Inibaru.id - “Saudara-saudara satu dua tiga empat lima pemain Persik Kediri sudah ada di depan gawang I Komang Putra. Akan dilakukan tendangan sudut kali ini oleh Khusnul Yuli. Langsung ke depan, ke dalam gawang. Namun berhasil ditangkap oleh I Komang Putra. Penjaga gawang PSIS Semarang asal Bali ini mampu meredam serangan yang cukup taktis dari Harimau Putih pada pertandingan final Liga Djarum kali ini.”
Suara Sapto Nyono itu seakan membuka lemari ingatan saya pada final Liga Djarum 2006 antara PSIS dan Persik Kediri yang berlangsung di Stadion Manahan Solo. Meski berakhir dengan kekalahan, saya kira momen itu nggak bakal dilupakan para pendukung setia Laskar Mahesa Jenar.
Pada momen itu, Sapto tampak begitu emosional menggambarkan suasana pertandingan pemungkas tersebut. Kalau sekarang, gambarannya mungkin seperti komentator sepak bola Valentino Simanjuntak atau yang lebih dikenal sebagai Bung Jebret.
Sebelum internet ramai dan media sosial membuat bising jagat raya, nggak banyak platform informasi di Indonesia selain televisi, koran, dan radio. Nah, untuk siaran langsung sepak bola, radio menjadi andalan kedua setelah televisi.
Saya ingat, jika pertandingan PSIS nggak disiarkan di televisi, saya segera menyetel radio. Pertandingan langsung via radio nggak kalah seru, bahkan lebih menegangkan ketimbang menonton televisi. Salah satu alasannya, karena penggambaran para komentator begitu dramatis.
Sapto Nyono adalah salah seorang komentator yang begitu akrab di telinga saya. Kamu yang menjadi pendengar setia siaran langsung sepak bola di RRI Semarang mungkin akrab juga dengan suara lelaki yang kini berusia 60 tahun ini.
“Saya mulai menyiarkan PSIS sekitar 1995-an,” ujar
Sapto saat saya ditemui di rumahnya, Kamis (15/10/2020). "Pertandingan pertama saya antara Persiku melawan PSIS Semarang."
Biasanya penyiar sepak bola di RRI adalah jurnalis olahraga. Namun, nggak demikian dengan Sapto yang mengaku bahkan nggak memiliki dasar jurnalistik. Kendati demikian, dia sangat terbantu karena sebelumnya cukup aktif bermain sepak bola.
Kunci menyiarkan sepak bola adalah memahami aturan dan istilah-istilahnya, karena dia harus menceritakan sebuah pertandingan secara detail. Pun demikian dengan gambaran aktivitas pemain di lapangan yang bisa diterima pendengaran seperti “utak-atik bola”, “bola melenceng 15 meter di atas tiang gawang”, “bola dicocor keluar”, dan “ditangkap erat-erat oleh sang pejaga gawang”.
“Suasana stadion juga wajib diceritakan. Dari jumlah penonton hingga hiruk-pikuknya. Maka dari itu, suara penonton dibiarkan masuk agar atmosfer stadion masuk ke telinga penonton,” ungkapnya.
Kesuksesan Siaran Bergantung Sinyal
Sapto mengatakan, kesuksesan siaran langsung sangat bergantung pada sinyal yang ada di stadion tempat pertandingan berlangsung. Stadion Jatidiri yang menjadi markas PSIS tergolong memadai infrastrukturnya. Sinyal juga oke.
Untuk siaran, dia cukup berada di tribun khusus pewarta, lalu berbicara via pelantang kecil yang langsung masuk ke mobil pemancar sinyal yang ada di luar stadion. Siaran itu kemudian dikirim ke kantor RRI Semarang dan segera bisa didengarkan masyarakat.
Namun, ada kalanya Sapto siaran di tempat yang minim infrastruktur. Salah satu yang diingatnya adalah pertandingan antara Persema Malang versus PSIS di Stadion Gajayana, Kota Malang. Di sana, ungkapnya, sinyal cukup jelek karena berada di ketinggian.
Solusinya, dia meminjam telepon dari panitia pertandingan untuk melakukan siaran. Dia juga perlu mencari tempat terbaik agar sinyal bisa masuk dengan lancar.
“Memang dulu stadion belum sebaik sekarang. Jadi harus perjuangan,” ungkapnya.
Bagian paling menyenangkan bagi Sapto selama menjadi komentator pertandingan PSIS adalah ketika ada orang yang mengenal dirinya di luar lapangan. Yang juga membahagiakan, pada masa kejayaan radio, alih-alih nonton bareng (nobar), para suporter PSIS sering dengerin siaran bareng.
Selama berkarier, lelaki yang telah purnatugas pada 2018 itu mengaku paling emosional adalah saat menyiarkan pertandingan yang membuat PSIS kembali naik ke kasta tertinggi pada 2001. Kalau nggak salah, tahun sebelumnya PSIS terdegradasi dan membuat publik sangat kecewa.
Harus Hafal Nama Para Pemain
Seperti siaran live lain, seorang komentator sepak bola juga harus membuat pelbagai persiapan sebelum melakukan siaran langsung di lapangan. Sejawat Sapto saat siaran, Saeful Anwar, mengatakan, salah satu persiapannya adalah dengan menghafal para pemain yang akan bertanding.
Oya, selain Sapto, saya juga menemui seniornya, Saeful Anwar. Berbeda dengan Sapto, lelaki yang kini berusia 64 tahun itu menjadi komentator setelah menekuni profesi sebagai jurnalis olahraga. Masuk RRI pada 1984, semula dia menjadi penulis naskah, kemudian baru didapuk jadi komentator.
Selama melakoni profesi sebagai penyiar sepak bola live, hal penting yang selalu dipersiapkan betul adalah menghafal pemain. Tentu saja bukan menghafal nama pemain PSIS (karena sudah pasti hafal di luar kepala), tapi lawan tandingnya.
Nggak hanya nama pemain, dia juga mengaku harus memperbanyak referensi terkait formasi yang dipakai tim lawan dan siapa yang mengisi posisi-posisi tersebut. Intinya, penyiar sepak bola harus paham apa yang bakal disampaikan sebelum kick-off hingga peluit panjang dibunyikan.
Agak berbeda dengan komentator sepak bola di televisi, penyiar radio memang butuh memberikan gambaran detail pertandingan, bagaimana pemain bergerak, gimana suasana stadion, hingga emosi para pemain dan penonton.
Seorang komentator radio juga harus memilih mana yang perlu disampaikan dan mana yang nggak perlu. Informasi di luar jalannya pertandingan biasanya sangat jarang disampaikan karena memakan banyak waktu dan membuat banyak momen terlewat.
“(Penyiar radio) berbeda dengan komentator di televisi, karena (di televisi) semua orang bisa menonton sendiri,” kata dia.
Saeful menambahkan, selain memperhatikan detail, seorang penyiar sepak bola live juga harus fleksibel, tanggap situasi, dan tahan banting. Menurutnya, banyak ketidakpastian saat pertandingan berlangsung. Menjadi penyiar sepak bola live, akunya, nggak sekadar nonton bola, lalu berkomentar.
“Saya dan Sapto sering siaran di tengah-tengah penonton cuma pakai telepon,” kenang lelaki yang pensiun pada 2012 tersebut.
Menyamar Jadi Suporter Lawan
Kondisi suporter sepak bola Tanah Air yang nggak kunjung dewasa waktu itu perlu betul-betul diwaspadai Saeful selama bertugas. Kerusuhan suporter sebagai buntut ketidakdewasaan itu nggak sekali-dua kali dihadapinya.
Pengalaman berada di tengah kerusuhan yang paling diingat Saeful adalah ketika PSIS Semarang bertandang ke Persijap Jepara di Stadion Kamal Junaedi pada 2006. Dia mengenang, saat kerusuhan terjadi, dia langsung berlari ke kubu tuan rumah dan menyamar menjadi suporter Persijap.
“Wah, itu ngeri! Saya pulang sampai ganti plat nomor dulu,” kisahnya.
Yang saya ingat, kerusuhan Persijap dengan PSIS itu berbuntut panjang. Perseteruan kedua suporter terus dikobarkan dan baru berakhir beberapa tahun terakahir setelah keduanya sepakat melakukan gencatan senjata.
Selain cerita pahit, ada juga kisah manis. Bagi Saeful, Final Liga Djarum 2006 adalah momen paling berkesan. Kala itu PSIS melakoni laga pemungkas melawan Persik Kediri di Stadion Manahan Solo. Hasil akhir, PSIS kalah, tapi pertandingan berlangsung seru dan atmosfer stadion sungguh riuh. Wah!
Kini Saeful sudah gantung mic. Era keemasan radio juga sudah tinggal kenangan. Namun, bukan berarti Saeful nggak lagi berkarya. Belum lama ini dia menjadi komentator untuk Youtube PSSI Jateng dan streaming PSIS Semarang.
Kendati sudah nggak lagi siaran, rentetan kalimat runtut dan panjang saat menggambarkan keriuhan laga PSIS Semarang agaknya bakal terus dikenang. Kamu juga punya kesan khusus terhadap mereka, Millens? (Audrian F/E03)