BerandaHits
Minggu, 9 Agu 2025 17:10

Cermin Digital yang Menjerat, Saat AI Jadi 'Teman' yang Terlalu Dekat

Ketergantungan terhadap AI dikhawatirkan memicu ikatan emosi yang berlebihan. (via Rupa AI)

Di balik kecanggihan ChatGPT, ada sisi rapuh yang jarang dibahas yaitu keterikatan emosional berlebihan hingga realitas mulai kabur. Fenomena ini mengintai ratusan ribu pengguna di Indonesia.

Inibaru.id - Menjelang pertengahan 2025, OpenAI bikin gebrakan kecil yang sebenarnya menyimpan makna besar. ChatGPT sekarang bisa “menegur” halus kalau obrolan kita terlalu lama, menahan diri menjawab pertanyaan pribadi, dan bahkan menyarankan bantuan manusia kalau menangkap sinyal emosional berat di sisi pengguna.

Di permukaan, ini cuma tambahan fitur. Tapi di baliknya, ada kesadaran bahwa AI yang setia menemani bisa berubah jadi cermin. Ia memantulkan kecemasan, delusi, atau kesepian hingga makin mengeras di kepala penggunanya.

Sebenarnya, penelitian sudah lama memberi alarm. April 2025, tim Stanford menemukan chatbot bisa tanpa sadar memberi saran yang justru mendorong orang makin dekat ke tepi jurang, bahkan sampai “memberi daftar jembatan” pada pengguna yang ingin bunuh diri.

Juli 2025, tim King’s College London mengingatkan, AI yang “selalu mengiyakan” bisa menguatkan keyakinan yang sudah jauh melenceng dari realitas.

Memicu Delusi

Pengguna bisa kesulitan membedakan realita. (via Surabayanet)

Marlynn Wei, psikiater asal AS saat diwawancara Time, memberi istilah AI psychosis. Bukan diagnosis resmi, tapi cukup pas menggambarkan keterikatan emosional yang begitu dalam pada AI hingga realitas mulai kabur. Søren D. Østergaard bahkan sejak 2023 sudah menulis bahwa interaksi terlalu “hidup” dengan AI bisa memicu delusi pada orang dengan kerentanan psikotik.

Dari data analisis percakapan global, ada empat tipe kerentanan yang patut diwaspadai. Pertama, romantis–immersif, saat AI jadi “pasangan batin” dan sumber afeksi. Kedua, mentoring emosional eksklusif, di mana AI jadi satu-satunya kompas moral. Ketiga, fantasi heroik alias misi mesianik, ketika pengguna yakin AI memberinya tugas menyelamatkan dunia. Dan terakhir, konsultasi personal harian tanpa filter, saat setiap keputusan mulai dari hal sepele sampai serius ditentukan mesin.

Angkanya? Secara global, 6–8 persen pengguna ChatGPT tergolong rentan. Angka ini setara 10–16 juta orang. Dari situ, 3–4 persen berasal dari Indonesia, atau sekitar 300 ribu hingga 600 ribu orang.

Gejalanya kadang samar. Bisa saja sekadar merasa “kosong” saat nggak mengobrol dengan AI, mulai menganggapnya mengerti secara personal, atau malah menjauh dari manusia karena lebih nyaman curhat ke layar. Wei memberi patokan sederhana: waspadai kalau durasi interaksi makin panjang dan bikin resah saat terputus, kalau narasi tentang AI di kepala terdengar seperti tentang teman atau pasangan, atau kalau obrolan dengan AI mulai menggantikan interaksi nyata.

Teknologi memang bisa jadi jendela ilmu, bengkel ide kreatif, bahkan cermin refleksi. Tapi ia bukan jiwa yang hidup. AI nggak punya nadi, ingatan bersama, atau cinta yang bisa memberi dan menerima seperti manusia.

Yang menjaga kewarasan kita adalah tatapan mata, sentuhan hangat, tawa bersama, dan keheningan reflektif antar manusia. AI boleh membantu kita berpikir dan menemukan kata, tapi jangan sampai ia menggantikan ruang pertemuan dengan sesama dan dengan diri kita sendiri.

“Mesin bisa menemani, tapi jiwa hanya bertemu di antara manusia.”

Maka, sebelum obrolan kita dengan AI berubah jadi jerat tak kasatmata, yuk ambil jeda sejenak. Cari lagi deh tawa bareng teman, obrolan hangat di warung kopi, atau tatap muka yang bikin hati terasa penuh. Karena pada akhirnya, teknologi cuma alat, dan yang membuat hidup benar-benar terasa adalah hubungan yang lahir dari sesama manusia. Setuju, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: