Inibaru.id – Langit sudah berpendar oranye keemasan saat ribuan orang mulai berduyun-duyun mendekati kawasan Menara Kudus. Deretan lapak kaki lima masih mematut dagangannya. Ada jenang yang legit dan satai kerbau yang gurih khas kota ini, menyatu dengan lapak lain yang mulai penghabisan.
Malam itu, Jumat, 28 Februari 2025, adalah pengujung Perayaan Tradisi Dandangan di Kabupaten Kudus yang telah dimulai sejak 19 Februari. Berakhirnya festival dan pasar malam itu pun menandakan dimulainya Bulan Suci Ramadan yang jatuh sehari setelahnya, yakni pada 1 Maret.

Bagi masyarakat Kudus, Dandangan bukan sekadar pasar malam, tapi juga peristiwa bersejarah yang telah berlangsung sejak zaman Sunan Kudus, ketika masyarakat berkumpul untuk menunggu pengumuman awal Ramadan dari sang wali.
Kini, meski pengumuman resmi sudah ditentukan oleh pemerintah, tradisi ini tetap lestari, bahkan semakin meriah dengan berbagai kegiatan budaya yang menyertainya; yang tahun ini mengusung tema "Dandangan Menara Kudus, Merawat Syariat Isbat, Menghidupkan Ekonomi Rakyat."
Menghidupkan dan Menghidupi

Dandangan menjadi salah satu tradisi di Kudus yang selalu dinantikan masyarakat setempat. Orang-orang sukarela datang dari pelbagai sudut untuk merayakannya, menikmati beragam sajian kuliner dan berbelanja pernak-pernik khas yang dijual. Nggak hanya menghidupkan, mereka juga menghidupi Kudus.
Sesepuh Yayasan Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus Syaifudin Lutfi mengatakan, pada masa Sunan Kudus, warga berkumpul untuk menunggu keputusan awal Ramadan. Tradisi berkumpul dan menunggu pengumuman itu rupanya masih terjaga dengan baik hingga kini.
"Tabuh beduk adalah penanda waktu ibadah dan menjadi simbol awal Ramadan seperti yang dilakukan pada zaman Kanjeng Sunan Kudus," jelasnya.
Sedikit informasi, Dandangan berakar dari tradisi yang diajarkan Sunan Kudus sekitar abad ke-15. Tradisi ini bermula dari kebiasaan para santri berkumpul di depan Masjid Menara (Masjid Al Aqsha) untuk menanti tabuhan bedug yang menandai awal puasa dari Sunan Kudus. Suara "dang-dang" dari tabuhan bedug itulah ihwal mula sebutan Dandangan.
Berkumpul dan Menjajakan Makanan

Sunan Kudus, yang juga dikenal sebagai Dja’far Shodiq, adalah ulama besar dan anggota Walisongo, sekaligus Senopati Kerajaan Islam Demak. Dia juga dikenal sebagai pujangga dan pencipta gending terkenal seperti Maskumambang dan Mijil.
Dengan kemampuannya itu, dalam berdakwah dia selalu memadukan nilai Islam dengan kearifan lokal, salah satunya yang terserak dalam arsitektur Masjid Menara Kudus yang memadukan unsur Hindu dan Islam.
Dulu, konon ketika bedug ditabuh masyarakat sekitar yang sebagian besar masih beragama Hindu datang berkerumun, tertarik oleh lantunan kidung Islami yang dilantunkan Sunan Kudus. Lambat laun, Dandangan pun menjadi ajang berkumpulnya orang-orang.
Warga, santri, dan pedagang berbaur, berkumpul dan menjajakan makanan khas seperti lontong opor, nasi kuning, ketan kuning, hingga intip ketan. Sebagian makanan sudah nggak bisa dinikmati lagi sekarang, tapi sebagian lainnya masih acap tersaji dalam tradisi Dandangan saat ini.
Kisah Gadis Pingitan

Tak hanya sebagai penanda Ramadan, Dandangan juga menyimpan cerita menarik tentang gadis pingitan. Konon, Dandangan menjadi waktu bagi para perempuan pingitan diperbolehkan keluar rumah.
Alkisah, di sekitar Menara Kudus, terutama di Desa Langgar Dalem, banyak gadis yang sebelumnya jarang terlihat karena tradisi pingitan. Namun, saat Dandangan tiba, para orang tua mengizinkan mereka keluar rumah, menjadi ajang bagi para perjaka mencari jodoh. Jika ada yang cocok, lamaran pun segera diajukan.

Namun, agaknya cerita itu sudah nggak ada lagi sekarang, seiring dengan memudarnya tradisi pingitan. Saat ini, Dandangan telah berkembang menjadi festival rakyat. Jika Yogyakarta mempunyai Sekaten dan Semarang memiliki Dugderan, di Kudus ada Dandangan.
Wilayah penyelenggaraan Dandangan juga nggak terbatas di sekitar Masjid Menara, tapi meluas hingga Jalan Sunan Kudus, Jembatan Sungai Gelis, hingga Alun-Alun Simpang Tujuh. Selama festival, ribuan orang memadati area pasar malam, membeli aneka jajanan, hingga menyaksikan berbagai pertunjukan budaya.
Puluhan Ribu Pengunjung

Selain sebagai sarana hiburan, tradisi Dandangan juga dinantikan para pedagang lokal karena bisa menjadi ajang untuk meraup keuntungan lebih besar sebelum Ramadan tiba, terutama pada malam hari. Semakin malam, suasana pasar malam di sini memang semakin terasa.
Hujan yang acap turun pada malam hari selama Dandangan juga rupanya nggak mengendurkan minat masyarakat untuk datang, entah sendirian, bersama keluarga, sahabat, atau pasangan, menikmati keramaian sembari mengudap berbagai hidangan tradisional yang dibanderol dengan harga sewajarnya.

Hal itu sebagaimana dikatakan Revlisianto, salah seorang panitia penyelenggara selepas menutup acara Dandangan pada Jumat (27/2). Menurutnya, sebagai salah satu event tahunan yang paling dinanti, dia memperkirakan total jumlah pengunjung mencapai 50 ribu orang.
Sepanjang acara berlangsung, Dandangan setidaknya dikunjungi 50 ribu orang, baik dari dalam maupun luar Kudus," terangnya. "Kalau omzet, saya belum dapat laporan dari Dinas Perdagangan. Namun, saya pastikan antusiasme masyarakat tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun lalu."
Semoga berakhirnya Dandangan menjadi awal yang baik untuk menjalankan ibadah Ramadan tahun ini ya. Sampai jumpa di dandangan-dandangan berikutnya! (Imam Khanafi/E03)