BerandaTradisinesia
Selasa, 4 Apr 2022 17:23

Cara Perempuan Jawa Tempo Dulu Menyudahi Pernikahan

Cara Perempuan Jawa Tempo Dulu Menyudahi Pernikahan

Ilustrasi: Perempuan juga berhak mengakhiri pernikahan jika nggak bahagia. (Twitter/PotretLawas)

Kehidupan setelah menikah kerap menjadi momen yang diidam-idamkan, baik lelaki atau perempuan. Sayangnya, nggak semua berjalan mulus. Terkadang, pernikahan yang sakral harus diakhiri dengan perceraian. Ini juga berlaku sejak zaman dulu.

Iniaru.id – Banyak dari kita berpikir bahwa pernikahan merupakan hal yang hanya boleh dilakukan sekali seumur hidup. Namun takdir bisa jadi punya jalannya tersendiri. Dari perjalanan itu, pasti ada aja hal-hal yang nggak menyenangkan di dalamnya, ada pula yang memilih bercerai sebagai solusi terakhir.

Perceraian yang kita tahu ternyata bukanlah hal yang baru. Di zaman Kerajaan Majapahit, pernikahan malah bisa dibatalkan oleh sang istri jika suaminya memiliki penyakit gila, sampai impoten.

Di sini perempuan bangsawan yang memiliki derajat tinggi lebih beruntung. Mereka bisa mengambil keputusan dalam pernikahan. Namun, rakyat jelata juga mungkin kok bercerai karena sudah diatur dalam agama.

Di zaman Majapahit, pernikahan dan segala macam unsurnya diatur dalam hukum Agama atau Kutaramanawa. Aturan ini secara umum menjelaskan tentang perizinan istri untuk menggugat cerai sang suami jika suami menderita penyakit tertentu.

Alasan Boleh Bercerai

Umumnya, istri boleh mengajukan cerai jika suami menderita penyakit. Di antaranya; ayan, banci, penyakit gila, hingga batuk kering. Dari penyakit yang dideritanya, sang suami biasa diberi waktu selama tiga tahun untuk mencari pengobatan.

Jika selama tiga tahun penyakit nggak kunjung sembuh, perceraian harus tetap dilaksanakan. Soal tata cara perceraian ini, ada aturan yang dinamakan siddha atadin. Penggugat diharuskan menghadirkan ada saksi, melakukan pecah uang yang diucapkan oleh saudara pihak laki-laki, memberikan butir beras, dan memberikan air untuk cuci muka.

Aturan ini sifatnya wajib dilaksanakan. Karena jika terlewat, perceraian dikatakan nggak sah untuk keduanya. Bahkan perempuan akan didenda sejumlah empat laksa jika dirinya akan menikah lagi.

Perceraian Zaman Kerajaan

Perceraian selama kisruhnya ahli waris Kerajaan Mataram pun, sempat menimpa Ratu Bendoro. Secara hukum, dia dipisahkan oleh sang ayah, yakni Sultan Hamengkubuwono I pada Desember 1763 dari suaminya Raden Mas Said atau Mangkunegara I, atau biasa dipanggil sebagai Pangeran Samber Nyawa.

Perceraian ini sebenarnya timbul akibat dari perseteruan antara sang suami dengan ayahnya. Dari sini akhirnya Ratu Bendoro membawa perkara ini pada Pengadilan Surambi di Kasunanan Surakarta.

Contoh perceraian kedua dari keluarga kerajaan, adalah Raden Ayu Notodiningrat sebagai cucu dari Mangkunegoro II. Selama masa perkawinan, dia mengalami penganiyaan dan tindakan kasar oleh suaminya, Bupati Probolinggo.

Menurut Peter Carey dan Vincen Houben dalam bukunya Perempuan-Perempuan Jawa, mereka mengatakan bahwa perceraian bisa diperoleh jika istri mendapat pelanggaran dari kontrak pernikahan. Alasan yang sering terjadi adalah melarikan diri dan kurangnya dukungan dari suami. Ini sering dinamakan sebagai talak.

Ada juga penamaan taklik, yakni perceraian bersyarat yang diucapkan dalam pernikahan. Jadi, kalau suami melanggar janji-janji yang dulu diucapkan ketika menikah, istri diperbolehkan menggugat cerai.

Terakhir, ada mancal. Di sini, istri bisa membeli kebebasannya sendiri. Memilih bercerai dengan cara ini berarti pihak perempuan harus siap mengembalikan mahar atau lebih banyak dari itu.

Dari situ kita jadi tahu, perempuan juga punya hak atas pernikahannya. Karena banyak kasus perempuan yang disiksa atau nggak diperlakukan dengan layak oleh sang suami. Padahal hak sebagai manusia nggak memandang hirarki bangsawan atau orang biasa. Betul kan, Millens?(His/IB31/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Iri dan Dengki, Perasaan Manusiawi yang Harus Dikendalikan

27 Mar 2025

Respons Perubahan Iklim, Ilmuwan Berhasil Hitung Jumlah Pohon di Tiongkok

27 Mar 2025

Memahami Perasaan Robot yang Dikhianati Manusia dalam Film 'Companion'

27 Mar 2025

Roti Jala: Warisan Kuliner yang Mencerminkan Kehidupan Nelayan Melayu

27 Mar 2025

Jelang Lebaran 2025 Harga Mawar Belum Seharum Tahun Lalu, Petani Sumowono: Tetap Alhamdulillah

27 Mar 2025

Lestari Moerdijat: Literasi Masyarakat Meningkat, tapi Masih Perlu Dorongan Lebih

27 Mar 2025

Hitung-Hitung 'Angpao' Lebaran, Berapa Banyak THR Anak dan Keponakan?

28 Mar 2025

Setengah Abad Tahu Campur Pak Min Manjakan Lidah Warga Salatiga

28 Mar 2025

Asal Usul Dewi Sri, Putri Raja Kahyangan yang Diturunkan ke Bumi Menjadi Benih Padi

28 Mar 2025

Cara Menghentikan Notifikasi Pesan WhatsApp dari Nomor Nggak Dikenal

28 Mar 2025

Hindari Ketagihan Gula dengan Tips Berikut Ini!

28 Mar 2025

Cerita Gudang Seng, Lokasi Populer di Wonogiri yang Nggak Masuk Peta Administrasi

28 Mar 2025

Tren Busana Lebaran 2025: Kombinasi Elegan dan Nyaman

29 Mar 2025

AMSI Kecam Ekskalasi Kekerasan terhadap Media dan Jurnalis

29 Mar 2025

Berhubungan dengan Kentongan, Sejarah Nama Kecamatan Tuntang di Semarang

29 Mar 2025

Mengajari Anak Etika Bertamu; Bekal Penting Menjelang Lebaran

29 Mar 2025

Ramadan Tetap Puasa Penuh meski Harus Lakoni Mudik Lebaran

29 Mar 2025

Lebih dari Harum, Aroma Kopi Juga Bermanfaat untuk Kesehatan

29 Mar 2025

Disuguhi Keindahan Sakura, Berikut Jadwal Festival Musim Semi Korea

29 Mar 2025

Fix! Lebaran Jatuh pada Senin, 31 Maret 2025

29 Mar 2025