Inibaru.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) menyoroti pemberitaan media online terkait ASEAN Queer Advocacy Week yang dinilai diskriminatif dan mengamplifikasi narasi kebencian.
Dalam hasil pemantauan terhadap media daring, terungkap bahwa sejumlah media mengabaikan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman dengan menggunakan kutipan narasumber yang berisi narasi kebencian dan ancaman.
Beberapa pemberitaan juga tidak mempertimbangkan prinsip Hak Asasi Manusia dan keberagaman gender serta lebih banyak memuat pernyataan dari otoritas resmi yang menyerukan sikap anti-LGBTIQ.
Dampaknya, penyelenggara ASEAN Queer Advocacy Week memutuskan untuk memindahkan lokasi acara yang semula di Jakarta karena menerima serangkaian ancaman keamanan dan keselamatan dari pihak anti-LGBTIQ.
Arus Pelangi, penyelenggara acara tersebut, menghadapi ancaman pembunuhan melalui media sosial dan serangan massal terhadap akun media sosial mereka. Akibatnya, identitas penyelenggara dan akun pribadi pegiat Arus Pelangi tersebar luas di media sosial.
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Ika Ningtyas menegaskan bahwa media online gagal memberikan ruang aman bagi kelompok gender minoritas dan seharusnya menghindari mengamplifikasi narasi kebencian.
Dia mendesak media massa untuk menulis berita yang inklusif terhadap kelompok minoritas LGBTIQ, menghormati keberagaman, dan menggunakan perspektif hak asasi manusia sesuai prinsip Deklarasi Universal HAM.
"Sebaliknya, media harus lebih kritis, menjunjung keberagaman dan menghormati bahwa setiap orang memiliki hak untuk berkumpul, menggelar rapat, dan berserikat yang diselenggarakan untuk maksud damai seperti yang dijamin oleh konstitusi," kata Ika Ningtyas.
Manajer Advokasi SEJUK, Tantowi Anwari menekankan bahwa jurnalis dan media massa harus mempelajari latar belakang peristiwa terkait isu keberagaman dan tidak memperkuat suara-suara yang mengajarkan kebencian. Perusahaan media massa juga harus mengakui HAM sebagai dasar kebijakan bisnis mereka dan menjaga prinsip anti-diskriminasi.
“Penting bertanggung jawab melalui pemberitaan yang tidak meminggirkan minoritas LGBTIQ yang berujung pada kekerasan dan persekusi,” ujar Thowik, panggilan akrab Tantowi Anwari.
Temuan dari pemantauan media massa oleh AJI, SEJUK, dan Arus Pelangi menunjukkan bahwa sejumlah media online cenderung diskriminatif terhadap kelompok LGBTIQ menjelang Pemilihan Umum 2024, yang berpotensi memperparah persekusi dan kekerasan terhadap LGBTIQ.
Selain itu, platform media sosial seperti Twitter juga masih menjadi ruang yang memperkuat narasi kebencian pada kelompok LGBTIQ menjelang ASEAN Queer Advocacy Week.
Aliansi Jurnalis Independen Indonesia dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman menekankan perlunya platform media sosial menjadi lebih proaktif dalam mencegah penyebaran narasi kebencian yang mendiskriminasi kelompok rentan. Mereka menyerukan perubahan kebijakan moderasi konten yang lebih inklusif dan proaktif dalam melindungi kelompok rentan.
Hm, gimana menurutmu? Apakah media massa ikutan mendiskriminasi kelompok minoritas LGBT, Millens? (Siti Zumrokhatun/E10)
