Inibaru.id – Baru saja tiba di Jalan Diponegoro Magelang, langkah saya terhenti di bangunan berarsitektur kolonial yang sepertinya sudah cukup tua. Seperti rumah hunian seseorang di masa lalu dengan dinding tebal bercat putih dan jendela besar bergaya Eropa-nya.
Lama saya mengamati eksterionr gedung yang kemudian saya ketahui sebagai Museum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut sebelum akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke dalamnya. Sebagaimana kebanyakan museum di Indonesia, suasananya gedung ini juga cenderung sepi.
Untuk yang sedang mencari ketenangan, berkunjung ke tempat ini mungkin bisa kamu jadikan sebagai salah satu referensi. Sepi dan tenang, serta dalam naungan pepohonan rindang di halamannya, membuat hawa Magelang yang sejuk terasa semakin kentara di sini.
Sebelum memasuki gedung ini, saya membayankan suasana di dalamnya bakal muram, dipenuhi benda mati, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun, saya ternyata keliru. Di dalamnya ada narasi yang hidup, cerita yang mengalir, dan ingatan yang berdenyut di balik koleksi yang dipamerkan.
Saya masuk bersama Cahyo, lelaki yang akan memandu kami selama di dalam museum. Dengan senyum ramah, dia menawarkan diri untuk menemani berkeliling.
“Museum ini bukan sekadar memamerkan koleksi, tapi juga merekam perjalanan panjang sebuah lembaga negara yang lahir di kota ini,” katanya sambil melangkah perlahan menuju ruang pertama.
Di ruang awal, sebuah panel besar bertuliskan “Titik Nol” menyambut pengunjung. Cahyo menjelaskan, di sinilah, tepat pada 1 Januari 1947, BPK kali pertama berdiri, dengan tugas utama sebagai organisasi negara untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Namun, BPK hanya setahun berkantor di Magelang, karena pada 1948 dipindahkan ke Yogyakarta. Meski singkat, jejak itu nggak bisa dilepaskan dari kota ini, karena gagasan awal tentang akuntabilitas publik di tengah kondisi republik yang masih rapuh pasca-proklamasi, tetaplah bermula dari sini.
Di ruang itu juga terpajang wajah-wajah para ketua BPK dari masa ke masa. Namun, alih-alih kaku dengan biografi resmi, narasi yang dibangun justru memperlihatkan sisi manusiawi mereka. Bagaimana mereka meniti jalan panjang membangun lembaga, menghadapi tantangan politik, hingga menjaga integritas di tengah pusaran sejarah bangsa. Sejarah di sini hadir bukan sekadar angka dan data, tapi juga wajah dan cerita.
BPK mungkin dikenal sebagai lembaga yang berurusan dengan angka, laporan, dan neraca. Tetapi di museum ini, sisi humanisme para tokoh yang pernah memimpin dan bekerja di dalamnya ikut ditampilkan. Ada kisah tentang bagaimana mereka menjaga integritas, ada pula cerita tentang dilema moral ketika keputusan harus diambil.
Cahyo menyebut, museum ini ingin pengunjung melihat bahwa BPK dibentuk bukan oleh mesin, melainkan manusia dengan segala nilai dan perjuangannya. Pada titik inilah museum nggak hanya menjadi ruang penyimpanan benda, melainkan juga cermin tentang bagaimana bangsa ini berusaha jujur pada dirinya sendiri.
Museum ini tidak hanya memelihara masa lalu, tetapi juga merangkul peristiwa kontemporer. Salah satu ruang khusus didedikasikan untuk SAI-20 (Supreme Audit Institution 20), forum auditor negara anggota G20 yang lahir di Bali pada Agustus lalu.
Ruang itu dipenuhi simbol-simbol peristiwa: replika palu sidang, pin, nomor kendaraan delegasi, hingga deretan bendera negara peserta. Sebuah layar menayangkan video dokumentasi yang memperlihatkan bagaimana Indonesia, melalui BPK, dipercaya menjadi ketua pertama SAI-20.
“Ini bukan sekadar koleksi benda, tapi pengingat bahwa Indonesia pernah memimpin sebuah forum internasional yang memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas global,” tutur Cahyo.
Dengan demikian, museum ini menghadirkan kesinambungan: dari Magelang 1947 hingga Bali 2022, dari titik nol hingga panggung dunia.
Berbeda dengan banyak museum lain yang sering dipandang kaku, Museum BPK terasa hangat dan ramah. Narasi yang dibangun bukan hanya soal data, melainkan juga peristiwa dan manusia. Ada ruang interaktif yang membuat pengunjung tidak hanya membaca, tetapi juga merenung.
Sejarah selalu hadir sebagai “fragmen-fragmen ingatan” yang perlu dirangkai kembali. Museum BPK dalam hal ini bekerja sebagai perakit fragmen, menyatukan potongan-potongan memori institusional dan mempresentasikannya dalam bentuk yang mudah dipahami publik.
Untuk masuk Museum BPK, saya nggak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun alias gratis. Museum ini terbuka setiap Selasa-Minggu mulai pukul 09.00 hingga 15.00 WIB. Di sinilah letak nilai humanismenya museum ini, yakni ketika pengetahuan dan sejarah diberikan sebagai hak publik, bukan komoditas.
Setelah lebih dari satu jam berputar-putar di dalam museum, kepala saya dipenuhi cerita tentang perjalanan BPK dari dulu hingga sekarang. Sebagai ibu kadung dari badan keuangan yang kita miliki sekarang, menurut saya nggak masalah jika selain Seribu Bunga, kota ini juga dijuluki sebagai Kota BPK, ya?
Museum BPK RI di Magelang bukan hanya ruang pajang benda, tetapi sebuah ruang kesadaran. Ia mengingatkan kita bahwa transparansi dan integritas bukanlah jargon kosong, melainkan perjuangan panjang yang ditulis dengan kerja keras manusia.
Dalam senyapnya bangunan kolonial itu, ada gema pesan: sebuah bangsa yang besar bukan hanya yang mampu membangun gedung tinggi atau jalan raya, melainkan yang mampu menjaga ingatan, belajar dari sejarah, dan terus mengupayakan kejujuran. (Imam Khanafi/E10)
