Inibaru.id - Seusai menyelesaikan Salat Zuhur berjemaah di Masjid Jami' Pekojan Semarang, Ahmad Pasirin langsung bergegas ke halaman belakang. Dia memanggil Zaldin, pemuda setempat yang salat bersamanya tadi, untuk membantunya mengangkat kuali besar ke lubang api di sepetak tempat untuk memasak.
Tempat yang ditutupi terpal saat nggak dipakai untuk memasak itu mirip dapur lengkap dengan tungku besarnya. Namun, bukan dapur sebagaimana pada umumnya yang dipenuhi perkakas lain. Di situ hanya ada tungku kayu berukuran lumayan besar, yang dipakai untuk memasak Bubur India.
Selama Ramadan, Masjid Pekojan memang menyediakan bubur india sebagai menu berbuka untuk masyarakat luas. Pasirin adalah sang juru masak, sedangkan Zaldin yang tukang bantu-bantu. Jobdesc-nya termasuk meletakkan kuali lalu menghidupkan api di tungku, sementara Pasirin menjerang air.
Sembari menunggu air mendidih, Pasirin segera menyiapkan 23 kilogram beras yang akan dimasak hari itu dan berbagai bumbu serta rempah seperti serai, salam, daun bawang, seledri, kayu manis, santan, dan bawang putih.
Begitu air mendidih, semua bumbu dan rempah dimasukkan bersama iga dan sengkel sapi agar menjadi kaldu. Setelah diaduk-aduk beberapa menit, barulah beras dimasukkan hingga siap menjadi bubur.
Tetap Melanjutkan Tradisi
Kali ini Ahmad Pasirin terlihat jauh lebih percaya diri memasak bubur india. Sebab, Ramadan ini sudah menjadi tahun kedua baginya melakoni peran tersebut semenjak juru masak bubur india di Masjid Pekojan sebelumnya yakni Ahmad Ali bin Ali Yasin mangkat pada 2023.
Semasa hidup, Ali memang telah mendapuk Pasirin sebagai penerusnya. Sirin, begitu dia biasa disapa, mengatakan bahwa tradisi menyajikan bubur india selama Ramadan terlampau sayang untuk dihilangkan. Selain menjadi ciri khas Masjid Pekojan, sajian itu juga identitas yang cukup bernilai bagi warga Khoja.
Mendiang Ali adalah keturunan Khoja, komunitas muslim asal Asia Selatan. Namun, Sirin tidak. Dia bahkan nggak berasal dari Semarang. Pada 2014, lelaki asal Bojonegoro itu merantau ke Kota Lunpia, lalu bekerja sebagai marbot di Masjid Pekojan.
Namun, Sirin mengaku dirinya memang acap diminta membantu membuat bubur india. Di sela kesibukannya mengurusi pekerjaan di masjid, Ali sering "menarik" dirinya ke dapur untuk membantu mempersiapkan bubur bercita rasa gurih tersebut.
"Semenjak itu dari tahun ke tahun saya selalu membantunya masak," ungkapnya, pekan ini.
Cerita tentang Bubur India
Satu dekade belajar meracik bubur india membuat Sirin yakin dengan kemampuannya saat ini. Nggak hanya keahlian memasak, dia juga mewarisi cerita tentang sejarah panjang perjalanan panjang bubur india hingga menjadi bagian nggak terpisahkan dari Pekojan.
"Bubur India dibuat para sesepuh Pekojan, termasuk Anas Salim yang pada 2021 lalu meninggal. Beliau merupakan pewaris ketiga, yang memperoleh resep turun-temurun dari kakeknya bernama Harus Rofii dan ayahnya yang bernama Salim Harun," terang Sirin, mengawali cerita.
Sedikit informasi, keberadaan kampung Pekojan nggak lepas dari kedatangan komunitas muslim Khoja yang didominasi orang Pakistan dan India (Gujarat) di Semarang sekitar awal abad ke-19. Mereka adalah para pedagang dengan produk unggulan sarung, tasbih, dan aneka rempah.
Masyarakat Khoja semula mendiami Kampung Petolongan. Dalam perkembangannya, mereka kemudian mendirikan Masjid Jami Pekojan, termasuk memunculkan tradisi pembagian bubur india sejak sekitar 120 tahun silam, dimulai dari Salim Harun.
Kakek dari Abah (Anas) Salim adalah peracik resep bubur India," terang Sirin yang menjelaskan sembari nggak berhenti mengaduk bubur yang sudah setengah jadi.
Diaduk selama Satu Jam
Memasak bubur india memerlukan waktu sekitar tiga jam, terhitung sejak bumbu dan beras dimasukkan ke dalam kuali. Sirin mengaku harus mengaduk beras dalam kuali selama satu jam tanpa henti sebelum membiarkan bubur tersebut matang dengan sendirinya di atas tungku menyala dua jam kemudian.
“Untuk hasil terbaik, pengadukan ini benar-benar tidak boleh berhenti karena menjadi bagian paling penting,” kata Sirin.
Setelah matang, Bubur India disajikan dengan bermacam lauk dan kondimen lain, mulai seperti sambal goreng ati, sambal goreng ayam, kare, atau gulai. Untuk topping-nya, bubur india dibubuhi telur rebus di atasnya. Sebaga menu berbuka, masakan ini biasa disajikan bersama teh atau susu.
"Dulu ada air zamzam, tapi karena pasokannya disetop oleh Pemerintah Arab Saudi, digantikan dengan susu," terang Sirin.
Masih Sering Dibanding-bandingkan
Menyandan predikat "juru masak" dari hidangan legendaris yang telah berusia ratusan tahun tentu saja nggak mudah bagi Pasirin. Dia mengaku masih sering mendengar mulut-mulut usil yang suka membandingkan racikannya dengan generasi terdahulu, yakni Ahmad Ali.
"Bohong kalau nggak tersinggung. Tapi, tidak masalah. Itu biasa. Yang bilang lebih enak juga banyak," tuturnya, ngayem-ayemi diri. "Yang paling penting bubur ini tidak berhenti tersaji."
Yang bisa dilakukannya saat ini adalah melanjutkan tradisi sembari tetap menjaga cita rasa autentik dari bubur india yang dia warisi, sembari tentu saja mencari penerus. Untuk ancang-ancang, dia sudah menggaet Zaldin, pemuda rajin yang besar di Kampung Perolongan, sebagai suksesor.
"Sampai kapan pun bubur ini harus dihidangkan karena sudah menjadi identitas Masjid Pekojan, sekaligus identitas orang Khoja di Semarang," ucapnya.
Selalu Disambut Antusias
Tiga jam memasak, bubur india pun tanak sudah. Jam segera menunjukkan waktu Asar. Sebelum disajikan, bubur didiamkan terlebih dulu, sementara Sirin akan berganti kesibukan rutin lainnya, yakni mempersiapkan masjid untuk Salat Asar berjemaah.
Selepas salat, barulah lelaki cekatan tersebut kembali ke dapur untuk bersiap menghidangkan bubur india. Biasanya, saat itu sudah ada orang yang menantikan pembagian bubur yang aromanya sungguh menggugah selera makan tersebut.
Benar saja, nggak lama setelah penutup kuali dibuka, sudah datang sejumlah anak serta orang dewasa yang merupakan warga sekitar. Sembari mengantre rapi, mereka menenteng wadah sendiri untuk menampung bubur. Mereka tampak antusias menantikan giliran memperoleh jatah bubur india.
Sirin mengatakan, kadang memang ada yang "curi start" meminta bubur terlebih dulu sebelum disajikan di masjid untuk berbuka puasa. Namun, dia nggak mempermasalahkannya, karena bubur india cukup banyak dan memang diperuntukkan bagi masyarakat.
"Selain untuk buka puasa di masjid, bubur india memang dibagi-bagikan untuk warga," tandasnya.
Lega rasanya masih ada pewaris juru masak bubur india di Masjid Pekojan; yang dia bahkan telah memikirkan penggenggam tongkat estafet selnjutnya. Semoga renjana terus ada dan bubur india tetap legit rasanya. (Murjangkung/E03)