Inibaru.id – Tri gusar bukan main dengan berita dugaan korupsi Pertamina yang belakangan ini viral di berbagai media. Nggak hanya bikin negara rugi ratusan triliun Rupiah, dia juga jengkel pas tahu bahwa salah satu modus korupsi yang diduga dilakukan adalah dengan mengoplos Pertalite agar bisa dijual sebagai Pertamax yang lebih mahal.
Sebagai pengguna Pertamax sejak 2018 karena pengin menjaga kondisi mesin kendaraannya dan merasa nggak berhak memakai BBM subsidi, dia sangat geram dan kecewa karena merasa ditipu selama bertahun-tahun.
“Dulu sempat kepikiran, kok terkadang tarikan gas mobil atau motornya malah kerasa nggak nyaman ya setelah isi Pertamax. Saya pun jadi semakin yakin kalau sebenarnya selama ini yang saya beli sebenarnya Pertalite, bukannya Pertamax. Padahal, selisih harga keduanya sangat besar,” keluh Tri pada Rabu (26/2/2025) malam.
Nggak hanya Tri yang kecewa, rekan satu tempat kerjanya, Nugroho, juga sangat jengkel dengan berita korupsi ini. Tanpa ragu, dia langsung memutuskan untuk mengantre Pertalite saat sepeda motornya perlu diisi BBM di SPBU terdekat. Ini adalah untuk kali pertama dia melakukannya sejak empat tahun silam.
“Nggak ada permintaan maaf yang layak, nggak ada pernyataan tanggung jawab dari pihak Pertamina atau pejabat pemerintahan. Padahal kita yang membeli merasa kecewa karena ditipu selama bertahun-tahun. Makanya saya mending beli Pertalite saja meski antre. Belum bisa saya percaya lagi untuk mengisi Pertamax meski mereka bilang BBM tersebut benar-benar Pertamax,” keluh Nugroho sembari menyalakan sepeda motornya keluar dari tempat kerjanya.
Baik Nugroho maupun Tri merasa dirugikan selama bertahun-tahun gara-gara hal ini. Mereka menyebut jika dalam sepekan saja mereka mengisi Pertamax minimal 4 liter dengan selisih harga sekitar Rp2.000 sampai Rp3.000 dari Pertalite, maka dalam setahun saja, mereka sudah dirugikan minimal Rp400 ribuan. Jumlah yang cukup banyak, bukan?
Omong-omong soal tanggung jawab, memangnya konsumen seperti Tri maupun Nugroho bisa menuntut ganti rugi atas kerugian yang mereka dapatkan? Kalau menurut Lembaga Pemibnaan dan Perindungan Konsumen (LP2K) Jateng, seharusnya bisa.
“Kalau memang produk yang dijual dengan label Pertamax tapi isinya bukan, kalau dalam perpektif perlindungan konsumen, melanggar UU, konsumen pun berhak melakukan gugatan baik individu maupun kolektif secara keperdataan. Intinya ya minta ganti rugi ke produsen, dalam hal ini Pertamina,” ucap Ketua LP2K Jateng Abdun Mufid sebagaimana dinukil dari Radarsemarang, Rabu (26/2)
Ganti rugi yang dimaksud tentu saja adalah selisih harga dan juga kemungkinan adanya kerusakan pada kendaraan akibat penggunaan BBM yang tidak sesuai label tersebut. Tapi, tentu saja, hal ini baru bisa dilakukan setelah adanya audit independen terhadap PT Pertamina untuk memastikan bahwa memang ada Pertamax oplosan di SPBU.
“Harus ada kejelasan dulu. Caranya tentu saja dengan melibatkan pihak independen untuk melakukan audit demi memastikan kalau di SPBU memang ada atau nggak ada Pertamax oplosan itu. Kalau memang ada, tuntutan bisa diajukan,” lanjut Abdun.
Masalahnya, kalau memang ternyata terbukti ada Pertamax oplosan di SPBU, pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut masyarakat baru bisa melakukan tuntutan ganti rugi jika bisa menunjukkan bukti pembelian.
“Konsumen harus menunjukkan bukti pembelian sebagai syarat minta ganti rugi,” ucap Sekretaris Eksekutif YLKI Sri Wahyuni sebagaimana dinukil dari Media Indonesia, Rabu (26/2).
Persyaratan inilah yang kemudian bikin Tri dan Nugroho kemudian sewot. Maklum, layaknya sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya, mereka membeli BBM dengan cara membayar uang begitu saja dan nggak mendapatkan struk pembelian. Struk pembelian hanya akan diberikan jika mereka memintanya, yang sayangnya hampir selalu nggak pernah dilakukan.
Lebih dari itu, jika membeli lewat aplikasi MyPertamina, misalnya, pada menu Aktivitas, catatan transaksi pembelian produk (BBM) juga hanya terlihat untuk 30 hari terakhir.
“Padahal kan kalau melihat kasusnya, diduga pengoplosan sudah dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. Lantas, dari mana kami bisa memberikan bukti pembelian BBM dari SPBU,” keluh Tri yang juga menyesalkan mengapa di Kota Semarang tempatnya tinggal nggak ada SPBU swasta layaknya di kota-kota besar lain seperti Jakarta atau Semarang sebagai alternatif lokasi lain untuk membeli BBM.
Yap, kasus dugaan korupsi Pertamina masih jadi pembicaraan banyak pihak. Masyarakat biasa yang dirugiikan seperti Tri dan Nugroho ada jutaan jumlahnya dengan kerugian yang tentu sangat besar. Sayangnya, sampai sekarang, nggak ada kejelasan apakah bakal ada kompensasi atau ganti rugi bagi konsumen yang merasa ditipu selama bertahun-tahun seperti mereka. (Arie Widodo/E05)