal, menurutnya mengenakan batik itu nggak hanya soal estetika, karena motifnya sarat filosofi yang mencerminkan daur kehidupan manusia, dari kelahiran hingga kematian.

Batik Slobog dan Kematian

Dalam prosesi pemakaman Jendral Sudirman, kain batik motif slobog (bawah) yang dipadukan dengan parang (atas) merupakan perlambang duka cita atau kematian. (Wikimedia/Mendikbud)
Dalam prosesi pemakaman Jendral Sudirman, kain batik motif slobog (bawah) yang dipadukan dengan parang (atas) merupakan perlambang duka cita atau kematian. (Wikimedia/Mendikbud)

Balik lagi ke batik slobog. Menurut Mari, motif dengan pola dasar geometris berupa segi empat kecil dengan dua garis membentuk empat segitiga ini juga acap dikenakan pada perkawinan. Padahal, ini kurang tepat karena motif tersebut biasas digunakan untuk menutupi jenazah atau peti.

“Remaja mengenakan slobog ke acara apa saja, termasuk perkawinan. Ini mau melayat?” krtitiknya.

Senada dengan Mari, Fashion and Batik Desainer Era Soekamto menegaskan bahwa slobog adalah motif yang dipakai dalam peristiwa kematian; yakni bertemunya pucuk indung yang berarti menyatukan mikrokosmos dan makrokosmos. Ruh di dalam bermakna mikrokosmos dan yang di luar berarti makrokosmos.

"Tapi, motif ini bukan hanya bicara soal kematian, juga soal kehidupan; karena ruh tidak akan mati. Ia abadi, sehingga kematian sama dengan kehidupan dan kehidupan sama dengan kematian," tuturnya, dikutip dari Tempo (3/10/2021).

Menjadikan kain batik sarana kritik tentu saja menarik. Sebagaimana karya seni yang lain, mengkritik dengan keindahan acap lebih ngena dan seharusnya nggak menyakitkan, bukan? (Siti Khatijah/E10)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved