Inibaru.id – Meski kerap dianggap memberikan penderitaan luar biasa, masa penjajahan Jepang juga meninggalkan sejumlah hal yang positif. Salah satu yang masih bisa dilihat hingga sekarang adalah Terowongan Niyama yang disebut-sebut sebagai pengendali banjir di Tulungagung, Jawa Timur.
Cerita tentang terowongan ini bermula dari sebuah bencana banjir besar yang terjadi pada 17 November 1942. Kala itu, Jepang baru beberapa bulan menguasai Nusantara. Tapi, mereka merasa perlu melakukan sesuatu saat melihat dampak dari luapan Sungai Brantas yang sangat luar biasa. Maklum, nggak hanya menenggelamkan sekitar 9.000 rumah di 150 desa di Tulungagung, bencana ini juga menghancurkan banyak lahan pertanian.
Penggagas bangunan ini adalah seorang Residen bernama Enji Kihara. Dia adalah lulusan akademi militer dari Negeri Matahari Terbit. Layaknya, proyek pembangunan lain pada masa penjajahan Jepang, para pekerja yang dilibatkan dalam proyek terowongan ini adalah para pekerja paksa alias romusha. Jumlahnya mencapai 20 ribuan, Millens.
Alasan utama mengapa terowongan ini dibangun adalah demi menyelamatkan lahan pertanian saat musim hujan mencapai puncaknya. Layaknya orang Indonesia, para tentara Jepang yang ada di sini juga butuh makan nasi dan lauk-lauknya. Kalau sampai lahan pertaniannya hancur, tentu sulit untuk memenuhi kebutuhan harian para tentara Jepang di kawasan Tulungagung dan sekitarnya.
Kalau menurut keterangan yang ditulis Kompas, (19/10/2022), selain mengandalkan tenaga para romusha, pembangunan terowongan ini juga dibantu dengan ditemukannya 23 bom peninggalan Belanda yang ada di rawa-rawa dekat dengan lokasi proyek. Bom-bom itu dipakai untuk melubangi gunung. Selain itu, pihak Jepang juga mendatangkan mesin bor dan kompresor berukuran besar dari Ishihara Sangyo Co Ltd.
Ditambah dengan pengawasan ketat dari insinyur sipil dan tentara Jepang, proyek direncanakan berjalan dengan lancar. Sayangnya, medan proyek yang berat karena para romusha harus menghancurkan bukit-bukit kapur yang keras, ditambah dengan lokasi di sekitar proyek berupa rawa dan dipenuhi binatang buas membuat pengerjaan proyek nggak sesuai rencana. Banyak romusha yang merupakan warga pribumi yang terkena malaria dan kemudian tutup usia.
Pada akhirnya, proyek yang dimulai pada Februari 1943 itu mampu diselesaikan pada Juli 1944. O ya, setelah difungsikan, pihak penjajah Jepang awalnya memberikan nama Neyama yang berasal dari kata “yama” dalam bahasa Jepang yang berarti gunung dan “ne” yang berarti akar. Pemilihan kata "akar gunung" ini disebabkan oleh warga setempat yang menyebut rupa terowongan itu mirip seperti‘tumpak oyot’ alias akar gunung, Millens.
Sempat rusak akibat diterpa banjir bandang pada 1955, Terowongan Niyama kembali diperbaiki pada 1961. Setelah itu, dibangun lagi Terowongan Niyama II pada masa pemerintahan Orde Baru, yaitu pada 1986. Keberadaan terowongan ini kemudian mampu mengendalikan banjir yang ada di kawasan Tulungagung dan sekitarnya.
Karena pemandangannya indah dan berada di kawasan pegunungan, Terowongan Niyama juga kini populer sebagai tempat wisata. Hm, jadi penasaran ya seperti apa terowongan ini jika dilihat secara langsung, Millens? (Arie Widodo/E10)