Inibaru.id – Wahai milenial, selamat datang di zona paruh usia atau biasa dikenal sebagai midlife. Sudah siap dipanggil manusia paruh baya belum nih, Gez? Ha-ha.
Saat ini, diakui atau tidak, sebagian milenial atau generasi yang lahir antara 1981 hingga 1996 memang sedang otewe usia pertengahan yang seharusnya nggak boleh marah kalau dilabeli "paruh baya". Milenial termuda telah memasuki usia 30, sedangkan yang tertua sedang menjalani umur 44 tahun.
Sebagaimana umumnya orang yang memasuki usia paruh baya, nggak sedikit yang mengalami krisis paruh usia atau sering disebut midlife crisis. Krisis yang juga disebut "puber kedua" ini adalah bentuk pencarian jati diri yang sering ditandai dengan perubahan perilaku seperti bersikap centil atau bergaya hidup boros.
Namun, pada milenial, krisis paruh usia sepertinya ditandai dengan cara berbeda. Tekanan berat di dunia kerja dan masyarakat nggak jarang justru membuat mereka mengalami rasa keterasingan, bahkan kehilangan energi tanpa mereka tahu apa penyebabnya.
Bukan Drama, tapi Krisis Makna
Dikutip dari Fortune, sebanyak 81 persen milenial kemungkinan nggak akan mengalami midlife crisis ala boomers seperti membeli mobil atau mengikuti gaya hidup impulsif karena faktor ekonomi dan kondisi keuangan yang sulit. Inilah yang dialami Siti Fatimah.
"Tahun ini aku kepala empat, tapi hidup masih begitu-begitu saja. Apa itu 'tua foya-foya'? Yang ada aku pusing mikir angsuran, tabungan nggak nambah, dan menyerah menyejar gaya hidup ideal yang mungkin nggak bakal pernah kesampaian," keluhnya via DM Instagram, Kamis (24/7/2025).
Krisis yang dialami Ima, sapaan akrabnya, dan banyak milenial saat ini adalah tujuan dan keterlibatan dalam hidup, alih-alih "sekadar" hidup impulsif pada paruh usia ini. Bagaimana bisa menghambur-hamburkan uang jika kemampuan material saja nggak punya?
Media gaya hidup Vox belum lama ini menulis, sebagian milenial berusia akhir 30-an hingga 40-an terjebak dalam ketidakpuasan dan merasa nggak memiliki arah hidup yang jelas. Kalaupun bekerja, mereka acap terjebak dalam rutinitas, kehilangan makna, atau nggak memiliki autentisitas.
Rentan Alami 'Silent Fatigue'
Ima merasa bersyukur nggak mengalami puber kedua dengan menjadi lebih centil atau impulsif membeli barang yang nggak penting. Namun, dia nggak menyangkal kemungkinan dirinya juga terjebak dalam krisis jati diri di usia paruh baya ini.
"Hidup seperti berjalan begitu saja," tutur perempuan yang saat ini bekerja sebagai guru les di Solo tersebut. "Monoton, tapi melelahkan dan terbebani secara mental dan fisik. Aku sering pulang dalam kondisi lelah luar biasa, padahal nggak habis lembur atau ambil jam kerja tambahan."
Apa yang terjadi pada Ima sejatinya juga banyak dialami milenial lain. Fenomena ini acap disebut Silent Fatigue atau kelelahan kronis tanpa tahu penyebabnya apa. Rasa lelah ini nggak terasa dramatis, tapi membebani secara emosional, mental, dan fisik.
Millennial Magazine menyebut, generasi milenial lebih cepat mengalami kelelahan kronis dibanding generasi sebelumnya karena intens terkena eksposur teknologi yang diikuti dengan tekanan kerja yang tinggi dan depresi. Inilah yang menyebabkan terjadinya silent fatigue.
Generasi dengan Tingkat Depresi Tinggi
Menurut penelitian American Psychological Association, milenial merupakan generasi yang paling rentan terhadap stres dan depresi. Banyak di antara milenial yang kurang tidur karena mengalami kecemasan. Bahkan, selalu ada efek stres mental yang tetap muncul meski sudah cukup tidur.
"Aku nggak pernah tidur nyenyak dan selalu bangun dengan perasaan nggak nyaman tanpa tahu itu apa. Mungkin ini yang bikin energiku terkikis dan mengalami kelelahan akut bahkan sebelum mulai kerja," simpulnya.
Maka, besar kemungkinan krisis paruh baya yang generasi milenial alami saat ini bukanlah keinginan untuk hidup impulsif, tapi desakan internal yang halus seperti mempertanyakan arah hidup, merasa jenuh, atau kehilangan gairah untuk bekerja; yang mengakibatkan kelelahan akut.
Karena banyak terjadi pada milenial, tentu saja ini bukan sekadar isu psikologis personal, tapi tantangan kolektif generasi yang dibentuk oleh ketidakpastian ekonomi, batas work-life yang hilang, dan mungkin modernitas digital yang menggerus batas antara waktu kerja dan istirahat.
Tentu saja krisis ini harus ditanggulangi agar silent fatigue yang kian menjadi-jadi. Sehat-sehat, pejuang pundi-pundi! (Siti Khatijah/E10)
