BerandaTradisinesia
Senin, 13 Mar 2022 17:24

Kadewaguruan, Kompleks 'Pesantren' Jawa Kuno yang Berbentuk Lingkaran

Candi Panataran salah satu Kadewaguruan masa Majapahit. (Instagram/Candikala.id)

Kehidupan keagamaan pada masa Majapahit menjadi salah satu hal yang paling menonjol. Kadewaguruan menjadi sebuah pusat pendidikan agama berbentuk kompleks yang dipimpin oleh seorang Dewaguru.

Inibaru.id – Selain menjadi salah satu kerajaan besar di Nusantara, Majapahit dikenal memiliki cukup banyak peninggalan bangunan suci seperti candi atau kuil pemujaan. Hal ini membuktikan kehidupan keagamaan pada masa Majapahit menjadi salah satu hal yang menonjol di masa tersebut.

Pada masa Majapahit, juga ditemukan pusat-pusat pendidikan agama yang bernama mandala Kadewaguruan. Kadewaguruan juga disebut sebagai wanasrama karena letaknya yang terpencil. Biasanya, letak Kadewaguruan jauh dari keramaian dan berlokasi di tempat-tempat yang sunyi seperti hutan-hutan, puncak bukit, lereng gunung, tepi pantai, dan sebagainya.

Katanya Kadewaguruan telah muncul pada zaman Singasari, lo Millens. Jumlah Kadewaguruan pada masa Majapahit juga makin banyak sejak pemerintahan Raja Hayam Wuruk.

Dulu, seorang yang dicalonkan menjadi brahmanaguru harus mempelajari kitab-kitab agama selama bertahun-tahun dan dilakukan di dalam sebuah Kadewaguruan. Menurut cerita, Candi Panataran menjadi salah satu Mandala Kadewaguruan yang sangat penting pada masa Majapahit.

Kadewaguruan merupakan sebuah kompleks perumahan para pertapa yang dipimpin oleh seorang Dewaguru. Di dalam kompleks rumah Dewaguru berada di tengah-tengah kompleks yang disebut topowana atau pajaran. Selain itu, di dalam kompleks dikelilingi oleh rumah murid-murid yang disusun berjenjang sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka. Karena berbentuk melingkar sehingga tempat ini disebut mandala.

Syarat dan Ajaran

Nah, terdapat beberapa syarat seseorang diperbolehkan menjadi seorang dewaguru. Pertama ia merupakan seorang Siddhapandita atau pendeta yang sempurna ilmu keagamaannya. Sedangkan tubuhnya nggak boleh cacat dan terkena dasamala (10 perbuatan tercela). Seorang Dawaguru juga bukan berasal dari golongan empat kasta atau caturjanwa, seorang anak murid, hulu kembang, serta kabayan.

Ternyata apa yang diajarkan dalam Kedewaguruan nggak ada penjelasannya, baik dalam Rajapatigundala, Nagarakrtagama maupun dalam sumber tertulis lainnya. Namun ditemukan naskah Kakawin Parthayajna dari masa Majapahit dan berhasil mengungkapkan tahap-tahap ajaran dari seorang guru kepada muridnya.

Di naskah Kakawin Parthayajna juga mengilustrasikan Candi Panataran sebagai tempat pertapaan yang indah. (Wikipedia)

Pada naskah itu menceritakan seseorang yang mencari pengetahuan suci yang akhirnya diperoleh dengan susah payah dan secara bertahap sebagai berikut, pertama yaitu tahap persiapan yang mengajarkan tata susila dan tata ucapan. Tata susila adalah ajaran tentang sikap hidup yang baik, yaitu parartha yang memikirkan kebahagiaan orang lain daripada kebahagiaan diri sendiri. Kemudian paradhita yang berarti melakukan perbuatan baik untuk orang lain.

Ajaran tata ucapan untuk membersihkan jasmani dan rohani murid, yaitu dengan mengembangkan parartha dan parahita, menghilangkan kejahatan dan menciptakan kebaikan di dalam pikiran.

Tahap selanjutnya adalah tahap ajaran inti. Tahap ini mencakup filsafat dan ilmu keagamaan, yang biasa disebut tattwa. Berbagai konsep keagamaan Saiwasiddanta, antara lain pasa, maya, panarbhawa, kalepasan, maksa. Selanjutnya diajarkan unsur-unsur filosofi keagamaan, diantaranya konsep transendensi dan immanensi dalam hubungan antara manusia dan Realitas Tertinggi, tentang hubungan mikro dan makrokosmos, dan sebagainya. Hm menarik ya?

Kalau Kadewaguruan masih ada, kamu tertarik untuk belajar di sana nggak, Millens? (Gnfi/His/IB32/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024