Inibaru.id - Mendapat petunjuk dalam suatu proses tirakat, Sunan Kalijaga diarahkan untuk melawat ke barat; mengambil batang kayu jati di sebuah gua untuk membangun Masjid Agung Demak. Maka, berangkatlah pemuka agama yang merupakan anggota Walisongo itu menuju tempat yang dimaksud.
Namun, setiba di gua, Sunan Kalijaga rupanya kesulitan memikul sendiri kayu jati tersebut. Lalu, terdengarlah suara gaduh kawanan monyet di antara lebatnya hutan jati. Mereka mendekat, kemudian membantu Sunan Kalijaga memikul kayu jatinya.
Selesai dengan tugas mereka, para monyet bermaksud mengikuti Sunan Kalijaga. Dengan bijak, sosok bernama asli Raden Said itu menolak. Mereka boleh jadi pengikut, tapi diminta untuk tetap tinggal dan menjaga area sekitar gua.
Sebelum pulang, sosok yang hidup sekitar abad ke-15 itu memberi gelar para monyet tersebut dengan sebutan "mangreho" yang berarti penjaga. Ratusan tahun berlalu, keturunan para monyet ini diyakini masih bermukim di sekitar gua yang kini dikenal sebagai Goa Kreo, yang diambil dari kata Mangreho.
Kirab Sesaji Rewanda
Kisah itu terus lestari di kampung-kampung sekitar Goa Kreo hingga kini, membuat masyarakat meyakini kesakralan para monyet dan gua yang berlokasi di Desa Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang itu. Wujudnya, tiap tahun mereka menggelar Sesaji Rewanda untuk para monyet ini.
Sesaji Rewanda adalah selamatan untuk para monyet yang digelar selepas perayaan Idulfitri atau saat bulan Syawal dalam penanggalan Islam. Tahun ini, tradisi tersebut digelar pada 12 April lalu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, acara ini diawali dengan doa bersama diikuti kirab gunungan.
Berangkat dari Desa Kandri sekitar pukul 09.00 WIB, rombongan kirab perlahan berarak menuju Goa Kreo disaksikan warga yang telah menunggu sedari pagi. Rombongan terdiri atas para memikul replika batang kayu jati, diikuti pemeran Sunan Kalijaga beserta para monyetnya.
Menyusul di belakangnya gunungan menjulang yang terdiri atas buah-buahan dan hasil bumi, diikuti gunungan sega kethek yang nantinya bakal diperebutkan oleh masyarakat. Sebelum berangkat, gunungan-gunungan ini terlebih dahulu didoakan oleh para tokoh adat.
Gunungan Buah dan Sego Kethek
Sesaat sebelum tiba di Goa Kreo, empat penari berkostum monyet menunjukkan aksinya. Mereka melakukan tarian monyet untuk menghibur orang-orang yang datang sekaligus menyemangati para pengarak kirab. Secara garis besar, kirab ini menggambarkan peran monyet dalam membantu Sunan Kalijaga.
Sebagai bentuk terima kasih, gunungan-gunungan ini pun disajikan untuk para monyet dan masyarakat yang hadir; gunungan buah dan hasil bumi untuk monyet, sedangkan gunungan sego kethek atau "nasi monyet" lengkap dengan hidangan tradisionalnya untuk manusia.
Sedikit informasi, sego kethek sebetulnya adalah nasi putih biasa yang dipadukan dengan sayuran, tahu, dan tempe, lalu dibungkus daun jati. Namun, karena diyakini mengandung berkah, orang-orang pun berebut untuk mengambilnya.
Situasi serupa juga terjadi pada gunungan buah yang segera diserbu monyet sesaat setelah ditaruh. Tahun ini ada tiga gunungan buah untuk para monyet, yang diletakkan di dekat tangga masuk Jembatan Goa Kreo.
Tiga 'Kerajaan' Monyet
Nggak lama setelah para monyet berpesta, kerumunan monyet di salah satu gunungan tiba-tiba buyar. Marsudiyono, seorang tokoh masyarakat di Goa Kreo yang hari itu bertindak sebagai Manggoloyudo atau Pemimpin Kirab Sesaji Rewanda mengatakan, kemungkinan ada penguasa wilayah yang datang.
Benar saja. Di tengah kerumunan yang membubarkan diri itu, muncul sesosok monyet bertubuh besar yang terlihat begitu ditakuti kawanan monyet lain. Marsudiyono mengungkapkan, para monyet di Goa Kreo punya wilayah kekuasaan sendiri-sendiri.
"Wilayah kekuasaan monyet di sini dibagi jadi tiga. Selatan, barat, dan utara. (Wilayah) selatan (mulai dari) setelah sungai, terus (barat) di dekat pintu masuk, dan utara di dekat rumah warga," terangnya sembari menunjuk arah yang dimaksud.
Masing-masing wilayah, lanjutnya, memiliki penguasa. Mereka umumnya memiliki karakteristik yang nggak jauh beda, yakni berbadan besar atau yang paling senior. Namun, karena gunungan buah umumnya diletakkan di wilayah selatan, kawanan monyet dari wilayah lain sering merasa cemburu.
"Kelompok selatan di pintu masuk biasanya paling subur karena sering kebagian jatah persembahan dan dapat makanan dari pengunjung," terangnya. "Ini menimbulkan kecemburuan dari wilayah lain. Kadang (mereka) berantem."
Saling Menjaga Wilayah
Sebagai mamalia yang hidup berkoloni, monyet memang selalu menjaga wilayahnya masing-masing. Inilah yang membuat kawanan monyet di Goa Kreo menjadi agresif saat ada kelompok monyet lain yang memasuki wilayah mereka.
"Gunungan ini cuma jadi jatah monyet di selatan. Kelompok lain umumnya nggak berani melanggar wilayah karena pasti bakal kena hajar. Maka, pengelola memutuskan untuk membagi makanan secara merata. Kalau nggak, monyet liar ini bisa masuk rumah dan ngerusak tanduran (tanaman) untuk cari makanan," jelasnya.
Hidup berdampingan bersama para monyet memang telah dilakukan masyarakat setempat sejak lama, termasuk tradisi menggelar Sesaji Rewanda. Kepala Disbudpar Semarang Wing Wiyarso mengatakan, tradisi ini muncul sejak abad ke-15, konon diinisiasi Sunan Kalijaga.
"Kalau diartikan, Sesaji Rewanda berarti 'memberi hadiah kepada monyet'. Ini mencerminkan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan semesta. Perayaan dimulai pada 3 Syawal, dengan puncak kirab pada 7 Syawal," tandasnya.
Nggak hanya kemenangan untuk manusia, berakhirnya Ramadan rupanya juga menjadi berkah bagi para monyet di Goa Kreo. Semoga hubungan antar-makhluk ini bisa terus terjaga ya! (Murjangkung/E03)