Inibaru.id - Sekitar beberapa bulan yang lalu, seorang perempuan muda melakukan tes Bahasa Inggris untuk keperluan melanjutkan jenjang pendidikan di luar negeri. Tatkala saya melihat nama di KTP-nya saat melakukan registrasi, terlihat nama yang sangat akrab bagi warga Kota Semarang, yaitu Ribut Waidi.
Tanpa pikir panjang, saya bertanya apakah dia adalah anak Ribut Waidi. Dengan sedikit berbisik, dia mengakuinya, khawatir jika sejumlah teman kuliahnya yang kebanyakan dari luar kota menyadari kalau dia punya orang tua yang sangat terkenal di Kota Atlas.
"Sejak masuk SD sampai kuliah, periksa kesehatan di puskesmas, atau sekadar bikin SKCK, semua petugasnya pasti mengajukan pertanyaan yang sama kayak yang mas ajukan tadi. Aku sendiri cuma tahu bapak dulu pemain sepak bola dan pernah dipanggil Timnas Indonesia, tapi masih nggak menyangka bapak seterkenal itu," ucapnya yang nggak mau disebut namanya kala itu.
Saya pun sampai bertanya apakah dia tahu kalau ada patung ayahnya di Pertigaan Karangrejo, Jatingaleh, dia mengiyakan dengan sedikit tertawa.
"Nggak semua anak bisa melihat ayahnya sampai dibikinin patung oleh negara, bukan?," katanya.
Melegenda di Semarang dan Tim Nasional
Generasi terkini penggemar PSIS Semarang barangkali lebih mengenal nama-nama legenda seperti Tugiyo, Ali Sunan, hingga Emmanuel de Porras. Tapi, nggak ada satu pun dari mereka yang barangkali mendapatkan penghargaan seperti Ribut Waidi yang sampai dibuatkan patung di salah satu jalan paling ramai di Kota Semarang. Tapi, jika kita menilik sepak terjang Ribut Waidi tatkala jadi pemain, hal ini sebenarnya wajar.
Lahir pada 5 Desember 1962, Ribut Waidi menjalani karier junior di PS Sukun Kudus dan PS Kuda Laut Pertamina sebelum hijrah ke PSIS Semarang sejak 1984. Delapan tahun membela Mahesa Jenar, Ribut Waidi membawa tim kebanggaan Kota Semarang jadi juara Liga Perserikatan 1987. Dia bahkan dinobatkan jadi pemain terbaik pada kompetisi musim tersebut.
Di tahun yang sama, namanya dielu-elukan seantero negeri. Gol semata wayangnya ke gawang Malaysia jadi penentu keberhasilan Timnas Indonesia meraih medali emas SEA Games 1987. Status legenda otomatis melekat kepadanya hingga akhir hayat sejak saat itu.
Lima tahun kemudian, Ribut Waidi pensiun dan sempat mengajar sepak bola di SMA N 7 Semarang sebelum bekerja di Depo Pengapon Pertamina. Pada 2012, di usianya yang baru menginjak 50 tahun, Ribut Waidi meninggal dunia. Sementara patung ini dibangun pada 2003. Bisa dibilang, ini adalah simbol cinta dan rasa terima kasih dari masyarakat Kota Semarang akan jasa-jasanya.
"Sayangnya, nggak ada satu pun dari kami, anak-anaknya, yang jadi pemain sepak bola," pungkas anak perempuannya.
Jadi, andai kamu melewati patung Ribut Waidi di pertigaan Karangrejo, Kota Semarang, kini tahu kan sehebat apa sepak terjangnya dulu saat masih aktif bermain, Millens? (Arie Widodo/E05)
