Inibaru.id – Aroma jajanan tradisional menyambut siapa pun yang memasuki lantai dua Gedung PKM Kampus Barat UIN Sunan Kudus pekan lalu. Di sudut ruangan, aneka kudapan khas daerah tersaji rapi dan bisa dinikmati gratis.
Namun, Festival Jajanan Lokal ini bukan sekadar perayaan rasa. Ia dirancang mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) sebagai bagian dari kampanye reduce plastic waste dalam rangkaian KPI Creative Show 2025 bertajuk “Real Issues, Loud Creativity.”
Panitia juga mengimbau pengunjung untuk membawa tumbler dan tas belanja sendiri. Nggak ada plastik sekali pakai yang dibagikan; menjadi praktik sederhana kolektif yang menegaskan bahwa kepedulian lingkungan nggak harus menunggu kebijakan besar.
Dari festival jajanan inilah suasana KPI Creative Show 2025 terasa hidup. Sejak jam delapan pagi, mahasiswa dengan tas kanvas di pundak dan tumbler di tangan memenuhi area acara. Mereka datang untuk merayakan keberanian untuk membicarakan isu-isu nyata melalui cara yang kreatif.
KPI Creative Show 2025 merupakan debut kreatif mahasiswa KPI angkatan 2023. Acara ini lahir dari kegelisahan, kerja kolektif, dan semangat menjadikan kampus sebagai ruang hidup bagi isu-isu marjinal, sosial budaya, dan lingkungan.
Terbuka untuk umum dan gratis, acara ini menjelma menjadi ruang pertemuan antara karya, gagasan, dan kepedulian. Sejak memasuki area utama, pengunjung telah disambut gelar karya kolaboratif mahasiswa KPI 2023.
Poster, instalasi visual, hingga dokumentasi audio-visual dipajang rapi. Karya-karya tersebut menghadirkan potongan cerita tentang kehidupan masyarakat yang sering luput dari sorotan media arus utama.
Di setiap sudut, mahasiswa tampak antusias menjelaskan proses kreatif di balik karya mereka. Cerita tentang riset lapangan, perjumpaan dengan warga, hingga pergulatan etis saat mengolah realitas menjadi karya media mengalir dalam dialog yang hangat.
Gelar karya ini nggak hanya memamerkan hasil akhir, tetapi juga membuka proses. Pengunjung diajak memahami bahwa di balik sebuah visual atau narasi, terdapat tanggung jawab moral: tidak menyederhanakan penderitaan dan tidak mengeksploitasi kisah manusia.
Di sinilah karakter akademik KPI terasa kuat, kritis, reflektif, dan berorientasi pada nilai kemanusiaan.
Dokumenter yang Menggugah
Puncak perhatian tertuju pada sesi screening dan bedah film dokumenter Butterfly On A River.” Lampu ruangan diredupkan, layar menyala, dan penonton diajak masuk ke dunia yang jarang diberi ruang dalam media arus utama.
Dengan visual yang puitis nan jujur, film ini menghadirkan realitas tanpa perlu berkoar-koar. Alur narasinya mengalir tenang, tapi meninggalkan jejak emosi yang dalam. Beberapa penonton tampak terdiam lama setelah film usai, menandakan pesan film berhasil tersampaikan.
Diskusi pun tampak mengalir dan hangat. Abas Fauzi, dosen KPI sekaligus pemerhati film, mengajak peserta melihat dokumenter bukan hanya sebagai produk estetika, tapi medium advokasi. Menurutnya, dokumenter yang baik adalah yang mampu menjaga jarak etis sekaligus kedekatan empatik dengan subjeknya.
Sementara itu, Girindra Whardana dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menekankan pentingnya keberpihakan pada kelompok rentan dalam kerja-kerja jurnalistik dan dokumenter.
“Netral bukan berarti tidak peduli,” ujarnya, disambut anggukan peserta, yang seketika membuka diskusi tentang batas antara objektivitas dan kemanusiaan.
Melengkapi diskusi, Umi Qodarsasi, dosen Pemikiran Politik Islam, mengaitkan film dengan konteks etika sosial dan politik. Dia menyoroti bagaimana isu marjinal sering lahir dari relasi kuasa yang timpang, serta peran strategis media dalam membongkar ketimpangan tersebut.
Ruang bedah film pun berubah menjadi ruang belajar kolektif. Mahasiswa, dosen, hingga pengunjung umum saling bertanya dan berbagi pandangan. Teori, praktik, dan pengalaman bertemu dalam dialog yang setara.
Penganan Lokal sebagai Pelengkap
Di tengah rangkaian acara inilah Festival Jajanan Lokal kembali menemukan relevansinya. Isu lingkungan yang muncul dalam karya dan diskusi nggak berhenti sebagai wacana, tetapi dipraktikkan secara langsung melalui pilihan konsumsi yang lebih bertanggung jawab.
Ketua Program Studi KPI Eko Sumadi yang turut hadir dalam acara ini pun memberikan apresiasi setinggi-tingginya. Menurutnya, KPI Creative Show 2025 merupakan bukti nyata potensi mahasiswa KPI, nggak hanya dalam kreativitas media, tetapi juga kepekaan sosial.
“Saya memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada mahasiswa KPI angkatan 2023. Saya berharap acara KPI Creative Show ini dapat menjadi program tahunan dan terus berkembang pada angkatan-angkatan berikutnya,” ujarnya, yang segera disambut tepuk tangan panjang.
Lebih dari sekadar agenda kampus, KPI Creative Show 2025 menjadi media pembelajaran yang hidup. Mahasiswa belajar memproduksi karya, bekerja kolektif, mengelola acara, bernegosiasi dengan ide, serta bertanggung jawab atas dampak sosial dari pesan yang disampaikan.
Sebagai kegiatan perdana, acara ini berhasil menciptakan suasana inspiratif dan partisipatif. Ia menjadi titik temu antara kampus dan masyarakat, antara teori dan realitas, antara kreativitas dan kepedulian.
Ketika acara berakhir sore hari, pengunjung meninggalkan Gedung PKM dengan membawa lebih dari sekadar kenangan. Mereka membawa gagasan, pertanyaan, dan mungkin kegelisahan baru tentang peran masing-masing di tengah isu-isu nyata yang terus berlangsung.
KPI Creative Show 2025 membuktikan bahwa kreativitas mahasiswa, ketika berpihak pada kemanusiaan dan lingkungan, dapat menjadi suara yang lantang dan bermakna. Sebuah debut yang layak dirayakan, sekaligus dijaga agar terus tumbuh di tahun-tahun mendatang. (Imam Khanafi/E10)
