BerandaHits
Kamis, 12 Jun 2025 14:11

'Tumbal' Teknologi AI: Krisis Air dan Ledakan Emisi

Penulis:

'Tumbal' Teknologi AI: Krisis Air dan Ledakan EmisiSiti Khatijah
'Tumbal' Teknologi AI: Krisis Air dan Ledakan Emisi

Cara kerja sistem cooling tower di pusat data Google di St Ghislain, Belgia. (Datacenters.google)

Tanpa langkah antisipasi yang tepat, miliaran meter kubik air per tahun diperkirakan akan diperlukan sebagai 'tumbal' teknologi AI pada 2027; yang nilainya setara dengan kebutuhan air selama empat tahun di Denmark.

Inibaru.id - Sebuah riset di University of California Riverside menemukan bahwa satu sesi tanya jawab atau sekitar 10-50 pertanyaan dalam platform kecerdasan buatan (AI) nyaris menghabiskan 2 liter air. Kebutuhan air ini digunakan untuk mendinginkan pusat data melalui cooling tower.

Pada 2027, kebutuhan air untuk melepas "dahaga" seluruh teknologi berbasis AI di dunia diperkirakan akan mencapai 4,2-6,6 miliar meter kubik per tahunnya. Kurang lebih ini setara dengan kebutuhan air di Denmark selama empat tahun, menurut penelitian yang dipublikasikan Cornell University.

Sedikit gambaran, untuk ukuran rata-rata di Indonesia, data center berpendingin air yang mengandalkan menara pendingin memerlukan listrik sebanding 1.000 rumah dan menghabiskan air hingga 26 juta liter per tahun per MW kapasitas .

Ya, di balik layar kecanggihan teknologi AI, terdapat ironi besar dan dampak lingkungan yang tampak menganga: jutaan liter air dan energi diperlukan sebagai tumbal untuk mendinginkan pusat data mereka. Inilah yang acap nggak disadari oleh kita, para pengguna teknologi ini.

Kebutuhan Air yang Luar Biasa

Pernahkah kamu iseng menggunakan ChatGPT untuk sekadar lucu-lucuan atau curhat nggak penting, bahkan menambahkan kata "terima kasih" setelah prompt yang kamu berikan mendapatkan respons yang memuaskan? Terlihat sederhana, tapi sejatinya secara nggak langung kamu telah menghamburkan air di bumi.

Perlu kamu tahu bahwa data center AI membutuhkan air dalam volume raksasa. Menurut Investopedia, pelatihan model besar dapat menguapkan hingga 185.000 galon atau sekitar 700.000 liter air per sesi. Angka itu akan lebih besar saat musim panas.

Situasi ini menjadi semakin memprihatinkan jika data center ditempatkan di wilayah yang rawan kekeringan. Virginia, misalnya, tengah menyusun regulasi untuk menuntut estimasi penggunaan air di pusat data karena kekhawatiran tersebut.

Pada 2024 lalu, Times melaporkan, protes dan tekanan hukum sempat muncul Di Texas dan Chile terkait rencana pendirian pusat data sementara krisis air saat itu tengah terjadi. Protes terhadap Google juga sempat dilayangkan oleh para aktivis di Santiago, Ibu Kota Chile, meminta mereka mengubah sistem pendinginan air ke udara.

Pusat Data yang Haus Air

Salah seorang pekerja di pusat data Google yang berada di Douglas County, Georgia, AS. (Datacenters.google)
Salah seorang pekerja di pusat data Google yang berada di Douglas County, Georgia, AS. (Datacenters.google)

Pusat data adalah inti dari teknologi digital, termasuk AI; karena di situlah data diproses dan sistem dijalankan. Server di pusat data yang beroperasi terus-menerus bisa membuat suhu ruangan naik. Jika terlalu tinggi, perangkat bisa melambat atau rusak.

Nah, untuk mencegah overheating, pusat data membutuhkan sistem pendingin yang stabil, efisien, dan beroperasi 24/7. Sistem pendingin ini biasanya menggunakan cooling tower yang berbasis air. Sistem ini bekerja dengan prinsip penguapan.

Air panas dari sistem pendingin server (biasanya berupa cairan yang menyerap panas dari server) dipompa ke bagian atas cooling tower, lalu disiram ke dalam menara melalui nozel hingga menyebar ke area yang lebih luas untuk mendinginkan ruangan.

Karena menguap, air yang digunakan nggak akan sepenuhnya kembali. Maka, pusat data harus terus-menerus menyedot suplai air baru dari sumber-sumber yang ada di sekitar kawasan pusat data. Kebutuhannya pun luar biasa, yang bahkan bisa mengakibatkan kekeringan di wilayah sekitarnya. Inilah yang mengkhawatirkan.

Emisi Karbon dan Limbah Elektronik

Nggak cuma air, penggunaan listrik dari data center juga menyumbang karbon dioksida (CO₂) yang cukup besar. Perusahaan seperti Amazon, Microsoft, Alphabet, dan Meta mencatat kenaikan emisi nggak langsung hingga 150 persen selama periode 2020–2023, yang diyakini karena meningkatnya aktivitas operasi AI.

Sektor digital, termasuk di dalamnya pusat data, menyumbang 2–4 persen emisi global. Ini belum termasuk emisi dari penggunaan listrik dunia yang tentu saja meningkat. Diperkirakan, emisi AI global akan mencapai 245 juta ton CO₂ per tahun pada 2035.

Lebih jauh dari itu, ekspansi pesat AI berarti perangkat keras seperti chip dan server akan cepat usang. Artinya, akan ada lebih banyak limbah elektronik yang dihasilkan oleh teknologi ini.

Teknologi AI diperkirakan akan menghasilkan 1,2–5 juta ton limbah yang dikenal sebagai e-waste itu pada 2030 atau setara 12 persen dari total e-waste dunia. Ini belum termasuk bahan mentah yang diperlukan dalam proses produksi chip dan perangkat keras lain untuk kebutuhan AI. Wah!

Harus diakui, kecerdasan buatan adalah sebuah lompatan besar dalam dunia teknologi. Namun, perlu dipahami bahwa dalam prosesnya, teknologi ini juga membebani bumi. Menurutmu, adakah hal yang kita bisa lakukan untuk mengurangi beban ini? (Siti Khatijah/E07)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved