BerandaInspirasi Indonesia
Rabu, 31 Mei 2022 17:10

Kiai Ahmad Rifa'i, Melawan Kolonialisme Belanda dengan Kata-kata

Sosok Kiai Ahmad Rifa'i, pahlawan nasional asal Kendal. (Tanbihun.com)

Perlawanan untuk mengusir kolonialisme Belanda sangatlah beragam. Biasanya, pada ulama memiliki caranya sendiri yang tentunya tanpa kekerasan. Kiai Ahmad Rifa’i misalnya. Dia memilih melawan Belanda dengan cara dakwah dan tulisan-tulisannya.

Inibaru.id - Kiai Ahmad Rifa’i merupakan pahlawan nasional Indonesia dari Kendal, Jawa Tengah yang melawan Belanda melalui kata-kata. Seperti apa sih perjuangannya dalam melawan penjajah?

Ahmad Rifa’i lahir di Tempuran, sebuah desa kecil di Kendal pada 9 Muharran 1200 H (1789 M). Sejak kecil, dia dikenal memiliki kecerdasan yang luar biasa. Masa mudanya dipenuhi dengan berbagai ajaran ilmu agama Islam. Maklum, setelah ayahnya wafat saat usianya baru enam tahun, Kiai Ahmad Rifa’i diasuh oleh pamannya KH Asy’ari, seorang ulama terkemuka di Kaliwungu, Kendal.

Demi memperdalam ilmu agama, Kiai Ahmad Rifa’i menunaikan ibadah haji dan bermukim di Makkah, Arab Saudi, selama 8 tahun untuk menuntut ilmu. Nggak cukup, saat berusia 38 tahun, dia pergi ke Kairo, Mesir untuk mendalami kitab-kitab Fiqih Syafi’i selama 12 tahun.

Masa Penjajahan Belanda

Pada masa penjajahan, Kiai Ahmad Rifa’i merupakan salah satu ulama yang gigih melakukan perlawanan. Soalnya, pada masa itu, masyarakat sangat terpuruk akibat terus dijajah dan mendapatkan kebijakan yang nggak adil. Dengan penuh keprihatinan, sang Kiai pun melakukan perlawanan melalui dakwah dan protes sosial hingga akhir hayatnya.

Kitab <i>Tarajumah, </i>karya Kiai Ahmad Rifa'i yang sekarang diwariskan kepada santrinya. (Facebook/Rifa'iyah Wonosobo)

Saking gigihnya terus melakukan dakwah yang kritis dan berani, Kiai Ahmad Rifa'i sampai dijuluki singa podium. Contohnya, dia selalu melontarkan kritik kepada pemerintah dan aparat feodal setiap kali berdakwah. O ya, selain berdakwah, Kiai Ahmad Rifa’i juga membangun sebuah pondok pesantren di Kalisalak, Batang. Dari pondok inilah dia mendirikan Gerakan Rifa’iyah.

Gerakan ini melakukan perlawanan politis melalui penulisan dan pengajaran kitab-kitab Tarajumah. Tujuan perlawanan ini tentu saja adalah pemerintah kolonial Belanda dan para birokrat lokal yang bekerja untuk kolonial. Caranya? Dengan tidak menaati dan tidak mengakui perintah dari lembaga formal yang ada pada masa itu. Tegas!

Kitab Tarajumah ini merupakan hasil terjemahan dari kitab berbahasa Arab ke bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Arab Pegon. Kitab ini berisikan tentang ilmu dasar-dasar Islam seperti Fiqih (ilmu tentang hukum Islam) dan Tasawuf (cara atau jalan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT).

Kiai Ahmad Rifa'i yang dimakamkan di Minahasa tempat perasingannya. (Twitter/Gun Romli)

Gerakan-gerakan serta kritikan yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Rifa’i tentu saja membawa pengaruh besar di kalangan masyarakat dan mengakibatkan suhu politik pada masa itu semakin memanas. Para priyayi yang gerah dengan sepak terjangnya sampai melaporkan Kiai Ahmad Rifa’i ke pemerintah kolonial Belanda. Hal ini membuatnya ditahan di Kendal pada 1849. Dia kemudian diasingkan ke Ambon karena dianggap tidak taat pada pemerintah Belanda.

Meskipun masih dalam masa pengasingan, Kiai Ahmad Rifa’I tetap melakukan perlawanan dengan tulisan yang dirangkum dalam kitab-kitabnya.

Sebelum wafat di tempat pengasingannya di Kampung Jawa Tondano, Sulawesi Utara, Kiai Ahmad Rifa'i terus produktif menulis dan menjalin komunikasi rahasia dengan santri-santrinya. Setidaknya, ada 68 karya milik Kiai Ahmad Rifa’i yang diwariskan kepada generasi Islam saat ini. Luar biasa, ya, Millens. (Nu,Lad, Hal/ IB32/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024