Inibaru.id - Jam belum menunjuk jam delapan pagi ketika langkah-langkah muda mulai berkumpul di pelataran Taman Menara Kudus, akhir Juni lalu. Matahari baru naik sejengkal dari ufuk timur, tapi semangat para pencinta sejarah dan bangunan tua di Kota Kretek ini sudah menyala.
Yusak Maulana, peneliti sejarah dan pendongeng dari Cerita Kudus Tuwa, berdiri di depan mereka, memandu para peserta walking tour itu menyusuri lorong-lorong waktu untuk menyelami sejarah keluarga besar Mas Atmowidjojo, tokoh pendiam nan visioner yang dijuluki "Bapak Para Saudagar Kretek".
"Tur hari ini bukan sekadar jalan kaki. Ini napak tilas jejak industri rakyat. Kita akan melihat bagaimana satu keluarga membangun dinasti kretek dari dapur hingga pabrik, dari gudang sederhana hingga rumah besar yang kini menjadi pondok dan museum," ujar Yusak saat membuka perjalanan.
Menara Kudus berdiri nggak hanya sebagai lambang keislaman lokal, tapi juga titik temu sejarah dagang, budaya, dan pergerakan. Nggak jauh dari bangunan tersebut, pada akhir abad ke-19, Mas Atmowidjojo lahir dan kelak menjadi pelopor industri rokok kretek di kota penuh sejarah tersebut.
Berawal dari kegagalannya berdagang di Mojokerto, Atmowidjojo pulang kampung dan mulai menggiling tembakau bersama istrinya, Warsini. Dari dapur rumahnya lahir merek Eerste, rokok klobot rumahan berbahasa Belanda yang menandai langkah pertamanya.
"Tahun 1913 beliau mendirikan pabrik dengan merek Goenoeng Kedoe, Kerandjang, dan Romah," terang Yusak. "Keberhasilannya sejalan dengan kesederhanaannya. Beliau yang suka bersih-bersih halaman sendiri sampai pernah membuat tamu-tamunya salah sangka, mengira beliau adalah tukang kebun.”
Lorong Kecil yang Menyimpan Kenangan
Dari taman, langkah bergeser ke gang-gang kecil yang dulu menjadi nadi distribusi dan produksi. Di antara tembok rumah yang kini menjadi tempat tinggal warga, Yusak menunjuk satu titik yang dulunya adalah gudang tembakau Cap Delima milik Haji Mas Ashadie, putra sulung Atmowidjojo.
“Dulu di sinilah beliau menyimpan tumpukan tembakau dari berbagai penjuru. Gudang ini dikenal sebagai Gudang A, dibeli pada 1918 setelah Ashadie memisahkan diri dari usaha ayahnya,” terang Yusak.
Ashadie nggak hanya saudagar, tapi juga tokoh spiritual. Setelah berhaji pada usia 18 tahun, dia mengganti namanya dan menjalankan usaha dengan filosofi rukun dan doa: Sing do rukun, do ndedonga. Cap Delima miliknya mencapai masa keemasan antara 1926–1939 dengan 13 bangunan pabrik dan lebih dari 3.000 buruh.
Kini gudang itu telah menjelma perumahan warga. Namun, bagi Cerita Kudus Tuwa, lokasi-lokasi ini tetap penting.
“Kami menandai tempat-tempat ini bukan untuk bernostalgia, tapi sebagai pengingat bahwa sejarah rakyat pernah hidup di sini,” kata Yusak.
Pabrik Rokok yang Menjadi Pondok Pesantren
Perjalanan berlanjut ke bangunan besar di kawasan Demangan yang kini menjadi Pondok Pesantren. Dulunya adalah kantor pusat PR Delima. Di sini jejak kejayaan industri kretek Ashadie pernah bersinar.
Nggak hanya sigaret dan klobot, tetapi juga pusat distribusi, laboratorium, dan ruang eksperimen racikan saus legendaris yang dibuat oleh Fatimah, istri keduanya.
“Konon, saus racikan Mak Fat itu bisa membuat rumput pun terasa enak kalau disausi,” ucap Yusak sambil terkekeh, menirukan anekdot lama.
Di sini pulalah Haji Ashadie pernah menerima tamu agung: Kolonel Gatot Subroto pada 1948, pasca-pemberontakan PKI. Dalam kunjungan itu, Ashadie menyambut dengan simbol perdamaian: seekor kambing betina dari halaman pabrik.
Bagi sebagian peserta, fakta bahwa pondok yang menjadi pusat pendidikan Islam modern ini semula adalah kantor industri kretek merupakan sebuah pengalaman yang menyentuh.
“Sejarah punya banyak wajah. Yang penting kita tahu asal muasalnya,” kata seorang peserta, mahasiswa sejarah dari Kota Semarang.
Moeseoem Ketjil Keluarga Ashadie
Akhir perjalanan membawa rombongan ke Jalan Kiai Telingsing No 1, rumah keluarga Ashadie yang kini dialihfungsikan menjadi Moeseoem Ketjil oleh anak cucu mereka.
Di ruang utama, peserta disambut oleh berbagai etiket rokok tempo dulu: Cap Delima, Cap Sogo, Cap Goenoeng, Cap Krandjang, Cap Garbis, dan lainnya. Ada juga foto-foto tua: Mas Atmowidjojo yang bersahaja, Fatimah si peracik saus, hingga M Roesdi sang bungsu yang mendirikan Cap Sogo pada 1938.
Yusak berdiri di depan meja tua yang dulunya adalah meja administrasi Cap Delima.
“Di sinilah keputusan-keputusan bisnis dibuat. Namun yang lebih penting, di sinilah nilai-nilai keluarga dibangun,” katanya.
Dia mengisahkan bahwa dari Atmowidjojo lahir nggak hanya perusahaan, tapi juga jaringan sosial dan spiritual. Dia menyatukan keluarga lewat makan bersama, menyanyi bersama, bahkan mendorong anak-anaknya untuk bersaing secara sehat.
“Persaingan dalam keluarga bukan berarti permusuhan. Mereka tetap menjaga rukun, tetap bersilaturahmi,” ucap Yusak sambil menunjuk salah satu foto pernikahan antara putri M Sirin dengan putra HM Moeslich, dua saudagar besar yang bersatu lewat pernikahan anak-anak mereka.
Pameran Etiket Rokok
Acara ditutup dengan sesi melihat pameran etiket rokok kretek, hasil kurasi Cerita Kudus Tuwa. Etiket-etiket ini bukan sekadar desain visual, tapi statement zaman: dari Cap Goenoeng Kelapa dengan dominasi warna berbeda untuk tiap anak hingga Cap Sogo yang berlambang biji merah sebagai simbol keceriaan masa kecil.
Ada juga Cap Gedoeng milik Soemadji serta Cap Crown dan Painah dari M Chajat, suami Nasidjah. Semua merek ini menyuarakan keberagaman dalam satu akar: Keluarga Atmowidjojo.
“Etiket adalah identitas, simbol eksistensi, dan dalam konteks ini, juga artefak sejarah. Kita bisa membaca bagaimana keluarga ini terus mencari bentuk, terus berinovasi,” kata Yusak.
Saat peserta mulai bubar, ada sejenak keheningan yang tertinggal. Bukan karena lelah, tapi tersentuh oleh perjalanan yang lebih dari sekadar fisik. Ini adalah perjalanan spiritual, sosial, dan budaya yang melintasi waktu.
Yusak menutup dengan mengutip pesan terakhir Atmowidjojo kepada M. Roesdi, "Wong ngalah iku ngarep dadi tata krama, ing mburi nginceng barang kang wingit (Mengalah bukan berarti kalah, tapi jalan menuju sesuatu yang berharga)."
Hari itu, mereka tahu bahwa legasi kretek Kudus bukan hanya pabrik dan produk, tapi juga cerita para saudagar dan dinastinya yang dibumbui pergulatan bisnis, proses kreatif, inovasi, dan nilai yang telah mereka wariskan. Semoga selalu lestari dan lekang dalam ingatan. (Imam Khanafi/E10)
