BerandaTradisinesia
Senin, 7 Apr 2024 08:39

Masjid Sela Panembahan, Dulu Hanya Boleh Dipakai Darah Biru

Masjid Sela Panembahan. (Google User/Ajie Arief)

Ukurannya kecil, hanya 8 x 6 meter. Maksimal hanya bisa menampung 30-an jemaah. Tapi, soal sejarah, Masjid Sela Panembahan punya banyak kisah menarik sejak berdiri ratusan tahun yang lalu.

Inibaru.id – Ada cukup banyak masjid yang kaya akan nilai sejarah di Yogyakarta. Salah satunya adalah Masjid Sela Panembahan. Meski kini bisa dipakai siapa saja tanpa mengenal golongan, dulunya masjid ini hanya boleh dipakai oleh para bangsawan dari kalangan Keraton Yogyakarta, lo.

Lokasinya ada di sisi timur Keraton Yogyakarta, tepatnya di Kelurahan Panembahan, Kemantren Kraton. Kalau kamu kebetulan sedang jalan-jalan di Jalan Wijilan, pasti bakal mudah kok mencari masjid ini. Kabarnya sih, masjid ini dibangun saat Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bertahta pada 1755-1792.

Sekilas, bangunannya, khususnya pada bagian atap mirip seperti bangunan Keraton Yogyakarta atau bangunan Tamansari. Temboknya juga cukup tebal dan masih asli sebagaimana dibangun pada ratusan tahun yang lalu. FYI aja nih, temboknya setebal 75 sentimeter, lo!

Kalau menurut salah seorang petugas marbot Masjid Sela Sunarwiyadi, nama masjid ini awalnya bukanlah Sela, melainkan Watu.

“Nama aslinya Masjid Watu, kalau diartikan dala Bahasa Indonesia adalah Masjid Batu. Nah, batu kalau disebut dalam krama inggil adalah Sela. Dibangunnya bersamaan dengan Keraton Yogyakarta,” terang Sunarwiyadi sebagaimana dilansir dari Detik, Minggu (31/3/2024).

Masjid Sela sudah eksis sejak Sri Sultan Hamengku Buwana I naik tahta. (jogjakota)

Karena lokasinya ada di kompleks Ndalem alias keluarga kerajaan, otomatis masjid ini hanya boleh dipakai oleh para pangeran atau bangsawan dari Keraton Yogyakarta.

“Dulu masjid ini disebut sebagai ‘panepen’ atau masjid khusus yang dipakai keluarga bangsawan. Untuk jemaah umum, bisa memakai tempat sendiri di utara masjid, sekitar 200 meter,” lanjut Sunarwiyadi.

Lambat laun, masjid ini justru jarang dipakai oleh keluarga kerajaan. Para pangeran yang awalnya tinggal di kompleks Ndalem pindah ke bangunan utama keraton. Karena nggak terpakai, fungsinya kemudian berganti menjadi tempat penyimpanan keranda jenazah.

Masyarakat yang sayang dengan kondisi masjid bersejarah dan nggak terpakai akhirnya berinisiatif mengirim surat ke keluarga kerajaan untuk menjadikan Masjid Sela sebagai tempat ibadah bagi siapa saja.

“Suratnya dikirim pada 1965. Pihak keraton menyambut baik permintaan ini dengan syarat, boleh dipakai tapi tidak boleh diubah-ubah,” jelas Sunarwiyadi.

Permintaan ini disanggupi warga. Keranda jenazah dipindahkan ke tempat lain dan masjid dibersihkan. Pada akhirnya, masjid mungil berukuran 6 x 8 meter ini kembali dipakai beribadah dengan kapasitas maksimal 30 orang. Terkait dengan larangan untuk mengubah bangunan, pada akhirnya dilakukan atas seizin keraton. Lantai semen batu merah dengan alas tikar kini berganti menjadi lantai keramik.

Menarik banget ya kisah Masjid Sela Panembahan di Yogyakarta ini. Tertarik untuk main dan beribadah di masjid bersejarah ini Millens? (Arie Widodo/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT