Inibaru.id - Hari-hari di Kampung Cakrawala berjalan laiknya kebanyakan permukiman di perkotaan; ada bocah-bocah berlarian, orang tua mengantar anak, ayah menjemur pakaian, ibu bersiap berangkat kerja, atau para paruh baya yang nongkrong di warung kopi. Semuanya berjalan harmonis.
Berlokasi di pinggiran Jalan Yos Sudarso Semarang, rumah-rumah di kampung ini saling berimpit, padat, dan ukurannya nggak terlalu besar. Namun, Jumirah yang telah lama menempatinya nggak terlalu ambil pusing. Baginya yang hidup pas-pasan, tempat itu cukup untuk berteduh.
Namun, suatu hari kampung itu bubrah. Masih lekang dalam ingatan Jumirah ketika hari nahas tersebut tiba. Pemilik warung ini tengah menata dagangannya saat rombongan satpol PP tiba bersama alat beratnya. Hari itu juga, dia kena gusur dan Kampung Cakrawala rata dengan tanah.
"Saya ingat betul. Nangis. Mau bertindak, tapi ndak bisa. Pasrah, tapi ndak terima," ungkap Jumirah dengan mata berkaca-kaca kepada saya belum lama ini, mengenang momen penggusuran Kampung Cakrawala pada 2006 lalu.
Tergusur ke Kolong Jalan Layang
Setelah diusir paksa, sebagian warga yang kebingungan pun memilih tinggal di kolong jalan layang, masih di Jalan Yos Sudarso, sepelemparan batu dari lokasi penggusuran. Di sinilah saya mengobrol sepeminuman kopi bersama Jumirah.
Kami harus berbicara cukup keras serta berkali-kali menutup hidung karena deru kendaraan yang lalu lalang di atas kami begitu bising dan bikin debu beterbangan. Jumirah mengatakan, pascapenggusuran 19 tahun lalu, perwakilan warga sempat bernegosiasi, tapi gagal dan permukiman tetap dimusnahkan.
"Beginilah Kampung Cakrawala sekarang. Bising. Gimana mau sepi, tiap hari dilalui kendaraan dan dekat dengan rel kereta?" seru Jumirah, seolah tahu perasaan kurang nyaman yang saya rasakan. "Tapi, kami sudah mulai terbiasa."
Oya, Kampung Cakrawala yang sekarang dihuni oleh 39 keluarga. Mereka tinggal di bilik semipermanen yang berdiri saling berimpitan, tapi terbilang rapi dengan masing-masing rumah telah bernomor. Untuk bersih-bersih, ada beberapa bilik kamar mandi umum di ujung barat.
Kampung Cakrawala Part 2
Saking lamanya menempati kolong flyover yang acap digenangi air saat hujan ini, warga pun mulai menganggap tempat tersebut sebagai "rumah" mereka. Kampung Cakrawala Part 2 pun berdiri, tapi hanya berbentuk peguyuban yang diketuai oleh Joko Santoso.
"(Dalam kasus penggusuran Kampung Cakrawala) kami sebetulnya nggak benar-benar salah," terang Joko mengawali cerita. "Kami ditipu orang. Tanah wakaf dikavling, ngakunya bekas tanah garapan, lalu ditawarkan kepada kami dengan harga murah. Bodohnya, kami mau saja beli tanah tanpa sertifikat."
Baca Juga:
Gebyok Ukir Jepara di Mata Amim MustafiJoko membeli kavling seharga Rp3 juta pada 2001. Namun, baru lima tahun kemudian dia tahu bahwa tanah itu ilegal. Negosiasi antara pemilik tanah, pemkot, dan warga tergusur sempat dilakukan, tapi mentok. Hanya satu RT yang diberi kesempatan mencicil tanah, lalu sisanya direlokasi.
"Karena banyaknya warga yang terdampak, nggak semuanya kebagian lahan relokasi. Yang tersisa pun tinggal di kolong flyover, termasuk saya sekeluarga," akunya dengan suara bergetar. "Benar-benar bikin trauma. Anak-anak masih kecil. Istri saya stres sampai sebulan."
Tempat Tinggal Sementara
Permukiman di kolong flyover ini hanyalah tempat tinggal sementara bagi mereka. Joko mengatakan, pemkot mengizinkan para korban penggusuran yang tersisa menghuni Kampung Cakrawala hingga mereka punya cukup uang untuk pindah.
"Kami nggak punya izin, tapi pemerintah kasih waktu untuk mengumpulkan uang, biar bisa beli rumah di tempat lain," ujarnya. "Syaratnya, saya harus jaga wilayah ini; mencegah adanya penghuni baru dan mendorong warga yang sudah cukup uang untuk pindah."
Dari 75 keluarga yang menghuni kolong jalan layang pada 2006, kini tersisa separuhnya. Sebanyak 36 keluarga sudah menemukan kehidupan baru di tempat lain. Menurut Joko, butuh kerja keras dan komitmen seluruh warga untuk melakukannya.
"Saya memang cukup keras. Yang sudah mampu beli rumah akan saya paksa pindah. Keras karena komitmen; warga juga (memegang) komitmen dan kami terus dipantau (pemkot)," jelasnya.
Pakai Alamat Lama
Karena berstatus ilegal, untuk urusan administrasi, warga Kampung Cakrawala mengandalkan rumah lama, sedangkan data KTP memakai alamat orang tua atau sanak saudara. Joko berharap, situasi ini nggak memburuk dan akses untuk mendapatkan rumah subsidi di Semarang terbuka lebar.
"Tolong (pemkot) permudah akses kami untuk mencicil rumah subsidi, karena kalau mengajukan sendiri nggak bisa," keluhnya.
Joko menegaskan, saat ini sebagian besar warga Kampung Cakrawala sudah pasti berani membeli rumah subsidi dengan sistem angsuran, karena mereka rata-rata punya pekerjaan dan terbilang pekerja keras.
"Kalau ada rumah subsidi, tentu kami berani mengangsur. Ya, kami juga memimpikan punya rumah yang lebih layak huni seperti orang lain, kan?" pungkasnya.
Dari sudut pandang mana pun, kolong jalan layang nggak mungkin disebut rumah. Maka, cepat atau lambat, pindah menjadi salah satu solusi terbaik yang harus diambil warga Kampung Cakrawala. Menurutmu, adakah opsi lain yang bisa mereka lakukan? (Murjangkung/E03)