BerandaTradisinesia
Rabu, 9 Apr 2024 09:00

Sama Meriahnya, Beginilah Suasana Idulfitri Masa Penjajahan Belanda

Haji Muchtar Lutfi membuka takbir saat salat Idulfitri. (Wikipedia/Tropenmuseum)

Meski sedang dijajah, semangat merayakan Hari Raya Idulfitri masyarakat Nusantara pada masa kolonial tetap tinggi. Kaum pribumi tetap memasak hidangan spesial, salat di lapangan, dan saling berkunjung ke rumah saudara.

Inibaru.id - Besok, umat Muslim seluruh dunia termasuk di Indonesia akan merayakan Hari Raya Idulfitri. Kondisi perayaan sekarang yang penuh suka cita dan rasa aman tentu berbeda jauh dengan Idulfitri di kala penjajahan Belanda di Indonesia.

Meski begitu, kaum Muslim Nusantara zaman dulu tetap memaknai Idulfitri dengan hati yang tulus dan segenap jiwa. Seperti apa gambaran suasana Idulfitri pada zaman dahulu, ya?

Mengutip dari tulisan yang ada di Historia, kita bisa membayangkan kemeriahan Idulfitri dari catatan Snouck Hurgronje dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939.

Seperti halnya Lebaran di masa sekarang, Snouck menulis bahwa kebiasaan masyarakat pada waktu itu menyediakan hidangan khusus, saling berkunjung ke rumah kerabat, dan membeli pakaian baru.

"Bahkan juga kebanyakan orang Jawa yang sama sekali tidak berpuasa, ikut pula merayakan pesta ini dengan tidak kurang gembiranya daripada orang-orang saleh," tulis Snouck.

Saking luas dan meriahnya perayaan Idulfitri, beberapa pejabat Hindia Belanda sampai agak risih dan menilai perayaan-perayaan tersebut sebagai sebuah langkah pemborosan lo, Millens.

Sementara di Tanah Minang, lebaran nggak jauh beda dengan di Jawa. Meskipun sedang dijajah Belanda, semua orang pribumi berkumpul di sekitar surau untuk merayakan Idulfitri. Masyarakat Minang memang dikenal memegang peran penting dalam perkembangan Islam di Indonesia.

Di sana ada gerakan pembaharuan Islam yang diusung oleh Kaum Padri Sumatra Barat. Gerakan ini menentang kebiasaan buruk masyarakat seperti judi, sabung ayam, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya.

Salat Id Nggak Dilarang

Suasana sholat Id tanggal 1 Syawal pada masa kependudukan Belanda di Indonesia. (Wikipedia/Tropenmuseum)

Menukil dari Detik (19/7/2015), Belanda nggak melarang masyarakat untuk melaksanakan salat Id tanggal 1 Syawal. Salat dilakukan di lapangan dengan pengeras suara. Pemerintah kolonial bahkan menyediakan transportasi ekstra. Belanda mengerahkan tram ekstra dari Meester-Cornelis dan Benedenstad (Batavia Lama) untuk memudahkan mobilitas umat Islam menuju tempat digelarnya salat Id.

Salah satu salat Id yang pernah diliput media adalah salat di Waterlooplein (Lapangan Waterloo) yang kini bernama Lapangan Banteng.

"Tahun ini adalah kedua belas kalinya ibadah ritual semacam itu diselenggarakan di tempat terbuka di ibukota negara," tulis Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, halaman 6 kolom 2.

Sebelum hari raya, media sudah mewartakan apakah Aidil Fitri-gebed (salat Id) di Waterlooplein jadi dilaksanakan atau nggak. Panitia pelaksana salat terdiri atas 14 organisasi massa dan mendapat sokongan dari berbagai pihak.

Kala itu, yang bertindak sebagai khotib adalah Haji Mochtar, mantan anggota Muhammadiyah, sementara Haji Mohamad Isa ditunjuk sebagai imam.

Hm, jika kamu pengin mendapat gambaran lebih banyak tentang bagaimana suasana Lebaran pada masa penjajahan Belanda, kamu bisa membuka jurnal-jurnal yang ditulis oleh para juru tulis atau pegawai-pegawai zaman dahulu ya, Millens. (Siti Khatijah/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT