Inibaru.id — Pagi itu, udara Magelang terasa sejuk. Saya bergabung dengan puluhan orang lain di titik kumpul yang telah ditentukan. Dari wajah-wajah mereka, tampak jelas antusiasme untuk menapaki lorong-lorong sejarah salah satu kota tertua di Indonesia tersebut.
Inilah pengalaman saya mengikuti walking tour bersama Mlaku Magelang, sebuah komunitas yang mengajak masyarakat lebih dekat dengan sejarah dan budaya lokal melalui berjalan kaki. Komunitas ini didirikan pada 2022 oleh Candra Gustava Wardana, yang akrab disapa Gus Wista.
Dengan latar belakang kecintaannya pada sejarah dan dunia pariwisata, Gus Wista ingin menawarkan cara sederhana namun bermakna untuk mengenalkan Magelang: berjalan kaki sambil mendengar cerita; karena menurutnya, tiap hal yang kita temui selalu punya cerita sendiri-sendiri.
“Saya mendirikan Mlaku Magelang untuk menemani teman-teman yang ingin mengenal sejarah kota ini lewat berjalan kaki,” ujarnya di sela-sela tur, "karena bangunan tua, jalan, atau ruang publik di Magelang ini bukan sekadar benda mati, melainkan 'ruang cerita' yang menyimpan lapisan peristiwa dan makna."
Sejak berdiri, Mlaku Magelang rutin menggelar walking tour dengan tema beragam. Mulai dari kisah kolonial, perdagangan cerutu, arsitektur, hingga pluralitas kehidupan kota. Bahkan, tur juga disediakan dalam bahasa Inggris untuk menjangkau wisatawan mancanegara.
Salah satu kegiatan terbaru berlangsung pada awal Agustus lalu bertajuk Cerita Kudus Tuwa Melanglang Magelang; menjadi kolaborasi napak tilas antara pegiat sejarah Kudus dengan Magelang, yang diwakili Mlaku Magelang.
Rangkaian tur dimulai pukul 08.00 WIB di Museum BPK RI. Peserta disambut hangat dengan welcome drink sebelum diajak menyusuri kisah lahirnya lembaga keuangan negara. Dari museum tersebut, perjalanan berlanjut ke bangunan penting di kompleks bekas Karesidenan Kedu.
Untuk yang belum tahu, Karesidenan Kedu merupakan satuan administrasi pada masa pemerintahan kolonialisme Hindia-Belanda yang wilayahnya kira-kira meliputi Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Temanggung, Purworejo, Wonosobo, dan Kebumen.
Selain jejak bangunan kompleks karesidenan yang mulai dibubarkan sekitar dekade 1950-an itu, kami juga menyusuri bekas gedung UGM cabang Magelang, kemudian dilanjutkan ke bangunan yang dulu berdiri lembaga sosial peninggalan Belanda, Panti Asuhan Johannes van der Steur, sekitar pukul 10.15 WIB.
Setelah 30 menit mendengarkan cerita kemanusiaan yang melatari bangunan tersebut, rombongan kembali bergerak menelusuri simbol pluralitas kota ini seperti eks Bioscoop Alhambra, Gedung Gemeenteraad, Kantor Dukcapil, Gereja Santo Ignatius, Gereja GPIB Beth-El, Taman Aloon-Aloon & Watertoren, Lokabudaya Soekimin Adiwiratmoko, hingga Masjid Agung Magelang.
Tepat pada jam makan siang, kami singgah di warung legendaris di Magelang yakni Sop Senerek Bu Atmo. Selepas itu, perjalanan dilanjutkan ke Makam Johannes van der Steur, lalu ke toko oleh-oleh khas Magelang. Kurang lebih pukul 14.00, rombongan kembali ke Kudus, menutup perjalanan penuh cerita hari itu.
Yang membuat Mlaku Magelang istimewa bukan hanya daftar destinasi yang dikunjungi, melainkan cara Gus Wista merangkai kisah. Ia piawai menghidupkan kembali fragmen masa lalu—tentang perdagangan cerutu yang pernah jaya, tentang arsitektur kolonial yang anggun, hingga tentang pluralitas yang tercermin dari rumah ibadah berbagai agama.
Nggak hanya dari Magelang dan Kudus, tur ini juga diminati para peserta dari Yogyakarta, Surabaya, hingga Jakarta. Bahkan, beberapa kali mahasiswa asing ikut serta, menjadikan tur ini sebagai ruang perjumpaan lintas budaya.
Meski tantangan seperti mendung atau hujan deras kadang menghentikan langkah, semangat Mlaku Magelang nggak ikut meredup. “Magelang punya terlalu banyak cerita untuk dibiarkan hilang begitu saja,” kata Gus Wista seusai tur, lalu tertawa.
Bagi saya, berjalan kaki mengikuti tur Mlaku Magelang seperti perjalanan merajut kembali hubungan dengan kota; menyingkap lapis-lapis sejarah di sudut sempit atau bongkahan bangunan yang sering luput dari perhatian. Kisah-kisah di balik kepingan sejarah itu menjadikan Magelang bukan hanya kota, tapi kehidupan.
Mlaku Magelang berhasil membuktikan bahwa kota bukan hanya ruang untuk ditinggali, melainkan juga ruang yang menyimpan estetika, sejarah, dan identitas bersama. Namun, tentu saja butuh kejelian seperti komunitas ini untuk menarasikan ceritanya. (Imam Khanafi/E10)
