Inibaru.id – Bangunan bercorak kolonial itu berdiri kokoh di Jalan Diponegoro No 1, Kota Magelang. Dari kejauhan, kesan megah sekaligus anggun langsung terasa. Halamannya luas, berpagar rindang, dengan sebentuk patung meriam yang berdiri tegak di depannya.
Sekilas, ia tampak seperti rumah dinas Belanda pada umumnya. Namun, siapa sangka, di balik dinding-dindingnya tersimpan sebuah peristiwa besar yang mengubah alur sejarah di Pulau Jawa, yakni penangkapan Pangeran Diponegoro.
Di rumah itulah pemimpin Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun lamanya itu diajak berunding oleh Jenderal De Kock pada 1830. Namun, alih-alih menghasilkan kesepakatan, pertemuan justru berakhir dengan satu tipu muslihat yang berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro.
Diponegoro diringkus, lalu diasingkan. Peristiwa yang nggak mungkin dilupakan masyarakat Jawa itu sekaligus mengakhiri perang yang berlangsung sejak 1825, meninggalkan luka mendalam dalam perjalanan bangsa.
Kini, bangunan bersejarah tersebut telah beralih fungsi menjadi Museum Diponegoro. Resmi dibuka oleh Presiden Sukarno pada 1969, museum ini menyimpan berbagai peninggalan sang Pahlawan Nasional, mulai dari benda pribadi, naskah, hingga kisah-kisah heroik yang melatari perjuangannya.
Sandaran Tangan yang Tergurat Kuku
Sunaryo, penjaga Museum Diponegoro menjelaskan bahwa bangunan ini awalnya adalah rumah dinas Jenderal De Kock yang dibangun pada kisaran 1810. Sebelum dijadikan sebagai museum, gedung tersebut lebih dulu difungsikan sebagai Kantor Karesidenan Kedu.
Salah satu koleksi paling berharga di sini adalah empat kursi asli yang digunakan saat perundingan Pangeran Diponegoro dengan Jenderal De Kock. Kursi yang dulu diduduki Diponegoro disimpan dalam lemari kaca, dijaga ketat dari tangan jahil pengunjung.
Pada sandaran tangan di kursi itu terdapat guratan kuku, yang dipercaya sebagai tanda kemarahan putra sulung Hamengkubuwana III ini ketika menyadari tipu daya yang tengah dilancarkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
“Itu sebabnya kursi ini dianggap sebagai saksi bisu sekaligus simbol pengkhianatan,” tutur Sunaryo.
Jubah, Cangkir, dan Kenangan Perjuangan
Selain kursi, museum ini juga menyimpan jubah asli Pangeran Diponegoro yang digunakan selama Perang Jawa, termasuk ketika sang Pangeran menghadiri perundingan dengan Belanda. Jubah tersebut terbuat dari kain santung yang berasal dari Tiongkok; berukuran panjang 170 sentimeter dan lebar 120 sentimeter.
Tak hanya itu, ada pula tujuh cangkir yang biasa dipakai Diponegoro untuk menyeduh kopi atau teh jahe kesukaannya; serta air putih, baik mentah maupun matang, yang juga menjadi kegemarannya. Bersama dengan perabot tersebut adalah sebuah kendi yang diyakini memiliki “khasiat ganda”.
"Kendi ini digunakan untuk memberi minum lebih dari seratus pasukan selama perang," terang Sunaryo. "Dulu digunakan di Goa Selarong, Yogyakarta, yang jadi markas Pangeran Diponegoro selama melawan penjajahan."
Koleksi selanjutnya adalah beberapa lukisan penting, termasuk potret Diponegoro pada usia 35 tahun yang dilukis seniman Belanda bernama Mr Junet serta karya ikonik dari maestro Raden Saleh yang menggambarkan penangkapan dan pengasingan sang pahlawan.
Lukisan-Lukisan Ikonik
Di samping kedua karya legendaris tersebut, ada pula lukisan terkenal seperti Diponegoro yang digambarkan begitu dramatis saat berperang melawan Belanda di Bukit Menoreh dekat Borobudur, serta adegan dirinya menunggang kuda Ki Gentayu saat menyeberangi Sungai Progo.
"Lukisan-lukisan ini tak hanya berfungsi sebagai dokumentasi visual, tetapi juga pengingat betapa gigihnya perjuangan Pangeran Diponegoro dalam menentang penjajahan," sebut Sunaryo.
Sebagaimana kebanyakan bangunan tua, memasuki museum ini kamu akan menemukan berbagai furnitur dari kayu yang desainnya klasik dan tampak berumur, tapi masih terlihat kokoh serta terawat dengan baik. Salah satunya adalah bale-bale sederhana dari kayu berbentuk persegi berukuran cukup lebar.
Berdasarkan keterangan yang tertera di atasnya, bale berlandaskan tikar anyaman yang diletakkan di satu ruangan terpisah tersebut biasa digunakan Diponegoro untuk salat. Sunaryo mengungkapkan, bale ini erat kaitannya dengan masa mudanya ketika dia nyantri pada Kiai Muhammad Safi’i di Gombong, Kebumen.
Narasi Lengkap Perjalanan Diponegoro
Semasa hidup, Diponegoro dikenal sebagai muslim yang taat dan disanjung sebagai ulama masyhur yang dekat dengan masyarakat. Dia juga suka membaca serta paham hukum Islam dan Jawa. Hidupnya akrab dengan buku dan kitab, termasuk Kitab Takrib yang terpajang di museum ini.
Kitab hukum Islam sekaligus siasat perang yang ditulis oleh Kiai Nur Imam dan diterjemahkan oleh Kiai Pelangi dari Yogyakarta itu diyakini sebagai salah satu rujukan intelektual Diponegoro untuk menggabungkan unsur spiritualitas dalam strategi perang selama memperjuangkan kemerdekaan kala itu.
Dikenal sebagai "kamar pengabdian Pangeran Diponegoro", museum ini memang cukup lengkap. Maka, sudah benar kalau kamu menyambangi tempat ini jika berniat mengenal lebih dalam tentang sosok yang meninggal pada usia 69 tahun tersebut.
Nggak hanya mengoleksi benda peninggalan, tempat yang sekompleks dengan Museum BPK itu juga menyimpan narasi lengkap riwayat sang Pejuang Revolusi Nasional; termasuk setelah ditangkap di Magelang, dibawa ke Karesidenan Semarang, lalu ke Batavia, dan berakhir dalam pengasingan di Makassar.
Sosok yang Patut Dikenang
Perlawanan Diponegoro terhadap penjajahan Belanda memang nggak berakhir dengan kemenangan kala itu. Hingga akhir hayatnya di Makassar pada 1855, nama Indonesia juga belum ada karena kita belum mereka kala itu. Namun, lima tahun perjuangan sosok bernama asli Bendara Raden Mas Antawirya ini nggak sia-sia.
Dia yang berhasil memantik semangat perjuangan masyarakat di Jawa, termasuk menyatukan kekuatan dari pelbagai kalangan bumiputera, patut dikenang jasanya. Maka, kalau ada waktu bertandang ke Magelang, cobalah kunjungi tempat ini agar lebih memahami sosok karismatik yang lahir di Yogyakarta tersebut.
“(Keberadaan) Museum Diponegoro ini penting, karena sejarah beliau (Diponegoro) sangat patut dikenang," tegas Sunaryo. “Karena dari sinilah awal pengasingan beliau, sebelum akhirnya menghabiskan sisa usia di Sulawesi.”
Oya, untuk kamu yang berminat datang ke sini, Museum Diponegoro dibuka setiap hari untuk masyarakat. Kamu juga nggak perlu merogoh kocek sepeser pun karena tempat ini gratis dan kamu nggak perlu membeli tiket masuk. Hm, bisa menjadi destinasi wisata alternatif banget, kan?
Gratis, Tanpa Tiket Masuk
Menurut Sunaryo, sebagian besar pengunjung Museum Diponegoro Magelang adalah para pelajar. Biasanya mereka datang dalam rombongan studi sejarah. Namun, kadang-kadang ada pula wisatawan umum, peneliti, hingga para pencinta sejarah.
"Mereka yang datang kebanyakan karena tertarik untuk melihat langsung peninggalan dan jejak sang Pahlawan. Jadi, siapa saja bisa datang, tanpa perlu membayar tiket. Tempat ini sengaja didirikan sebagai bentuk penghormatan agar perjuangan beliau terus diingat hingga generasi penerus,” ujar Sunaryo.
Berbeda dengan mal atau taman hiburan yang punya beragam permainan untuk anak-anak, museum ini mungkin nggak akan semenarik itu. Namun, memperkenalkan sejarah pada anak juga penting. So, buat kamu para orang tua, ajak buah hatinya ke sini ya.
Museum Diponegoro di Magelang bukan sekadar bangunan tua peninggalan kolonial. Ia adalah ruang yang menyimpan kisah-kisah besar: tentang keberanian, pengkhianatan, spiritualitas, cinta tanah air, dan perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Nilai-nilai ini relevan untuk kita juga, kan? (Imam Khanafi/E10)
