Inibaru.id - Keberadaan kecerdasan buatan atau kini juga disebut "akal imitasi" (artificial intelligence/AI) diakui Rofiudin cukup membuatnya kewalahan. Di usianya yang baru saja menginjak kepala empat, menyamai kecepatan para gen-Z yang menjadi rekan kerjanya di kantor bukanlah pekerjaan mudah.
"Digitalisasi dalam banyak hal saja sudah bikin saya harus berpikir keras. Sekarang saya berhadapan dengan AI. Bohong kalau saya nggak kewalahan!" serunya, Senin (9/6/2025).
Sebagai teknisi di sebuah perusahaan manufaktur raksasa di Kota Semarang, kemampuan beradaptasi dengan teknologi terbaru adalah sebuah keharusan. Meski tertatih, lelaki asal Kabupaten Temanggung itu bukannya nggak mau belajar.
"Saya belajar. Pelan-pelan. Tapi, semakin mendalami, sejujurnya saya ngeri sendiri. Suatu hari, teknisi seperti saya pasti akan tergantikan oleh kecerdasan buatan ini. Selain itu, literasi digital kita yang masih buruk juga berpotensi merugikan. Menurut saja, pemerintah harus bikin regulasi terkait hal ini," ungkapnya.
Digitalisasi yang Inklusif
Regulasi yang dimaksud Rofi, sapaan akrab ayah tiga anak ini, adalah pemerataan pengetahuan terkait hal ini. Digitalisasi yang inklusif, lanjutnya, memungkinkan seluruh masyarakat untuk mempunyai kesempatan andil dalam perkembangan kecerdasan buatan ini.
"Saya beruntung karena tinggal di kota besar dan sehari-hari punya kesempatan bersinggungan langsung dengan dunia digital. Tapi, gimana dengan yang tinggal di daerah? Jangan sampai AI cuma jadi lucu-lucuan bikin gambar atau video dari prompt hasil copas di medsos!" keluhnya.
Regulasi terkait akal imitasi sebetulnya pernah dibahas secara global kisaran awal tahun ini dalam ajang "AI Action Summit" di Paris. Berlangsung pada 10–11 Februari 2025, lebih dari 58 negara termasuk Indonesia, menandatangani Statement on Inclusive and Sustainable Artificial Intelligence for People and the Planet.
Kendati resolusi ini mengundang penolakan dari Amerika Serikat dan Inggris karena dianggap terlalu ketat, Indonesia memilih tetap membela dan mendorong regulasi inklusif serta berkeadilan terkait kecerdasan buatan tersebut.
Komitmen Indonesia

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menegaskan bahwa kehadiran Indonesia di forum Global Partnership on AI (GPAI) sebagai bentuk upaya menjembatani kepentingan negara berkembang dan maju.
"Ini mencerminkan kepentingan negara berkembang," ujarnya di Paris, 9 Februari 2025, sebelum menegaskan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memastikan semua pihak merasakan manfaat AI secara inklusif, terutama sektor UMKM dan masyarakat akar rumput.
Komitmen ini nggak hanya berupa pelatihan atau pengenalan kecerdasan buatan di kalangan masyarakat, tapi juga wadah, dan aturan yang berlaku. Ini merujuk pada Surat Edaran Menkominfo No. 9/2023 terkait pedoman etika AI di dalam negeri, yang berlandaskan prinsip 3P, yakni Policy, Platform, dan People.
Sebelumya, Kementerian Kebudayaan melalui Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) sempat meluncurkan AI Readiness Assessment Methodology (RAM AI) untuk mengukur kesiapan nasional, berlandaskan Rekomendasi Etika AI UNESCO 2021.
Kecerdasan Buatan dan Hak Cipta
Pada Forum TechTalk AI di Jakarta pada 23 November 2024, ditegaskan bahwa etika AI di Indonesia harus bernapaskan Pancasila. Artinya, keberadaan AI harus menjunjung kemaslahatan, keamanan, akuntabilitas, dan perlindungan hak cipta.
Terkait hak cipta, Direktur Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Agung Damarsasongko dengan tegas menyatakan bahwa karya AI murni tanpa intervensi manusia nggak memenuhi hak cipta. Pertanyaannya, bisakah kita membedakan karya autentik dengan buatan AI itu?
Lebih dari itu, kendati upaya inklusif terus digalakkan, praktik di lapangan rupanya nggak bisa semudah itu dilakukan. Wakil Menkominfo Nezar Patria mengatakan, pelatihan etika AI perlu diperluas ke daerah, mengingat banyak bahasa daerah rentan disalahgunakan tanpa literasi yang cukup.
Masih banyak tantangan yang harus dihadapi, termasuk implementasi Deklarasi Paris yang ditandatangani Indonesia untuk mendorong AI yang inklusif, berkelanjutan, humanis, dan terbuka, sekaligus memastikan AI nggak memperburuk ketimpangan, polusi iklim, atau kerentanan sosial.
Semua "pekerjaan rumah" terkait etika AI itu harus segera terselesaikan untuk mencapai revolusi digital yang inklusif di Indonesia. Menurutmu, langkah konkret apa yang bisa dilakukan pemerintah dalam waktu dekat? (Siti Khatijah/E07)