Inibaru.id - Siapa pun yang melintas di sekitar Kota Lama Semarang pasti melihat pabrik rokok satu ini. Yap, Pabrik Rokok Praoe Lajar namanya. Jenama pabrik tersebut tertulis besar-besar di dinding gedung. Namun begitu, nggak banyak yang tahu gimana aktivitas di dalamnya, termasuk saya.
Jangankan melongok ke dalam, menjumpai produknya pun saya belum pernah. Maka, saya merasa beruntung saat beberapa waktu lalu punya kesempatan menyambangi pabrik rokok legendaris di Kota Lunpia ini. Saya datang bersama agenda kunjungan tim Bea Cukai Jateng dan DIY.
Kesan pertama memasuki pabrik ini, bagian dalamnya ternyata nggak begitu luas, tapi aktivitasnya benar-benar padat. Kedatangan kami disambut Manajer Operasional Praoe Lajar Aditya Wibowo Setia Budhi, generasi keempat pemilik Praoe Layar.
Sebagai ujung tombak pengendali produksi rokok yang sudah berusia puluhan tahun, Aditya terbilang cukup muda. Lelaki 24 tahun ini mengaku, dirinya disuruh memegang tampuk kepemimpinan pabrik nggak lama setelah lulus kuliah.
"Habis kuliah di Jakarta selesai, saya disuruh pulang untuk megang pabrik," ungkapnya sembari mengajak kami berkeliling.
Berpindah-pindah
Aditya bercerita, pabrik ini telah berdiri sejak 5 Mei 1945. Pabrik pertama berdiri di Kampung Kledung, Semarang Timur; lalu pindah ke Jalan Pusponjolo di bilangan Siliwangi (Semarang Barat). Pada 7 Mei 1952, Praoe Lajar pindah ke Jalan Merak (Kota Lama) sampai sekarang.
"Pabrik yang sekarang ini tanahnya sudah beberapa kali ditinggikan karena sering kebanjiran. Sampai sekarang (setelah ditinggikan) juga masih terdampak (banjir)," terangnya begitu kami tiba di gudang penyimpanan tembakau.
Di gudang penyimpanan tersebut, ada sekitar 10 orang yang berbagi tugas, antara mengurai tembakau dengan mendistribusikannya ke gedung-gedung produksi. Aditya mengungkapkan, tembakau yang dipakainya diambil dari kota sekitar seperti Temanggung, Weleri, Mranggen (Demak).
"Yang paling jauh dari Madura," serunya sembari menunjuk tembakau yang tengah diurai. "Saya biasa turun tangan untuk mengetes cita rasa secara langsung, karena tiap tahun, tiap saat, dan tiap musim rasa tembakau bisa berbeda-beda."
Tergantung Tanah dan Cuaca
Menurut Aditya, cita rasa tembakau akan berbeda tergantung tanah dan cuaca. Karena musim kemarau cukup panjang, tahun ini dia mengaku bisa mendapatkan tembakau yang cukup bagus atau manis. Namun, mulai September lalu, pembelian sudah dia hentikan karena telah mulai hujan.
"Kalau (musim) hujan, rasa tembakau jadi pahit," paparnya.
Tembakau yang dibeli, dia melanjutkan, nggak serta merta diproses menjadi rokok, melainkan disimpan dulu selama dua tahun. Nah, di sinilah gudang diperlukan. Saat memasuki ruangan tersebut, saya bisa melihat gunungan tembakau yang disusun meninggi.
"Ya, kami memanfaatkan lahan (yang ada). Tempatnya cuma segitu ya penyimpanan sampai tinggi-tinggi," kelakarnya.
Punya Ratusan Karyawan
Bersisian dengan gudang penyimpanan terdapat tempat pembuatan rokok. Ruangan tersebut berisikan ratusan karyawan yang tengah bekerja; ada yang melinting, ada yang membatil (merapikan) rokok. Seluruh pekerjaan itu dilakukan secara manual, tenaga manusia tanpa bantuan mesin, kecuali mesin linting yang sudah kuno.
"Pelinting dan pembatil ini berjumlah 300 karyawan. Kami semua manual. Hand made, termasuk pengemasan. Bahkan, untuk perekat kami bikin lem sendiri dari tepung kanji," akunya.
Sementara, terkait kapasitas produksi, Aditya mengaku belum bisa memiliki angka pasti karena beberapa alasan, antara lain permintaan pasar, kualitas tembakau, dan kondisi cuaca, terutama banjir. Distribusinya juga lebih banyak di luar Semarang.
"Meski disebut rokok legendaris di Semarang, Praoe Lajar nggak banyak dijual di kota. Kami main di pantura seperti Pekalongan, Tegal, dan sekitarnya. Kalau di sini (Semarang), kami kalah sama (produk) yang paling maju," jelasnya.
Tanpa Saus Kimia
Aditya membeberkan, rokok Praoe Lajar hingga kini masih memegang teguh produksi rokok tradisional. Nggak hanya dari segi pembuatan, bahan yang dipakai juga setali tiga uang. Nggak seperti rokok kebanyakan yang memakai "saus kimia", rokok bikinannya masih memakai campuran rempah herbal alami.
"Rokok Praoe Lajar nggak ada yang pakai saus kimia; semua masih alami, pakai rempah-rempah herbal," tukasnya.
Konsistensi tersebut, diakui Aditya, membuat dirinya kesulitan menjaga kesamaan rasa dari tahun ke tahun. Dia nggak menyangkal jika ada yang bilang bahwa rasa dari rokok Praoe Lajar berubah-ubah. Selain alami, dirinya memang mengubahnya untuk mengikuti zaman.
"Rasa dari rokok Praoe Lajar 20 tahun lalu, 10 tahun lalu, dan sekarang memang beda karena nggak mudah bagi kami untuk menjaga konsistensi rasa itu," akunya. "Namun, perubahan ini juga kami lakukan untuk mengikuti perkembangan zaman; misalnya sekarang jadi lebih ringan karena anak muda sekarang maunya yang begitu."
Wah, nggak nyangka! Menurut saya, konsisten terhadap inkonsistensi rasa pada rokok Praoe Lajar ini sepertinya bisa menjadi ciri khas juga ya, Millens? (Murjangkung/E03)