BerandaTradisinesia
Kamis, 17 Mei 2023 17:00

Para Biksu Lakukan Ritual Thudong, Berjalan dari Thailand ke Borobudur

Thudong merupakan tradisi berjalan yang sudah berlangsung sejak dahulu, zaman Sang Buddha. (Bhikkhu Dhammavuddho)

Dengan tekad yang kuat dan niat yang luhur, sebanyak 32 biksu melakukan ritual thudong dari Thailand menuju Candi Borobudur Magelang. Itu adalah sebuah ritual jalan kaki ribuan kilo meter tanpa membawa bekal berlebihan. Kenapa mereka melakukan itu?

Inibaru.id - Hari Raya Waisak sebentar lagi tiba. Karena alasan itu, sebanyak 32 biksu dari Thailand melakukan perjalanan kaki dari Negeri Gajah Putih ke Candi Borobudur yang ada di Magelang, Jawa Tengah. Dengan menempuh jarak dua ribu kilometer lebih, para biksu atau bhante itu berharap bisa memeringati Hari Waisak di Candi Borobudur yang jatuh pada 4 Juni 2023 nanti.

Berjalan kaki sangat jauh seperti itu seolah jadi sesuatu yang mustahil bagi orang awam seperti kita ya, Millens? Namun, di kalangan rohaniawan Buddhis, hal itu sebenarnya bukan hal yang aneh. O ya, tindakan ini punya sebutan khusus yaitu thudong. Sebenarnya, apa sih makna dan tujuan dari melakukannya?

Melansir dari laman Kementerian Agama Republik Indonesia, Bhante Dhammavuddho menjelaskan, thudong merupakan tradisi berjalan yang sudah berlangsung sejak dahulu. Pada zaman Sang Buddha, belum terdapat vihara yang merupakan tempat tinggal para bhante. Oleh sang Buddha, para bhante diberi kesempatan tinggal di hutan, gunung, atau gua.

Thudong juga merupakan perjalanan spiritual yang pernah dilakukan Sang Buddha dan para murid. Selama melakukan thudong, para biksu hanya makan satu kali sehari, menerima makanan serta minuman dari sedekah umat, dan bermalam di suatu tempat pada malam hari.

“Jadi dalam setahun, mereka akan berjalan seperti ini selama empat bulan untuk melaksanakan tradisi ini. Kebetulan karena di Indonesia ada Candi Borobudur, bertepatan Hari Raya Waisak, dan mereka jalan dari Thailand,” terangnya.

Melatih Kesabaran

Ilustrasi: Para biksu yang berjalan kaki dari Thailand akan merayakan Waisak di Candi Borobudur. (Pixabay)

Dari perjalanan spiritual itu, para bhante berharap bisa meneladani sifat kesederhanaan dari Sang Buddha. Dalam ajaran Buddha, kesabaran merupakan praktik dharma yang paling tinggi. So, jangan heran jika kamu melihat mereka tetap bersikap tenang dalam perjalanan meski jaraknya jauh dan terpapar cuaca yang nggak menentu.

Mengutip dari artikel berjudul "A Study of Most Venerable Mun Bh Ridatta Thera’s Method of Citta Bh Van 'Buddho' Practice", dalam praktik thudong, para biksu melakukan perjalanan jauh tanpa membawa banyak perbekalan atau uang, Mereka harus bergantung pada dukungan masyarakat dan umat Buddha di sepanjang perjalanan mereka.

"Mereka terkena panas, hujan, makan satu hari satu kali dan minum seadanya," imbuh Bante Dhammavuddho.

Tradisi Penting dalam Ajaran Buddha

Berjalan kaki berkilo-kilo jauhnya memang terkesan sudah nggak relatable di zaman sekarang ini. Tapi, thudong masih banyak dilakukan oleh biksu-biksu di negara-negara Theravada seperti Thailand, Sri Lanka, dan Myanmar.

Meskipun praktik ini semakin jarang dilakukan karena perubahan sosial dan ekonomi yang mempengaruhi masyarakat, thudong masih dianggap sebagai praktik yang penting dalam tradisi Buddhisme Theravada dan dihormati oleh umat Buddha di seluruh dunia.

Tujuan utama dari kegiatan ini adalah mencari pemahaman yang lebih dalam tentang ajaran Buddha, membersihkan pikiran dan hati dari hambatan, dan mencapai keadaan meditasi yang lebih dalam.

Selama perjalanan Thudong, para biksu harus berlatih disiplin diri, termasuk puasa, meditasi, dan pembiasaan kesederhanaan. Mereka juga diharapkan untuk menghindari tiga dosa utama dalam Buddhisme, yaitu keinginan, kemarahan, dan kebodohan. Para biksu mengembangkan nilai kebajikan, yaitu kasih sayang, kedermawanan, dan kebijaksanaan.

Wah,salut banget dengan para biksu yang sedang mengamalkan ajaran Buddha dengan sepenuh hati. Semoga thudong ke Candi Borobudur berjalan lancar dan mereka bisa merayakan Hari Raya Waisak dengan khidmat. (Siti Khatijah/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024